Oleh Simply da Flores, Alumnus STF Driyarkara Jakarta dan Direktur Harmony Institute
TEMPUSDEI.ID (19 APRIL 2021)
Beberapa hari ini sedang ramai di Medsos kasus yang diduga penistaan agama oleh Joseph Paul Zsang. Joseph Zsang dilaporkan menista agama melalui siarannya di chanel youtube. Dalam channel tersebut, Zsang bahkan menantang siapa saja untuk melaporkannya ke polisi. Lima pihak pelapor akan dihadiahi uang masing-masing 1 juta rupiah. Respon polisi sangat cepat. Sekarang Joseph Paul Zsang sedang diburu polisi. Apresiasi untuk polisi.
Berbeda dengan Joseph Paul Zsang, ada penistaan agama yang dilakukan Yahya Waloni, dkk. Yahya Waloni yang mengaku ustad dan juga mengaku mantan pendeta itu, berulang kali menista agama Kristen dalam berbagai kesempatan berbicara. Dia juga menantang polisi untuk menangkapnya seperti disiarkan di Medsos. Polisi tidak menindak Wahloni ini. Terkesan dibiarkan terus beraksi. Ada apa dan mengapa?
Masih di berbagai Medsos, ada banyak debat yang menista agama, ujaran kebencian atas nama agama, hasutan dan caci maki terhadap agama lain atas nama Allah; terkesan dibiarkan. Sementara ada undang-undang ITE dan undang-undang anti radikalisme, terorisme dan hoaks. Negara kita memiliki banyak lembaga yang bertugas menengakkan hukum; ada tim cyber polisi, Departemen Agama, Kemenkopolhukam, Kementerian Hukum dan HAM, Komnas HAM, serta lembaga negara lainnya. Maka tindakan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, penistaan agama, perlawanan terhadap ideologi Pancasila, penyebaran paham radikalisme dan terorisme adalah tindakan melawan hukum dan mengganggu kehidupan bersama dan melawan aturan perundangan serta melawan ideologi negara dan keamanan nasional. Dilaporkan atau tidak, para penegak hukum harusnya bertindak.
Reaksi Polisi Menindak Joseph Paul Zsang
Tindakan cepat Polisi patut mendapat apresiasi. Korps berseragam coklat ini dengan lincah bergerak menangani Zsang, yang mengaku dirinya sebagai Nabi ke-26 berikut ucapan-ucapan lainnya yang diduga menistakan agama lain. Untuk ini, Polisi pasti memiliki pertimbangan sendiri.
Yang menjadi pertanyaan: mengapa terhadap Joseph Paul Zsang, yang baru kedengaran, begitu cepat ditindaklanjuti? Jika dibanding para penista agama seperti Yahya Waloni, dan beberapa mualaf yang tersebar di Medsos tidak ditindak polisi? Apakah masih kurang alat bukti? Mereka dengan terang benderang menista agama, melecehkan pimpinan negara, mencaci maki kepala negara dan pejabat publik. Ada juga yang melontarkan ujaran kebencian dan mengajak membubarkan negara diganti dengan negara khilafah seperti Rizieq Shihab dkk, tapi justru ditangkap dan diadili karena tuduhan melawan protokol kesehatan.
Ada apa dengan penegakan hukum oleh aparat? Sebagai warga negara, kita bingung dengan kenyataan ini. Apakah pertimbangannya soal minoritas dan mayoritas, atau soal politik atau seperti apa prinsip penegakan hukum oleh aparat? Masih banyak pertanyaan karena kebingungan atas fakta penegakan hukum; khususnya soal penistaan agama, radikalisme dan terorisme, serta perlawanan terhadap negara atas nama agama.
NKRI, Ideologi Pancasila dan Etika Politik
Lahirnya NKRI adalah hasil perjuangan semua pihak, tanpa mengenal prinsip mayoritas dan minoritas, suku, ras, agama dan daerah asal. NKRI adalah rumah bersama segenap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Negara Kesatuan Republik Indonesaia adalah negara hukum, bukan negara agama. Ideologinya adalah Pancasila, yang menjadi fondasi, jiwa dan sumber hukum bagi segenap warga negara untuk memperjuangkan kesejahteraan hidup secara adil dan sama di tanah air Indonesia ini.
Karena itu, etika politik yang harus hidup dan menjadi rujukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah Moral Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman suku, agama, ras, asal usul adat budaya dan keyakinan adalah kekayaan dan kekuatan kodrati NKRI dan bangsa Indonesia, yang dianugerahkan Sang Pencipta – Tuhan Yang Maha Esa.
Etika Politik, Moral Pancasla itu dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang dan peraturan turunannya. Penyelenggaraan negara, termasuk penegakan hukum tanpa etika politik akan menghasilkan kesewenangan dan kekuasaan otoriter. Juga akan cenderung koruptif dan manipulatif, di mana hukum ditegakkan sesuai kepentingan kekuasaan atau kehendak mayoritas.
Mendamba Supremasi Hukum untuk “Bonum Commune”
Yang sudah sering terdengar adalah ungkapan “hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah”. Artinya, hukum berlaku untuk masyarakat kecil lemah tak berduit, sedangkan yang mayoritas, berduit dan berkuasa pasti kebal hukum. Konsekuen dengan cita-cita Proklamasi NKRI, ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka hukum yang harus ditegakkan adalah berlaku mutlak dan sama bagi semua warga negara. Etika Hukum adalah salus populi – supprema lex.
Keselamatan dan kesejahteraan segenap rakyat adalah hukum tertinggi. Supremasi hukum berlandaskan jaminan keadilan, karena mengatur kewajiban dan hak segenap warga negara. Peran para penegak hukum adalah untuk mengatur kewajiban dan menjamin hak segenap warga negara tanpa kecuali. Dengan demikian, kebaikan bersama – bonum commune – dapat terwujud.
Harapan kita, bahwa penegakkan hukum untuk pelaku penistaan agama, radikalisme dan terorisme serta perlawanan ideologi negara harus adil dan sama bagi semua warga negara. Semoga !