TEMPUSDEI.ID (30/1/21)
Namaku Narto Widjaja, anak bungsu dari empat bersaudara. Keluarga biasa memanggilku Yongky, nama yang diambil dari nama Chineseku Oei Kim Liong. Semua kakakku perempuan sehingga kelahiranku sangat ditunggu-tunggu baik oleh orang tua maupun oleh ketiga kakakku. Dan benar! Aku sangat disayang oleh keluargaku. Dalam kasih keluarga aku tumbuh sebagai laki-laki dewasa. Tekadku hanya satu, ingin membahagiakan kedua orang tuaku.
Tekad tersebut membuatku sangat bersemangat mencari uang. Akhirnya, yang terpenting bagiku adalah uang dan uang. Aku pun mengabaikan ajakan untuk percaya Tuhan Yesus. Aku bekerja keras. Benar-benar kerja keras. Hasilnya? Karierku cepat melesat di perusahaan yang cukup terkenal, walau aku masih tergolong karyawan baru.
Pada 26 Juli 1984 malam, dengan motor kesayanganku, aku melintas di ruas jalan di depan Kantor Pos Pasar Baru, Jakarta Pusat. Saat itu aku dalam perjalanan pulang dari tempat tugasku di arena Pekan Raya Jakarta (ketika itu di Monas). Tidak ada yang aneh. Aku hanya merasa ada orang yangmembuntututiku, itu pun aku kira temanku yang iseng.
Karena penasaran, aku menoleh ke kiri untuk mengenali orang yang membuntutiku itu. Dan astaga! Seketika, orang itu menyiramkan ke wajahku air keras. Sangat panas panas rasanya. Aku langsung terjatuh ke aspal. Bersyukur ada seorang baik hati yang langsung membawaku ke RS Husada Mangga Besar.
Kegelapan datang dalam hidupku
Berbulan-bulan aku menjalani pewaratan di RS Husada, namun tidak ada kemajuan yang berarti. Akhirnya keluarga memutuskan untuk membawaku ke Singapura dengan harapan saya bisa melihat kembali. Di akhir perawatan di Singapura setelah hampir dua bulan dirawat, dokter menyampaikan kepadaku bahwa aku harus mulai belajar huruf braille. Aku segera menangkap dengan jelas bahwa aku akan buta seumur hidup. Kami kembali ke Jakarta dengan keadaanku yang masih buta.
Memulai hidup sebagai orang buta tidaklah mudah. Aku seperti hidup dalam kuburan, gelap gulita. Aku frustasi, hilang harapan dan masa depan, apalagi seorang gadis yang aku cintai meninggalkanku. Di dalam keputusasaanku, ada anak-anak Tuhan yang mengasihi, mendoakan dan menguatkanku. Mereka menyampaikan kabar baik tentang Yesus yang mengasihiku, dan akhirnya aku menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru selamat pribadiku. Aku bertumbuh dan menerima babtisan air.
Kutemukan terang dan hidup baru
Aku mengalami kehidupan yang baru. Memang mataku secara jasmani tetap buta, tetapi aku menemukan terang Ilahi di dalam Yesus. Hidupku berubah, harapan baru telah datang bersama Yesus. Aku tidak lagi putus asa. Aku adalah anak Allah yang dikasihiNya. Aku mulai belajar main gitar dan ikut melayani Tuhan. Berjalannya waktu, Tuhan memberikan lagu-lagu baru dalam mulutku, dan akhirnya aku mulai mencipta lagu rohani.
Tahun 1992, album perdana yang aku garap bersama teman-teman sesama tuna netra berhasil masuk masuk dapur rekaman dan diorbitkan oleh Soli Deo. Semua lagu yang kuciptakan dan dinyanyikan oleh seorang artis Rosana Purba. Banyak lagu yang tercipta dalam kebutaanku. Aku terus mencipta sebagaimana Roh Kudus berikan lirik-lirik lagu dalam hatiku.
Kerinduan untuk berkeluarga
Sebagaimana pemuda pada umumnya, akupun rindu membangun sebuah keluarga. Tapi wanita mana yang mau dengan seorang tuna netra seperti diriku? Aku terus berdoa supaya Tuhan kirimkan seorang wanita yang bisa menerimaku apa adanya.
Pada tanggal 1 Agustus 1999, seorang sahabat lama datang ke rumahku bersama seorang wanita sahabatnya yang tinggal dan melayani di Jogjakarta. Kami berkenalan dan ternyata wanita itu adalah seorang gembala di sinode gereja yang sama dengan saya. Ini adalah awal kekagumanku! Seorang wanita sebagai gembala! Aku mendengar dia memainkan gitar dan menyanyikan sebuah lagu, merdu sekali. Ahaaa ini dia wanita yang aku dambakan. Setelah perkenalan itu, aku mencoba menghubunginya kembali lewat telepon dan semakin kuat hasratku untuk memintanya menjadi istriku. Tanggal 3 Agustus aku sudah bertekat bulat untuk mengatakan, dan aku benar-benar melakukannya.
Kebahagiaan bersama keluarga
Tanggal 12 Desember di tahun yang sama, kami menikah. Tahun ini adalah 22 tahun perjalanan pernikahan kami. Tuhan anugerahkan seorang putra yang sudah kuliah di semester empat. Saya benar-benar mendapatkan anugerah kedua setelah keselamatan yang saya terima dari Tuhan, yaitu seorang istri yang menerimaku apa adanya. Dia bukan saja tulang rusuk, tapi juga tulang punggung bagi keluarga kami. Dia mengasihi saya dengan tulus dan tak pernah menuntut apa pun. Semua karena anugerah Tuhan.
Suatu ketika istriku bertanya kepadaku,“Jika suatu hari, orang yang telah menyirammu dengan air keras itu datang kepadamu, apa yang akan kau katakan padanya?” Aku menjawabnya, “Aku akan mengucapkan terima kasih padanya, karena melaluinya aku menemukan Tuhan yang mengasihiku dengan sempurna”. (Seperti dituturkan Narto Widjaja kepada Yustina Miyarti)