TEMPUSDEI.ID (8/1/21)
Inti perkawinan Katolik adalah janji kedua belah pihak. Janji tersebut berisi kesepakatan bahwa mereka akan saling mencintai serta berjanji untuk hidup bersama seumur hidup dalam suka dan duka, untung dan malang. Pertanyaannya, sampai kapan perjanjian itu berlangsung? Jawabannya “seumur hidup”! Mengapa? Karena perkawinan Katolik itu suci dan tak terceraikan, kecuali dipisahkan oleh kematian.
Idealnya dan semestinya perkawinan Katolik seperti itu. Namun kerapkali kenyataan berbicara lain. Ketika masalah muncul dalam hidup perkawinan, banyak pasangan yang limbung, bingung lalu buru-buru mengambil keputusan untuk berpisah. Kalaupun tidak berpisah, mereka hidup dalam suasana yang hambar dan dingin. Masalah yang muncul telah menelan hubungan yang hangat, cinta yang mengikat dan semangat untuk saling melengkapi.
Bagi penulis buku ini, masalah yang muncul dalam hidup perkawinan bukanlah ancaman, tapi justru menjadi “sarana” merekatkan hubungan dan membarakan cinta, namun dengan syarat keduanya saling terbuka dan mau balajar. Dia sadar bahwa pernikahan itu adalah lembaga yang menyatukan dua orang yang berbeda tentu dalam banyak hal.
Atas dasar itu, Eleine menulis buku ini untuk semua orang yang menjalani peziarahan batin, khususnya melalui hidup perkawinan. Lewat segala permasalahan dan kesulitan dalam hidup perkawinan, pasangan suami istri dibentuk menuju persatuan cinta dengan Tuhan.
Pembicara awam Katolik dalam berbagai seminar, retret pembaruan hidup dalam roh dan pembinaan spiritualitas memperuntukkan bukunya ini untuk mereka yang mengalami penderitaan dan kesulitan dalam menjalani hidup perkawinan. Buku ini diharapkan membuka kesadaran akan kenyataan bahwa perjalanan hidup seringkali dimulai di tengah kegelapan dan penderitaan.
Dengan optimistis Eleine mengatakan bahwa perkawinan yang berbuah justru seringkali dibangun di atas puing-puing kehancuran ego yang dibentuk kembali dalam penyerahan diri secara total kepada Tuhan. “Tuhan ahli dalam memberi awal yang baru. Di tanganNya ada kehidupan baru yang didambakan semua orang. Di dalam Yesus kita menerima semua berkat dan rahmat yang kita perlukan dalam menjalani hidup perkawinan hingga akhir,” ungkapnya.
Karenanya bagi dosen STFT Widya Sasana Malang ini yakin bahwa perkawinan adalah sekolah iman. Di situlah terdapat ujian, persoalan, pertanyaan, juga jawaban. Dan baginya, memutus perkawinan di tengah jalan ibarat menggugurkan rencana Allah bagi keluarga. “Setia pada komitmen, percaya dan melakukan Sabda Allah adalah kunci pada berkat dan rahmat yang kita perlukan dalam menjalani perkawinan hingga akhir,” tulisnya mengingatkan.
Buku ini terdiri atas delapan bab yang disusun sistematis sehingga dari awal pembaca sepertinya sedang dituntun untuk memahami hakikat perkawinan, semangat semacam apa yang harus ada dalam pernikahan, tantangan semacam apa yang muncul dan bagaimana menghadapi masalah yang muncul.
Membaca buku ini berarti membiarkan diri memandang sebuah hidup perkawinan dengan jiwa besar lalu masuk dalam suasana hidup perkawinan itu untuk menyerap spirit baru dalam menjalani hidup. Maka tepatlah kalau dikatakan bahwa “perkawinan sebagai sebuah ziarah batin sepasang insan”. Selamat membaca. (EDL/tD)