Mon. Nov 25th, 2024
Simon, pekerja keras, tak mengeluh. Fotto: EDL

TEMPUSDEI.ID (29/12/20)

Saya tidak ingat persis, kapan dan bagaimana saya mendengar cerita, lalu mengenal Om Simon Butaama (84) ini. Kalau tidak salah, sekitar 5 atau 6 tahun lalu. Semula, yang saya dengar hanyalah sepotong informasi bahwa di Desa Babelan Kota, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi ada seorang tua penjual abu gosok yang saban hari berkeliling berjualan abu gosok dengan gerobak.

Yang muncul dalam imajinasi saya, ini pastilah seorang yang liat dalam berjuang. Hal lain yang muncul dalam pikiran saya dan sekaligus menjadi tanda tanya “Bagaimana mungkin masih ada berjualan abu gosok di tengah hampir semua ibu rumah tangga sudah menggunakan cairan pembersih yang jauh lebih praktis…”. Namun persis pertanyaan inilah yang membuat rasa ingin tahu saya berputar-putar lalu memutuskan untuk mencari tempat tinggalnya.

Suatu hari, saya pergi ke perkampungan di Babelan Kota untuk mencari sosok tersebut. Saya hanya mengikuti feeling dalam mencari. Di sebuah pinggir kali, saya bertanya kepada anak-anak yang sedang bermain. “Dek, tahu nggak rumah penjual abu, yang keliling jualan abu pakai gerobak?” tanya saya. Seorang anak bertanya balik, “Orang tua kan? Badannya kecil-kecil kan? Rumahnya di pojok itu. Mari saya antarin.”

Alhamdulillah. Puji Tuhan. Benar, orang ini yang saya cari. Saya ajak ngobrol santai. Dia menjelaskan bahwa dia sudah sekitar 20 tahun menjadi penjual abu karena tidak tahu harus kerja apa. Sebelumnya, dia Satpam di sebuah perusahaan di Tanah Abang. Dia terkena PHK dengan pesangon yang sangat kecil. Maklum, gajinya juga kecil sebab pendidikannya tidak tamat sekolah dasar. Hanya tekadlah yang mengantar dia meninggalkan kampung halaman di Lewukluwok, Flores Timur dan merantau ke Jakarta.

Dengan badannya yang mungil dan usia yang tidak muda lagi, dia berjalan menyusuri jalan-jalan atau gang-gang di sejumlah perkampungan di Bekasi. “Pernah, tahu-tahu, saya sudah berjalan jauh sekali,” katanya dengan suara pelan sambil tersenyum.

Kerja kerasnya sepanjang hari kadang tidak mencukupi walau hanya untuk makan berlima, namun dia tidak menyerah. “Masa’ mau cepat-cepat dapat banyak. Sekolah saya rendah, saya bodoh. Saya harus bekerja lebih keras kata saya dalam hati,” aku Simon.

Bekalnya ketika setiap kali berangkat kerja seringkali hanya sepotong singkong rebusan istrinya dan segelas teh manis yang jadi sarapannya. Setelah ada abu yang laku, dia mampir beli makanan di warung dengan lauk tempe atau telur untuk makan siang.

Hidup dan perjuangan Simon sungguh tidak ringan. Di rumah, tiga anak perempuan dan seorang istrinya sudah menunggu.

Rasa Lapar Kami Sama

Om Simon dan gerobak andalannya

Sementara kami ngobrol, seorang penjual tangga dari bambu yang bisa berkeliling lewat di depan rumahnya. Simon memanggil dan menanyakan harga tangga. Saya kira Om Simon hanya basa-basi. “Berapa harga tangganya?” tanyanya. “30 puluh ribu,” jawab sang penjual. “25 ribu, ya…,” tawar Simon. Kemudian terjadi kesepakatan, Om Simon membayar 25 ribu rupiah.

Saya bingung. Ketinggian atap rumahnya tergolong sangat rendah. Hanya dengan naik di kursi, tangannya sudah bisa menyentuh genteng atap rumah. Dengan demikian, dia tidak memerlukan tangga. “Untuk apa tangga ini, Om? Kan rumah Om pendek, tidak perlu tangga. Kenapa beli tangga?” tanya saya.

