TEMPUSDEI.ID (17 FEBRUARI 2021)
Covid-19 itu benar-benar ada dan mengancam nyawa. Jangan abai! Tetap pakai masker, jaga jarak, rajin cuci tangan dan jauhi keramaian. Testimoni berikut ini semestinya membuat kita makin waspada.
Menegangkan! Menakutkan! Seram namun pasrah pada Tuhan. Itulah situasi yang melekat erat pada diri dan batin Hermanus Dona selama berada di ruang IGD RSUD Cileungsi untuk menjalani perawatan akibat terpapar Covid-19. Betapa tidak dikatakan begitu?
Setelah diperiksa dan dinyatakan suspect covid, dia ditanyai pihak RS: apakah mau dirawat di rumah sakit dengan tidak ditemani keluarga (isolasi) atau menjalani perawatan mandiri di rumah.
Karena takut kesehatannya kembali memburuk kalau kembali ke rumah, setelah diskusi dengan istrinya, Herman memilih untuk diisolasi di rumah sakit dengan segala konsekuensi, termasuk yang terburuk.
Andai Jantung Berhenti Tiba-tiba
Untuk itu, pihak rumah sakit pun meminta istrinya untuk menandatangani surat persetujuan. Salah satu poin surat tersebut menyatakan bahwa apabila jantung pasien tiba-tiba berhenti, pihak para medis tidak akan memompa dada pasien seperti yang biasa dilakukan terhadap pasien biasa (non covid). Di sini ketegangan sudah mulai, sebab Herman tahu betapa bahayanya virus ini. Yang akan dilakukan para medis hanyalah memberi obat.
Setelah sang istri meyakinkan dirinya untuk tidak khawatir dan agar pasrah kepada Tuhan, Herman meminta istrinya segera menandatangani surat persetujuan tersebut supaya segera mendapat penanganan.
Segera setelah istrinya menandatangani surat persetujuan, Herman diinfus untuk persiapan tindakan medis selanjutnya.
Karena banyak sekali pasien yang harus berobat malam itu, Herman baru diantar masuk ke ruang perawatan IGD sekitar pukul 06.30 pagi. Ini berarti Herman antre 6 jam di luar ruang perawatan.
Begitu masuk IGD, batin Herman kian mengharubiru. Di depan matanya, semua perawat dan dokter mengenakan pakaian berwarna serba putih (pakaian hasnat) yang tertutup rapat. Terdengar pula suara-suara meraung kesakitan terutama dari pasien-pasien yang menggunakan ventilator dan yang dirawat dalam ruangan-ruangan khusus menggunakan banyak peralatan medis.
Herman dirawat di ruang ini selama 5 hari. Meskipun “hanya” 5 hari, namun guru Bahasa Inggris pada Sin’t Peter School, Kelapa Gading, Jakarta ini merasa seperti bertahun-tahun. “Sangat jauh dari yang saya duga,” katanya.
Ruang IGD disekat-sekat menjadi sekitar 10 ruangan. Ada juga ruangan yang hanya untuk 1 pasien. Ini untuk pasien yang menggunakan ventilator karena sangat sulit bernafas secara alami. Beberapa dari mereka meraung-raung kesakitan. Ketegangan bertambah lagi.
Bagian ruangan yang lain disekat untuk 2 atau 3 orang per kamar untuk pasien-pasien yang menggunakan alat bantu oksigen biasa serta yang masih bisa bernapas secara alami.
Di samping toilet yang cukup jauh dari tempat kami dirawat (kurang lebih 30-40 meter), jelas Herman memberi deskripsi, dokter dan perawat tidak stand by setiap saat. Mereka dijadwalkan masuk ke ruangan IGD hanya saat pasien harus diberikan obat, kemudian menghilang lagi untuk berjam-jam.
Suasana Mencekam
Ruangan IGD terasa sangat sepi dan hanya terdengar suara-suara meraung minta tolong. Dalam keadaan ini, tahu-tahu muncul “pasukan perawat” yang masuk ke ruangan bukan untuk melayani pasien, tapi untuk mengurus jenazah. Ada pasien yang meninggal! Yang pasti, almarhum atau almarhumah berjuang sendirian, tanpa ditemani siapa pun!
“Pasukan perawat” tersebut biasanya menggelar plastik hitam di lantai, kemudian menyolatkan jenazah sebelum dimasukkan ke dalam peti jenazah berwarna putih. “Ini biasanya mereka lakukan di tengah-tengah ruangan IGD yang bisa dilihat oleh pasien-pasien lain termasuk saya,” papar Herman.
Ketika melihat peristiwa demi peristiwa tersebut, pikiran Herman sudah ke mana-mana. Secara psikologis dia merasa down. Hal yang sama dirasakan juga oleh pasien-pasien lain. “Saya menyaksikan peristiwa seperti ini sebanyak 5 kali dalam 5 hari,” aku Ketua Umum Ikatan Keluarga Besar Sumba, NTT se-Jabodetabek ini.
Di ruangan ini jelas Herman lagi, di saat perawat dan dokter tidak punya jadwal masuk ke ruangan, pasien tidak bisa menghubungi mereka, walau butuh bantuan. Yang bisa dilakukan hanyalah menunggu sampai jadwal berikutnya.
