Mon. Nov 25th, 2024

Terima Kasih untuk Nikita, Irjen Fadil dan Jenderal Dudung

Terima kasih untukmu

Oleh Emanuel Dapa Loka

Emanuel Dapa Loka

Sejak 10 November 2020 lalu, ketiga nama pada judul tulisan ini tiba-tiba memenuhi atmosfer Indonesia. Nama mereka menjadi perbincangan di mana-mana. Mengapa? Karena mereka muncul di saat yang tepat, di kala masyarakat Indonesia merindukan sosok-sosok yang bisa menyirami hati mereka dengan air sejuk nan melegahkan.

Betapa tidak? Tepat 10 November yang juga merupakan Hari Pahlawan, terjadi riuh renda yang dipicu oleh kembalinya Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dari tanah Arab setelah 3,5 tahun “menyepi” di sana. Saat itulah hati sebagian masyarakat gundah-gulana. Mereka “makan gigi” namun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun dalam keadaan terimpit kekhawatiran tingkat tinggi akibat wabah virus korona berikut berbagai persoalan kehidupan ikutannya.

Khawatir? Ya, sebab kerumunan orang FPI dan simpatisannya akan menjadi kluster baru penyebaran virus ke mana-mana, dan itu terbukti kemudian. Belum lagi narasi-narasi provokatif yang keluar dari mulut MRS yang sama sekali tanpa beban menyerang sana-seni. Benar-benar, langit kebangsaan kita dalam bahasa Dr. Bambang Noorsena menjadi sangat pengab dan menyempit.

Dari lagaknya, MRS seperti mengatasi atau bisa mengangkangi hukum sesukanya, dan tak satu pun yang bisa atau mampu membendungnya. Pengikutnya pun merasa di atas angin. Eforia, keberanian, dan mungkin juga tingkat kenekadan mereka sedang klimaks-klimaksnya.

Keadaan ini sungguh menganiaya kenyamanan dan ketenangan, serta kian membuncahkan kekhawatiran masyarakat terhadap masa depan bersama. Di saat semacam inilah Nikita, Fadil dan Dudung muncul dengan sikap tegas dan gagah berani.

Nikita, Tidak Tertaklukkan

Nikita, pemberani

Nomen est omen, begitu bunyi sebuah ungkapan klasik yang berarti “nama adalah tanda”atau  the name is a sign, the name speaks for itself. Ungkapan ini membawa pesan bahwa dalam sebuah nama termuat makna yang bisa menjelaskan siapa orang yang memakai nama itu, “nama berbicara atau menjelaskan dirinya”. Diharapkan semangat atau roh yang terkandung dalam sebuah nama, meresap ke dalam diri penyandangnya. Karena itu, setiap orang tua berusaha memberikan nama terbaik kepada anak-anak mereka. Mereka berusaha menyematkan nama sosok tertentu dengan harapan anak mereka itu bisa seperti “pemilik” nama itu.

Kalau kita sepakat dengan makna omen est omen tersebut, nama Nikita membawa pesan tersendiri. Nikita berarti “penakluk orang”  atau “tidak tertaklukan” atau “menang”. Mungkin roh tidak tertaklukkan telah meresap dalam diri Nikita sehingga dia berani berdiri tegak menghadapi ancaman yang bagi kebanyakan orang lain bisa bikin gemetar itu.

Nikita Mirzani tanpa gentar menyebut MRS sebagai “tukang obat”. Frase ini membuat pengikut Rizieq yang merasa di atas angina dan jumawa lalu memaki dan mengancam Nikita. Kata-kata kotor pun meluncur dari mulut Maheer, orang yang menyebut dirinya “ustaz” itu.

Maheer At-Thuwailibi tersinggung kelas dewa sehingga mengancam akan mengeruduk rumah Nikita. Dia pun menyebut Nikita lo*te dan  penjual selangka**** .

Uniknya, wanita yang cenderung bicara ceplas-ceplos ini tidak gentar. Dia tetap berdiri sebagai Nikita yang apa adanya dengan sikap “keras kepala” dan tidak mau sok suci.

Tidak Ada Gigi Mundur

Irjen Pol Fadil Imran

Fadil Imran. Nama Kapoda Metro Jaya ini merekam arti yang sangat mulia. Fadil berarti suka memberi, murah hati, dermawan. Sedangkan Imran berarti tuan rumah. Orang tuanya memberi nama tersebut tentu dengan harapan anak mereka menjadi anak sopan, soleh, dermawan, dan taat kepada agamanya.

Tugas utama Fadil Imran sebagai Kapolda Jakarta adalah memberi rasa aman dan nyaman kepada masyarakat Jakarta. Tatkala ketidaknyamanan terserak di mana-mana, pantas orang mengugatnya.

Pak Fadil tahu betul tugasnya itu sehingga ia berani mengambil sikap tegas dan terukur terhadap siapa pun yang menciptakan keonaran di Ibu Kota. Dia pun terkenal dengan istilah baru: “tidak ada gigi mundur”. Tentu saja maksudnya, dalam upaya menciptakan keamanan dan menyamanan di Jakarta, tidak ada kata mundur atau kendor. Dan itu ia buktikan.

Lulusan Akpol 1991 yang berpengalaman dalam bidang reserse ini benar-benar ingin menjadi tuan rumah yang dermawan, yang ingin mendermakan kenyamanan dan keamanan kepada warga Jakarta.

Itu Perintah Saya

Jenderal Dudung

Kegaduhan yang timbul saat HRS pulang dan diikuti dengan berbagai kegiatan yang menimbulkan kerumunan itu membuat Pangdam Jaya Dudung Abdurahman gerah. Dudung lalu mengambil keputusan, bertindak dan bersuara. Tatkala banyak pihak bertanya-tanya siapa yang berani menurunkan haliho HRS, Dudung muncul dan mengatakan dengan tegas: “Itu atas perintah saya”. Dia pun tidak mundur dengan sikapnya walau mendapat kritikan tajam, termasuk dari Fadly Zon, anggota DPR RI itu.

Dudung memiliki kemauan yang keras. Persis seperti makna namanya. Dudung berarti kemauan keras dan wibawa. Orang yang menyandang nama Dudung, biasanya bisa dipercaya dan gemar menolong. Sedangkan Abdurachman berarti “hamba Allah yang Maha Pengasih”.

Maka lengkaplah, Dudung Abdurachman adalah sosok berkemauan keras yang membawa serta sifat sebagai hamba Allah yang Maha Pengasih. Ya, kasih yang bersemayam dalam dirinya, mendorong Dudung Abdurachman berdiri tegak menyatakan sikap untuk memberikan rasa nyaman kepada masyarakat.

Atas keberanian dan sikap tegas ketiga orang tersebut, masyarakat patut mengangkat topi dan memberi apresiasi yang tinggi. Sikap mereka telah kembali mencerahkan langit kebangsaan dan persaudaraan dalam masyarakat.

Related Post

4 thoughts on “Terima Kasih untuk Nikita, Irjen Fadil dan Jenderal Dudung”
  1. Terimakasih kepada ketiga anak NKRI. MEREKA MAMPU MEMBUMIKAN KOMITMEN PENEGAKAN KEUTUHAN NKRI DALAM TINDAKAN NYATA. SEMOGA SEMNGAT MEREKA MENGHENTAK KAMI ANAK BANGSA YANG LAIN UNTUK TETAP MENJAGA DAN MENEGAKAN KEITUHAN NKRI DALAM KARYA NYATA.

Leave a Reply