Saya tercengang-cengang dan merasa malu mendengar jawabannya. “Sudah sejak kemarin orang itu keliling jual tangga itu dan belum laku. Saya kasihan saja. Laparnya dan lapar saya di jalanan pasti sama. Bagaimana rasanya lapar dan capek, saya tahu…..,” katanya.

Tembok dan Hati Jatuh

Setelah perjumpaan yang menggetarkan tersebut, dua tahun kemudian saya berkunjung lagi ke rumah Om Simon sekadar ingin berbagi kecil-kecilan. Ternyata dia sudah pindah, tidak jauh dari tempat saya jumpai dua tahun sebelumnya. Bersama istri, anak dan cucunya, dia tinggal di rumah petak kontrakan yang sempit dan pengap.

Kami ngobrol di emper kosnya. Tiba-tiba dia katakan, “Saya sedang bangun rumah, Pak. Tapi ini berhenti dulu karena tak ada uang lagi. Nggak jauh, kok, dari sini,” katanya.

Saya lalu minta untuk melihat. Ternyata benar! Beberapa bagian temboknya sudah mencapai 1 meter lebih. “Sudah hampir dua tahun, tapi berhenti dulu, nanti kalau ada uang baru sambung lagi,” katanya.

Dengan demikian, sudah selama hampir dua tahun itu juga bangunan yang seluruhnya dikerjakan sendiri oleh Om Simon itu terkena hujan dan panas. Dengan gerobaknya dia membeli material, lalu dia sendiri pula yang campur semen dan membuat temboknya tanpa pengetahuan komposisi campuran semen dan pasir.

Paparan matahari dan hujan serta campuran semen yang tidak jelas menyebabkan temboknya rapuh. Ketika saya goyang sedikit, beberapa batako jatuh. Hati saya rasanya jatuh juga. Dugaan saya campuran semennya “asal-asalan”.

Secara spontan saya katakan, “Saya akan mencoba membantu, Om. Om berdoa saja, semoga nanti ada rezeki dan rumah Om bisa selesai.”

Saya lalu membuat tulisan berjudul Menemani Om Simon yang menjelaskan keinginan Om Simon memiliki rumah dari usaha keras menjadi penjual abu dan sesekali memulung. Tulisan itu kemudian saya posting di Wall Face Book saya. Ternyata ada respons positif. Seorang teman bernama Rumintar Silitonga menghubungi saya dan mau menitip sedikit uang (Rp150 rinu) untuk Om Simon. Seminggu kemudian ada lagi beberapa teman yang mau menitip.

Satu bulan kemudian, uang titipan itu sudah mencapai sembilan juta rupiah. Dengan uang sebanyak itu saya memberanikan diri mulai membangun ulang rumah Om Simon. Ya, meruntuhkan tembok yang sudah ada dan memulai dari nol! Saya mengajak kawan saya Rasnius Pasaribu yang sekarang menjadi anggota DPRD Kota Bekasi untuk meletakkan batu pertama. Saya katakan kepada Om Simon, “Om, ini kita mulai dulu sambil berdoa. Nanti kalau uangnya habis, kita berhenti dulu. Baru kalau sudah ada uang lagi, kita lanjut lagi. Dan yakin saja, pasti selesai,” ungkap saya optimistis. “Iya. Terima kasih,” jawab Om Simon singkat.

Benar! Rasa optimistis saya itu langsung bertunas pada hari berikut. Ketika saya ke sebuah toko bangunan untuk membeli batako, saya bercerita bahwa saya sedang membangun rumah seorang tukang abu gosok. Ternyata pemilik toko itu sering melihat tukang abu yang saya maksud. Secara spontan pemilik toko banguan itu katakan, “Pak, nanti berapa pun batako yang bapak perlukan untuk membangun rumah itu, saya sumbang. Ambil saja dari sini.” Wow!

Saya lalu share usaha membangun ini ke teman-teman. Ada yang sumbang uang, ada juga yang sumbang keramik, kusen jendela dan pintu. Alhamdulillah, puji Tuhan! Dalam waktu tiga bulan rumah itu selesai sehingga Om Simon dan keluarga bisa tempati secara nyaman. Rasa syukur tak henti-hentinya keluar dari bibir Om Simon dan keluarga setiap kali saya kunjungi, walau saya tidak singgung-singgung soal rumah itu.

