Fri. Nov 22nd, 2024
Gus Mus, penyair dengan diksi-diksi sederhana namun berenergi. (foto: tangkapan layar)

TEMPUSDEI.ID (30/1/21)

Dalam dunia susastra Indonesia, khususnya puisi, nama Mustofa Bisri atau Gus Mus adalah nama yang tidak boleh tidak, harus disebut. Dengan kedalaman makna dan pesan, karya-karyanya menempati kavling tersendiri di hati masyarakat. Puisi-puisi Gus Mus yang sederhana dengan diski “biasa” banyak disukai karena berangkat dan keluar dari dirinya, dan terlebih telah terolah dalam batinnya.

Karya-karyanya telah banyak mendapat apresiasi, bahkan, dialah penyair pertama yang menerima penghargaan “Yap Thiam Hien Award”, penghargaan  yang biasanya dianugerahkan kepada sosok-sosok tertentu pada Hari Hak Asasi Manusia, 10 Desember. Pada tahun 2017, Kiai pengasuh pondok pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang ini menerima Yap Thiam Hien Award karena dinilai memiliki perhatian yang besar terhadap perjuangan dan tegaknya nilai-nilai hak asasi manusia.

Meski puisi-pusinya sebegitu berenergi, Gus Mus mengaku, dalam berkarya, dia “hanya berkarya” tanpa memikirkan atau mempertimbangkan banyak hal termasuk teori berpuisi atau memaksudkan yang dia tulis itu puisi atau tidak, atau jenis puisi apa yang dia tulis. “Saya menulis saja tanpa memaksudkan untuk hal tertentu. Menulis, ya menulis saja agar produktif. Semua pujangga saya baca. Saya baca sampai ke Joko Pinurbo,” ungkapnya ketika berbicara dalam Zoom Meeting tentang Poetry Writing bertema Merangkai Puisi Religius pada 30 Januari 2021 . Forum tersebut diikuti oleh banyak penyair dan akademisi antara lain Eka Budianta, Riris Sarumpaet.

“Ketika semua yang saya baca itu masuk  dalam diri saya, saya bisa menulis. Saya kagumi Joko Pinurbo. Kalau dia baca Kita Sucinya, dia dapat inspirasi lalu menulis puisi,” akunya sambil menjelaskan bahwa puisi-puisinya lebih banyak terinspirasi dari kenyataan daripada imajinasi.

“Saya menulis saja, saya tidak tahu teori. Saya hanya membaca banyak karya sastra, dan itu semua otomatis memengaruhi. Saya hanya menulis, biarlah kritikus melakukan tugasnya. Namun kita juga perlu dengarkan apa yang dikatakan kritikus demi pengembangan diri kita sendiri,” jelasnya lagi.

Berjarak dengan Manusia dan Tuhan

Menjawab pertanyaan, “Mana yang lebih efektif berdakwah melalui puisi atau prosa,” dia menjawab singkat, “Cara paling baik dalam mengajak orang adalah kelakuan atau perilaku kita”.

Menyinggung soal wabah virus korona, Gus Mus mengatakan bahwa kita virus korona harus dipahami sebagai wabah kemanusiaan dan teguran teguran dari Allah.

Manusia lanjutnya, sering lupa dengan sesamanya bahwa mereka satu nenek moyoang, yakni Adam dan Hawa. “Nah kita diingatkan. Ketika kita memiliki kelompok, lalu kelompok lain kita anggap sebagai bukan jenis manusia. Peringatan ini kena pada semua. Ini wabah kemanusiaan yang mengingatkan manusia terhadap jati dirinya,” ujar Gus Mus.

Kita jelas Gus Mus lagi, diminta oleh Tuhan supaya berjarak dengan dunia ini. “Kita terlalu akrab dengan dunia ini sehingga berjarak dengan keluarga dan Tuhan kita. Kita harus atur kembali hidup kita supaya proporsional. Sekarang ini kita belum memahami betul tentang disiplin prokes, ogah-ogahan, merasa diri kebal. Padahal manfaat pakai masker juga untuk orang lain. Kita perlu pikirkan juga saudara-saudari kita. Ini pelajaran dari Tuhan untuk saling memperhatikan,” ungkapnya dari Pondok Pesantrennya di Rembang, Jawa Tengah.

Pada kesempatan ini Eka Budianta mengatakan, “Gus Mus sudah membawa kita pada fitra puisi yang sesungguhnya sebab kata Gus Mus, kebebasan jiwa harus menjadi tumbuan diri untuk berkarya.” (tD/EDL)

 

Related Post

Leave a Reply