Fri. Nov 22nd, 2024

Lagu Si Jali-jali, Anies Baswedan, dan Kong Kali Kong Jakarta

Jakarta saat banjir
Jakarta saat indah.

Oleh Simply da Flores, Alumni STF Driyarkara Jakarta, Pengamat Layanan Publik

TEMPUSDEI.ID (23 FEBRUARI 2021)

Masyarakat Jakarta dan sekitarnya, sedang menderita akibat banjir. Berbagai pemberitaan media menyoroti penyebab banjir selama masa kepemimpinan Anies Baswedan. Aneka kritik dilontarkan, semua menunjuk jari kepada Anies Baswedan. Berbagai kalangan menggugat dan menagih tanggung jawab Gubernur DKI itu. Salah satu topiknya adalah soal kebijakan menghentikan proyek gorong-gorong, serta normalisasi sungai dan got, lalu diganti dengan naturalisasi.

Masih banyak sorotan dan tudingan kepada Anies soal berbagai persoalan yang timbul karena kebijakannya. Daftarnya panjang: masalah kemacetan, penataan jalan dan trotoar, transportasi publik, pasar, pengelolaan sampah dan dana Covid-19, dana Bansos,  pembabatan pohon di Taman Monas, Dana Balap Mobil, pengangguran dan masih banyak lainnya.

 Si Jali-jali, Bukan Urusan Pribadi Anies

Gubernur Anies Baswedan

Semua pengelolaan pemerintahan di DKI ibarat lagu Betawi, Si Jali-jali. ….Lagunya enak merdu sekali, capek sedikit tidak perduli sayang, asalkan tuan asalkan tuan senang di hati..”  Lagunya bukan karangan Anies Baswedan, tetapi dia yang nyanyikan, namun bukan karena maunya dan untuk dirinya sendiri saja.

Pengelolaan pemerintahan dan kebijakan pembangunan di DKI adalah bukan urusan pribadi seorang Anies Baswedan. Dia adalah proses politik yang melibatkan segenap pihak: sponsor, partai pengusung, penyelenggara dan pengawas Pemilukada serta masyarakat pemilih, sehingga jadilah Anies sebagai Gubernur DKI. Dan karenanya, ketika menjabat Gubernur, dana pembangunan, kebijakan pembangunan dan peraturan daerah, semuanya bukan urusan pribadi dan keluarga Anies Baswedan.

Gubernur Anies Baswedan melakukan tugasnya sebagai eksekutif dan menggunakan anggaran dari negara, bersama legislatif dan yudikatif. Maka ada penegak hukum yang mengawasi dan memeriksa, ada Legislatif yang jelas tupoksinya kepada eksekutif: Gubernur Anies Baswedan dengan seluruh jajarannya. Gubernur mengelola APBD DKI berdasarkan persetujuan DPRD DKI, lalu diawasi penggunaannya oleh DPRD DKI, dan melaporkan pertanggungjawaban keuangan kepada DPRD DKI.

Peraturan Daerah dalam pelaksanaan tugas eksekutif juga diusulkan Gubernur, dibahas dan dikaji DPRD, lalu ditetapkan DPRD menjadi Perda. Saat pelaksanaannya, DPRD mengawasi dan meminta pertanggungjawaban eksekutifnya.

Di belakang komisi DPRD saat bertugas, ada fraksinya, dan ada partainya. Peran fraksi dan partai dari anggota DPRD adalah bagian yang sangat menentukan keputusan di DPRD. Lebih jauh, tidak kelihatan tetapi memiliki senjata pamungkas, adalah sponsor politik anggota DPRD – Partai serta  Gubernur dan Wakilnya, yakni para pebisnis dan kawan-kawan, sebagai mitra jaringan politik Partai.

Dengan konteks dan korelasi seperti dipaparkan di atas, maka kebijakan anggaran pembangunan dan peraturan daerah di DKI untuk dilaksanakan Gubernur bukan selera pribadi dan atau urusan rumah tangga dan perusahaan pribadi seorang Anies Baswedan.

 Tanggungjawab Pemerintahan DKI

Menurut saya, semua persoalan yang melanda masyarakat DKI, dalam tata kelola pemerintahan, adalah tanggungjawab bersama eksekutif, legislatif dan yudikatif DKI, bahkan lembaga di tingkat atasnya, karena DKI ada di pusat pemerintahan negara. Maka, pertanyaannya, mengapa legislatif menyetujui kebijakan pembangunan dan anggarannya, jika merugikan rakyat? Mengapa DPRD diam – tidak mengawasi, kalau ada pelanggaran eksekutif yang dipimpin Gubernur DKI? Mengapa ketika laporan pertanggungjawaban Gubernur, berbagai persoalan dibiarkan? Di mana lembaga penegak hukum, pengawas dan pemeriksa keuangan, KPK, Depdagri, dan kementerian lainnya, yang tidak menindak Gubernur DKI, jika bertindak melawan hukum dan menyalahgunakan kewenangan jabatannya, lalu terbukti menyengsarakan rakyat dengan berbagai persoalan?

Media sebagai pelaku tugas kontrol publik, sudah berperan melakukan advokasi, namun kewenangannya berbeda dengan DPRD dan para penegak hukum.

Karena itu, banjir dan berbagai persoalan yang menimpa rakyat di DKI adalah cerminan tata kelola pemerintahan yang dihasilkan bersama, sehingga tidak bisa ditumpahkan kepada pribadi Anies Baswedan.

 Jurus jari-jari dan Telapak Tangan

“Lagunya Si Jali-jali, lagu asli dari Betawi. Jari-jari mainkan gitar dan kecapi, tepuk tangan senang di hati. Telapak tangan terampil beraksi, mainkan peran berbagai atraksi, meskipun masyarakat menderita sengsara, bahkan mati.”

Ada indikasi bahwa semua persoalan ini hanya sebuah sandiwara atau kong kali kong jari-jari dan telapak tangan para pihak berwenang dalam tata kelola pemerintahan DKI. Sebuah model kolaborasi kepentingan, saling memanfaatkan dan kerjasama sistemik, terstruktur dan masif untuk menyengsarakan rakyat.

Jika hal itu benar, maka alur skenario sandiwaranya sbb: pada saat adegan menguntungkan, para pemeran kewenangan akan saling mengacungkan jempol, bersalaman dan berpelukan. Tetapi saat ada selisih kepentingan dan belum dapat manfaat, saling tuding dan kelahi, karena saling mempersalahkan. Dan ketika masalah menjadi besar dan aneka penderitaan rakyat merebak, para pihak akan memainkan peran atraksi “mencuci tangan dan lepas tangan”. Masing-masing mencari selamat dan pembenaran, serta mengorbankan siapa.

Sepertinya saat ini Anies Baswedan yang sedang dikorbankan, diperankan sebagai penyanyi lagu Si Jali-jali. Bahkan para ahli strategi, sponsor politiknya, akan mengupayakan 1001 cara, agar mengatasi masalah dengan menciptakan masalah baru sebagai jalan keluar. Dan yang korban serta terus menderita adalah rakyat – masyarakat.

Last but not least, pertanyaannya adalah siapakah pribadi dan kelompok yang menjadi sponsor politik mengantar Anies Baswedan menjadi Gubernur, agar kepentingan mereka dicapai  Di manakah peran dan tanggungjawab mereka?

Semoga Banjir di Jakarta dan berbagai persoalan yang menimpa masyarakat DKI, lalu menghasilkan banjir tudingan kepada Anies Baswedan, kiranya tidak melemahkan daya kritis kita untuk bersama menemukan akar persoalan tentang tata kelola pemerintahan di DKI dan seluruh negeri ini. Kita butuh penegakan supremasi hukum demi menjamin keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Karena itu, tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, transparan dan akuntabel, serta pemberantasan korupsi dan kolusi, kiranya tidak sebatas slogan atau  lip service. Apalagi ini di DKI Jakarta, juga pusat pemerintahan NKRI.

Lagu Si Jali-jali memang enak dan perlu dilestarikan sebagai kesenian asli dari Betawi. Tetapi, model politik jari-jari dan telapak tangan, harus diakhiri demi menghentikan banjir air mata dan penderitaan segenap  rakyat NKRI – Salus Populi Suprema Lex.

Related Post

Leave a Reply