Berbagi dari Kekurangan

Beberapa bulan lalu, saya berkunjung lagi ke rumah Om Simon. Sehari sebelumnya, yakni 7 Mei 2020, Om Simon bangun sangat pagi. Dia bahkan mendahului ceracau beberapa ekor burung yang beterbangan dari satu pohon ke pohon lain. Maklum di tempat tinggalnya, masih berdiri sejumlah pohon tempat hinggap burung.

Terjaga dari tidurnya, ia menggapai selimut malam lalu melipat dengan rapi. Dia duduk bersila dan berdoa sejenak, mengucap syukur atas hari baru dan mohon berkat. “Tuhan, jika saya dapat rezeki dalam beberapa hari ini, saya ingin membantu tetangga saya walapun hanya sedikit. Saya kasihan mereka. Saya memang miskin, Tuhan. Tapi saya mau membantu mereka. Kasihan.”

Om Simon mulai bekerja di saat matahari belum benar-benar panas. “Kalau  matahari sudah panas, saya tak kuat lagi narik gerobak itu,” ujarnya menunjuk gerobak kecil di depan rumahnya. “Kalau dulu waktu masih muda, enteng saja, tapi sekarang tak kuat lagi. Sudah tua,” ujarnya dengan suara lirih.

Biasanya Om Simon sudah sampai di rumah pada pukul 12-an, tapi sudah hampir pukul 14, dia belum juga muncul. Ini membuat Eni anaknya gelisah, lalu segera menyusul ayahnya. Eni tahu persis jalan-jalan yang ayahnya susuri, maklum Eni sering menyertai sang ayah. Baru sekitar sekilo lebih Eni berjalan, ia sudah melihat ayahnya dari kejauhan. Eni mempercepat langkahnya menjemput sang ayah. Akhirnya Eni yang menarik gerobak.

 Berbagi dari yang Sedikit

Simon dan anak bungsunya, Eni. Foto: EDL

Keesokan harinya, Opa Simon tidak ke mana-mana. Dia di rumah saja untuk mengemas abu gosok ke dalam kantong-kantong kecil. Tiba-tiba, sekitar pukul 11, sebuah pesan masuk di hanphone  anaknya. Sebenarnya pesan itu sudah dikirimkan seseorang dua hari sebelumnya, namun karena handphone sang anak tidak aktif, maka baru hari itu pesan tersebut masuk. Sang pengirim pesan meminta Eni untuk ke rumahnya. “Ada perlu,” kata pengirim pesan itu.

Ternyata, pengirim pesan itu sudah menyiapkan sejumlah uang dalam amplop. “Ini ada sedikit uang untuk Om Simon. Ada yang titip ke saya,” kata pria itu.

Ketika amplop itu dibuka, ada 1 juta rupiah. “Puji Tuhan. Tuhan kabulkan doaku,” kata Om Simon.

Dia segera mengajak Eni untuk ke warung untuk membeli beberapa kebutuhan pokok, lalu mengemasnya dalam tiga paket. Ada beras 5 kg, gula 0,5 kg, minyak goreng dan beberapa bungkus mie instan. Tiga paket ini kemudian diantarkan ke tiga orang tetangganya yang situasi hidupnya sangat “menggangu” pikiran Om Simon. “Saya memang miskin, tapi saya harus berbagi walaupun sedikit, lagian uang itu dari Tuhan,” ujarnya terharu.

Semangat NJE dan Om Simon

Lantas, apa hubungan antara JNE dan Om Simon. Mungkin Om Simon tidak pernah mengirim barang melalui JNE. Tapi semangat berbagi kebahagiaan yang JNE hidupi melalui jasanya dalam distribusi kiriman, bisa saja ikut menyusup dalam nadi dan hidup Om Simon. JNE dan Om Simon sama-sama memiliki semangat untuk melayani sesama dalam segala situasi.

Dari mana Om Simon bisa mengenal JNE? Tentu saja melalui iklan JNE di televisi dan mungkin dari obrolan dengan tetangganya. Ya, ini karena JNE telah menjadi milik semua orang secara lintas batas.

Selamat ulang tahun ke-30 JNE.

#jne #jne30tahun #connectinghappiness #30tahunbahagiabersama

Related Post

Leave a Reply