TEMPUSDEI.ID (11 APRIL 2021)
Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Suatu malam pada tahun 1935, Fiorela H. La Guardia, Walikota New York, mengadakan sidang pengadilan malam hari di sebuah sudut paling miskin di kota itu. Dia telah membebastugaskan hakim selama satu malam dan bertindak sebagai hakim saat itu.
Satu kasus yang diadili adalah seorang wanita tua yang kedapatan mencuri roti untuk memberi makan cucunya. Sidang berlangsung cepat. Keputusannya: “Aku menghukum engkau 10 dollar atau 10 hari dalam penjara”. Setelah menyatakan keputusan dia mencopot topinya dan menaruh 10 dollar dalam topinya.
Kemudian dia menuntut 50 sen dari setiap pengunjung sidang karena hidup di kota ini, “dimana seorang wanita tua harus mencuri agar cucunya tidak kelaparan”. Dari hasil kolekte dadakan itu wanita tua bisa membayar biaya hukumannya lalu pulang dan masih masih memiliki sisa uang 47,5 dollar.
Istilah “mercy” dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi “murah hati”. Kata lain yang sering dipakai dan lebih mendekati arti sesungguhnya adalah “belaskasihan” atau “kasih setia”.
Dalam tradisi Kitab Suci kata “mercy” merupakan terjemahan istilah “hesed” (Ibrani) atau “eleos” (Yunani). Kedua istilah ini menggambarkan salah satu “sifat” Allah yang paling menonjol dalam hubungannya dengan manusia.
Allah membuat perjanjian dengan manusia atas dasar “kemurahan hati”. Artinya, manusia sebetulnya tidak layak mendapatkan janji Allah karena dosanya dan karena pasti janji itu akan dikhianati. Allah membuat perjanjian dengan manusia tapi sudah menyiapkan senjata untuk berjaga-jaga jika manusia ingkar. Senjatanya bukan pertama-tama hukuman, tetapi pengampunan dan kasih setia.
Ini tidak berarti Allah tutup mata atau masa bodoh terhadap dosa manusia. Tidak.
Kebesaran Allah terletak pada kesediaan-Nya untuk mengampuni. Kebesaran Allah terletak pada belaskasihan-Nya yang tak terhingga.
Sekalipun Allah harus menghukum, hukuman itu bukan didasari oleh kebencian melainkan oleh karena belaskasih. Ibarat kata, seperti seorang ayah memukul anaknya yang bersalah, bukan dengan mata menyala melainkan dengan berurai air mata.
Sebuah tragedi memilukan terjadi pada tanggal 6 Oktober 2006. Seorang pria bersenjata memasuki sebuah sekolah di Amish, Nickel Mines, daerah Pennysylvania, Amerika. Di satu ruangan kelas dia menyisihkan anak laki-laki dan meminta 10 anak perempuan berbaris di depan kelas. Lalu dia memberondong mereka dengan peluru kemudian menembak dirinya sendiri. Lima dari kesepuluh anak gadis ini tewas.
Setelah penyelidikan polisi selesai, para orangtua membawa anak-anak mereka ke rumah, memandikan dan menyemayamkan mereka. Mereka duduk sejenak lalu meratapi anak-anak mereka. Tak lama kemudian mereka keluar dari rumah mendatangi rumah pelaku penembakan. Mereka mengatakan pada istri pria itu bahwa mereka memaafkan suaminya atas apa yang dibuatnya dan turut berdukacita atas kehilangan suaminya.
Sungguh luar biasa. Mereka sudah menguburkan kemarahan mereka sebelum menguburkan anak-anak mereka. Orang-orang ini percaya dalam arti yang sebenarnya bahwa pengampunan Allah terhadap mereka bergantung pada bagaimana pengampunan mereka terhadap sesama.
Yesus yang bangkit memberi kuasa kepada para muridnya, bukan pertama-tama kuasa mengajar atau membuat mukjizat. Kuasa yang diberikan-Nya adalah kuasa untuk mengampuni.
“Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya akan diampuni. Jikalau kamu menyatakan dosanya tetap ada, maka dosanya tetap ada” (Yoh 20,23).
Saat ini dunia lebih membutuhkan belas kasih dan pengampunan lebih daripada yang lainnya.
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba