TEMPUSDEI.ID (7/2/21)
Seorang pemuda datang kepada seorang Guru tua hendak berkonsultasi. “Saya menghancurkan sesuatu, Guru”, kata pemuda itu. “Seberapa buruk kehancuran itu?” tanya sang Guru. “Hancur dalam jutaan keeping,” kata pemuda itu.
“Saya ragu bisa menolongmu,” jawab Sang Guru. “Mengapa tidak?” “Tak ada yang bisa kubuat”. “Mengapa tak bisa diperbaiki?” desak pemuda itu. “Karena kehancurannya melampaui kemampuan untuk diperbaiki. Ini jutaan keping, anakku,” jawab Sang Guru.
Tak ada yang bisa diperbaiki lagi.
Ini adalah nada dasar Ayub dalam bacaan pertama minggu ini. Ayub memandang hidupnya tak berarti lagi ketika duka dan derita menimpanya nyaris tak berkesudahan.
“Ingatlah bahwa hidupku hanya embusan nafas, mataku tidak akan lagi melihat yang baik” (Ayub 7, 7).
Keputusasaan dan kehilangan harapan bisa begitu menguasainya sehingga hanya dia melihat hidup dengan sikap pesimistis.
Hidup yang diliputi rasa sakit, penderitaan dan kesedihan, bagaikan drama tanpa akhir dalam sejarah umat manusia.
Kadang hidup dialami sebagai kehancuran tanpa kemungkinan untuk diperbaiki lagi. Hidup juga bisa dialami sebagai kegelapan tanpa ada harapan melihat terang, tersesat tanpa jalan keluar.
Hidup macam inilah yang pertama-tama menyentuh perhatian Yesus. Injil Markus yang dikenal sebagai Injil “apa adanya” tentang Yesus, mengisahkan pada bagian awal karya Yesus sebagai karya karitatif.
Yesus mengusir setan dan menyembuhkan ibu mertua Petrus di Kapernaum. Selanjutnya kisah hidupnya berputar sekitar khotbah/pengajaran dan tindakan penyembuhan.
Karya-Nya adalah restorasi hidup, baik jasmani maupun rohani. Dia tidak berpretensi untuk mengubah dunia dalam sekejap. Dia justru mulai dengan apa yang ada di depan mata, dari satu orang ke orang yang lain.
Hidup macam ini tentu saja mendatangkan pujian dan kekaguman. Yesus dielu-elukan sebagai seorang nabi yang penuh kuasa. Rasa nyaman dalam penerimaan dan pujian orang kadang membuat orang tak mau pergi dari tempat itu.
Tapi Yesus memilih sikap untuk pergi ke tempat lain juga. Dia bekerja bukan untuk kenyamanan pribadi melainkan untuk orang lain. Dia tidak mencari pujian tetapi membagi kebaikan dan kasih kepada orang lain. Hidup-Nya adalah hidup yang diabdikan.
Beberapa tahun yang lalu, di Swedia, seorang perawat yang bekerja di sebuah rumah sakit pemerintah ditugaskan untuk merawat seorang pasien wanita tua. Penyakit pasien ini berat. Dia tidak mengucapkan satu kata pun selama tiga tahun. Perawat-perawat lain menghindari dia.
Tetapi perawat baru ini memutuskan mencoba mempraktikkan “cinta tanpa syarat”. Sepanjang hari wanita itu hanya duduk bergoyang di kursi goyang, sendirian. Suatu hari perawat ini juga duduk di kursi goyang di samping wanita itu dan bergoyang bersama dan menunjukkan kasih kepadanya.
Akhirnya, pada satu kesempatan perawat ini menyentuh dan menggenggam tangan wanita itu. Setelah beberapa hari, pasien wanita ini tiba-tiba membuka matanya dan berpaling kepada perawat itu sambil berkata: “Engkau sungguh baik”. Hari berikutnya dia berbicara lebih banyak lagi. Dan dua minggu kemudian, secara mengagumkan wanita itu sudah cukup kuat untuk pulang ke rumah.
Meski kasus ini tak selalu terjadi, tetapi yang pasti, cinta mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan. Yang penting hidup harus dipenuhi sikap optimistis dan penuh harapan. Di mana ada cinta, di situ ada mukjizat.
Salam dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris, Weetebula, Sumba, NTT