“Pengalaman dirawat di IGD selama 5 hari sangat memengaruhi mental. Di samping harus bergelut dengan sesak nafas, penciuman yang hilang, mual, rasa nyeri di beberapa bagian tubuh seperti persendian, pusing, batuk dan demam, pasien menyaksikan bagaimana jenazah pasien yang meninggal disolatkan dan dimasukkan dalam peti jenazah sebelum diberangkatkan ke tempat peristirahatan terakhir,” kata pria humoris ini.
Tantangan Luar Biasa
Meski keadaan sangat menegangkan, Herman masih merasa beruntung! Dia selalu dikuatkan oleh istri, anak-anak, teman-teman, saudara saudari dan khusus Mamanya dari Sumba yang selalu memberikan semangat melalui telepon. Setiap kali menelepon pada pagi dan sore, sang Mama selalu mengajak Herman untuk beribadah bersama dan mengangkat puji-pujian.
“Suasana hening selalu mengingatkan saya bahwa bagaimanapun kondisinya, Tuhan tidak akan meninggalkan saya. Mama sedikit menyindir saya waktu ibadah pertama melalui telepon. ‘Bersyukur sekarang bisa beribadah bersama,’” kata Mama.
Ketika Mamanya telpon Herman selalu cepat-capat terima. Ini suasana yang jauh berbeda ketika dia sehat. “Kata Mama, nada telepon saya sering sibuk, dan kalaupun diiangkat terkadang diminta untuk telepon lagi beberapa jam kemudian karena saya sedang rapat atau mengajar atau ada kesibukan lainnya. Tuhan itu baik kata Mama. Mama selalu mengingatkan saya untuk bersyukur karena Tuhan mengizinkan saya melalui semua ini agar ada cukup waktu untuk mendengarkan firman Tuhan.”
Oleh karena keyakinan diri, iman, bantuan doa dan dukungan tersebut, dari hari ke hari semangat hidup Herman semakin bertambah dan kuat.
Pada hari ke-5 dia dipindahkan ke ruang rawat inap yang suasananya sangat jauh berbeda. Ruang rawat inap pasien isolasi adalah ruang perawatan biasa. Para medis akan masuk ke ruang pasien sesuai jadwal yang sudah diatur dengan pakaian khas mereka, pakaian hasnat.
Pantau Melalui CCTV
Di ruang rawat biasa ini, pasien bisa menghubungi perawat melalui bell yang ada di atas tempat tidur dan mereka pun setiap saat bisa memantau pasien melalui CCTV. Kalau pasien lupa mengenakan masker, dokter atau perawat akan langsung menegur.
Jelas Herman lagi, dengan perawatan intensif yang diberikan, seperti penggunaan masker uap yang ke dalamnya dimasukkan obat paru-paru, Heparin (alat pengencer darah ), dan obat-obatan serta tindakan medis lainnya seperti CT scan, rontgen, kondisi Herman semakin hari semakin membaik.
Saturasi atau kadar oksigennya yang rendah sudah mencapai angka 95 sampai 99. Saturasi yang dianggap normal adalah 95-100.
Diizinkan Pulang
Pada hari ke-20, dokter mengizinkan Herman pulang untuk perawatan mandiri di rumah. “Ini momen yang sudah saya tunggu-tunggu sejak lama. “Ketika sudah diizinkan pulang, saya teringat WA seorang teman: I know you are going to be fine my friend. It is stormy now but it won’t be like this forever (Saya yakin anda akan baik-baik saja, sobatku. Kini mungkin ada badai, tapi pasti juga akan berlalu).”
“Juga, benar yang dikatakan Mama saya bahwa saya perlu bersyukur karena semua ini diizinkan terjadi oleh Tuhan agar saya bisa beristirahat sejenak dari kesibukan dan dapat memiliki waktu untuk mengingat kebaikan Tuhan dalam kehidupan ini serta selalu bersyukur kepada-Nya.”
Patuhi Prokes, dan Terima Kasihku
Karena virus covid 19 ini sangat berbahaya, melalui tempusdei.id Herman mengingatkan kepada siapa pun agar selalu mengikuti protokol kesehatan yang sudah dianjurkan pemerintah dengan memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
Dia pun menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan Yesus atas segala anugerah-Nya. “Juga kepada semua keluarga, teman-teman di IKBS, pimpinan dan rekan-rekan kerja serta murid-murid saya, pengurus RT dan tetangga-tetangga saya di Cluster Bukit Damar, Perumahan Citra Indah, Bogor atas dukungan doa dan kebaikan hatinya, serta yang tak terlupakan para tenaga medis yang sudah memberikan perawatan terbaik selama saya dirawat. Tuhan memberkati kita semua,” ucapnya dengan tenang.
Herman sangat bersyukur atas semua perhatian dan pelayanan yang dia dan keluarganya alami. Apalagi istrinya Vonny Rambu Sanja dan anaknya Emily Rambu Podu Diah Dona juga terpapar korona dan harus menjalani isolasi mandiri di rumah.
“Saya sangat bersyukur. Tetangga bergotong royong lintas etnis dan agama membantu kami satu keluarga. Semua urusan rumah tangga diurus oleh warga di bawah koordinasi pengurus RT. Ini keadaan yang mempersatukan kami sebagai warga Cluster Bukit Damar,” pungkas Herman bangga. (tD/EDL)