“Pasti laparnya dan lapar saya di jalanan rasanya sama. Dia pasti lapar dan haus. Belum lagi mereka yang tunggu dia di rumah”.
Tukang abu. Begitu ia biasa disebut. Nama aslinya adalah Simon Butaama. Dari namanya bisa ditebak bahwa kakek berusia 84 tahun ini datang dari luar Pulau Jawa. Ya, dia berasal dari sebuah desa kecil di Flores Timur bernama Lewu Kluwok.
Hingga saat ini sudah lebih dari dua puluh tahun dia tinggal di Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Di tempat ini ia melakoni pekerjaan sebagai tukang abu gosok dan pengumpul barang-barang bekas.
Pagi itu (18/4), sekitar pukul 9, bersama anak bungsunya Eni, dengan tenaga yang masih tersisa karena sudah termakan usia, Om Simon mendorong gerobak abu menuju Kelapa Tiga, Bekasi untuk membeli abu. Abu tersebut akan dia kemas dalam plastik-plastik kecil untuk dijual di warung-warung langganannya.
Badannya tidak kuat lagi, tapi mau tidak mau dia harus tetap bekerja untuk menyambung hidup. Belum seperempat perjalanan yang dia tempuh bersama Eni menuju Kelapa Tiga, Om Simon tidak kuat lagi. Ia lalu naik angkot sedangkan Eni mendorong gerobak seorang diri. Sebenarnya, dia tidak tega membiarkan putrinya mendorong gerobak seorang diri, tapi mau tidak mau ia lakukan.
Ketika kembali ke rumah, Om Simon masih sempat ikut mendorong gerobak dengan nafas tersengal-sengal, tapi lagi-lagi karena raganya tidak kuat lagi, dengan berat hati dia harus naik angkot lagi dan membiarkan Eni melanjutkan perjalanan seorang diri. “Saya tidak kuat lagi. Bbadan dan kaki sudah lemah, tapi saya harus tetap kerja. Kasihan anak saya kalau dia dorong gerobak sendirian,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Kasihan Anak Saya
Sebenarnya Eni bersedia mendorong seorang diri, tapi Om Simon sedih bagaimana anaknya yang berbadan mungil itu mendorong gerobak seorang diri. “Walaupun saya tidak dorong penuh, saya sudah senang ikut dorong. Saya tetap mau kerja. Kasihan anak saya,” ujar Om Simon lagi.
Apakah Om Simon tidak takut dengan dengan virus corona? “Saya nonton di tv juga dan sangat menakutkan, tapi mau gimana?” tanyanya retoris.
Om Simon mengalahkan rasa takutnya dengan tekad dan keyakinan. Dia juga tetap berusaha memenuhi anjuran Pemerintah untuk menjaga jarak dan menggunakan masker.
Titipan Orang Baik
Om Simon tidak bisa segera mendapatkan uang dari abu gosok tersebut. Tergantung para langganannya, apakah masih mau mengambil atau tidak. Saat ini pelanggannya tidak banyak lagi sebab banyak yang sudah memilih menggunakan cairan pembersih yang lebih praktis. Meski begitu, Om Simon harus telah menjual abu sambil merawat para pelanggannya agar tetap mau memberi abu jualannya.
Sangat beruntung siang itu, sekembalinya dari mengambil abu, ia mendapat kabar bahwa seseorang yang pernah membantunya ketika membangun rumahnya beberapa tahun lalu menitipkan “Kado Paskah” berupa uang Rp.500 ribu rupiah untuknya melalui seorang wartawan. “Puji Tuhan. Selalu ada orang baik yang Tuhan kirim untuk saya. Banyak-banyak terima kasih,” ungkapnya penuh takzim sambil mengenakan kaus yang dominan berwarna kuning itu. Sehari sebelumnya, dia juga mendapat paket bantuan dari gerejanya Gereja Santa Clara yang disalurkan melalui Ketua Lingkungan.
Walau perjuangan hidupnya berat, Om Simon memilih untuk tidak mengeluh. Dia merasa tidak ada gunanya mengeluh. “Untuk apa mengeluh? Lebih baik bekerja, pasti ada hasilnya meskipun sedikit. Kalau mengeluh, tidak dapat apa-apa,” ujarnya.
Eni mengangguk pertanda setuju dengan bapaknya. “Bapak orangnya tidak mau mengeluh. Dia selalu bilang, kita orang kecil ini kerja saja. Tidak susah mengeluh. Yang ada tambah susah kalau mengeluh,” kata Eni mengulangi kata-kata bapaknya.
Lapar dan Haus yang Sama
Meski miskin, Om Simon masih rela berbagi. Suatu saat, seorang penjual tangga bambu dengan tangga di pundak, lewat di depan rumahnya, sebelum rumah yang sekarang ini.
Penjual keliling itu tampak letih. Keringat membasahi badannya. Bahkan, tampak kerak-kerak keringat pada bajunya sebab hari sudah siang, sementara matahari terasa terik.
Om Simon memutuskan untuk membeli tangga penjual tersebut. Alasannya membeli tangga itu mengristal dalam rajutan kalimat penuh tuah: “Pasti laparnya dan lapar saya di jalanan rasanya sama. Dia pasti lapar dan haus. Belum lagi mereka yang tunggu dia di rumah”. Wow! (tD)