Oleh Emanuel Dapa Loka
Di tengah berbagai kesibukan yang menyita setiap detik kehidupan kita, harus ada kesempatan untuk rehat sejenak. Selain untuk mengendorkan otot dan pikiran, juga untuk menarik nafas dalam-dalam seraya mencermati jejak langkah yang telah kita torehkan, merefleksikan berbagai tindakan yang sudah kita ambil dan menyelam ke dasar nurani yang paling dalam untuk menimbang atau memikirkan kembali langkah-langkah lanjutan perjalanan kehidupan. Di saat semacam inilah, kita berdialog dengan diri sendiri melibatkan akal, budi, etika, estetika dan pertimbangan-pertimbangan moral serta ajaran iman. Wow!
Tapi beranikah kita? Pertanyaan ini perlu diajukan karena setiap orang yang mengambil waktu rehat untuk tujuan-tujuan tersebut diandaikan bersedia mendengar suara kejujuran dari dasar nuraninya. Pada saat-saat refleksi akan muncul suara yang “mengadili” jika yang bersangkutan berperilaku menyimpang dalam hidupnya.
Konsekuensinya, jika yang bersangkutan mau jujur, maka ia akan “dipaksa” untuk bertobat atau memutar haluan. Maka bisa dibayangkan jika yang melakukan rehat di atas adalah seorang koruptor yang telah merugikan negara atau perusahaan bermilyar-milyar dan sedang berusaha menyembunyikan kukunya. Atau siapa pun yang sedang menutup-nutupi kejahatannya. Sekali lagi, jika konsekuensinya demikian, maukah orang semacam ini mengambil waktu rehat untuk berefleksi?
Namun, ada juga orang yang secara rutin mengambil waktu rehat dan tampak tekun berefleksi, namun kelakuannya setelah itu sama saja. Malah, satu hal yang “mati-matian” ia lakukan kemudian adalah berusaha sedemikian rupa dengan rapi dan cermat menyembunyikan belangnya—sambil memerlihatkan kesalehan hidup, ketekunan dalam hidup rohani dan laku kemanusiaan yang sesungguhnya hanya “keseolah-olahan”. Sudah banyak contoh tentang ini baik dari kalangan berjubah maupun dari sekadar berbaju. Seringkali baju atau jubah menipu atau sama sekali tidak memberi gambaran yang sesungguhnya tentang sosok di baliknya.
Mereka yang terperangkap operasi tangkap tangan KPK, secara indra manusiawi sangat saleh—malah bisa membuat malaikat minder karena sang malaikat mengira dirinyalah yang paling suci, ternyata ada yang “lebih suci”. Ada pula yang berpakaian “kebesaran” mengundang decak kagum, tapi kelakuannya membuat setan “pingsan-pingsan”—sebab setan menganggap dirinyalah yang paling jahat dan terkutuk, ternyata ada yang lebih jahat.
Di sisi yang lain, banyak orang yang oleh karena penampilannya dan kata-katanya tidak beraturan atau cenderung kasar dan apa adanya, mereka dicap kurang ajar, jahat atau malah kafir, namun ternyata hidup dan kebijakan hidupnya betapa pun sederhananya, telah menjadi berkat bagi banyak orang. So, don’t always judge the book from its cover.
Lalu, harus bagaimana? Kita memerlukan sikap jujur, terutama pada diri sendiri. Aristoteles (384 SM – 322 SM) di dalam bukunya Ethika Nikomacheia menjelaskan, sebagai manusia, setiap orang memiliki tujuan tertinggi dalam kehidupannya, yakni mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sebagai kepenuhan hidup dan tujuan tertinggi.
Hidup yang bahagia dan penuh sekaligus menurutnya adalah hidup yang bermutu tinggi, yakni hidup yang baik. Dan hidup yang baik berisi tindakan baik yang membawa kebaikan, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk orang lain. Hidup yang baik juga berarti hidup yang optimal, di mana semua kemampuan yang ada pada diri seseorang berkembang secara maksimal.
Uang dan nama besar dalam Etika Aristoteles, sama sekali bukan merupakan tujuan tertinggi. Itu hanya merupakan alat yang bisa mengantar seseorang pada tujuan lainnya, misalnya kebahagiaan hidup atau sejahtera bersama keluarga.
Murid Plato ini yakin bahwa kebahagiaan dan kepenuhan hidup hanya dapat ditemukan di dalam kodrat alamiah manusia yang unik, dan inilah yang membedakannya dengan hewan maupun tumbuhan. Tumbuhan hanya memiliki dua kecenderungan, yakni makan dan melanjutkan keturunan. Namun, manusia memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh hewan maupun tumbuhan, yakni berpikir dengan menggunakan akal budinya (dan mempertajam nuraninya).