TEMPUSDEI.ID (25 APRIL 2021)
DI BAWAH TUDUNG LANGIT
Di atas pecah tanah yang menawarkan
kebencian
kami menunggu langit mengepak sayap
dan bermimpi membuka tingkap
cahaya rembulan
yang menghilang tiba-tiba.
Sesunyi jejak-Mu di hati pedih,
kami hanya senoktah.
Ke mana kami melangkah ke pintu
kalau semua ruang terkatup.
Serasa jalan untuk pulang pun buntu
mencari peta kota di mata penuh lukisan
warna mahanya mala.
Oh kanal—oh bulan—oh kabut
kamu pasti mencuri daun pintu
masa silam dan mencopot tingkap
dan keinginan yang mengalir
pada kaku mayat-mayat itu.
Engkau—ya Robbi, bermuram durja
lekas-lekas.
Dan tak Kau siapkan Bait-Mu
untuk kami berteduh.
Gerimis itu tak hilang, seperti aku
tak memahami mengapa mataku
jadi peta kota kaku.
Seribu sejarah yang tercatat
tak terbaca cepat
karena kabut yang mengecat.
Banda Aceh, 20 Maret 2005
MEN(JEJAK) LAUT, AKU?
Di sini di atas pasir
ada yang hilang seperti terusir
Senja merah yang membias di bangku panjang
Kini bergemuruh di risau napas ranjang
selepas kita saling memandang
Kita sama-sama melaut
menatap ombak di pantai itu surut
di manakah kau temukan jemari kaki itu (aku?)
Tak ada dermaga
Hanya terlintang bangku panjang
Dan mestikah kutanya juga
Ke mana berlabuh segala tongkang (?)
Kita sama-sama melaut
mengaca bayang di telaga maut
ada jejak, ada tapak
Kau—aku sama-sama pernah retak
Banda Aceh, 15 Maret 2005
FOR CUT CHAN
Gemuruh ombak di selat Malaka
dan riak-riak lautan Flores merampas
keberangkatan kita
selepas bibirmu mendaras
ayat-ayat perbezaan
Aku memilih pulang
meninggalkan labi-labimu di ujung Banda malang
“Sekiranya kau merantau ke bakau-bakau itu
mengumpulkan gelugur hujan yang menceracau
seperti suara perjanjian masa lampau”
Aku bakal memahat karang
bila kau enggan menenun jurang
merantau menawar rindu
semenjak sua ini terlampau merdu: aduh!
Banda Aceh, 23 April 2005
LAGU MERINDU BUAT NUR
Juga ranum gincumu
busuk menusuk
keindahan tak terberi dengan jujur
Belum kau bayar sepeser
dari waktu yang kubuang
buat mengenangmu setahun berselang
Jika mimpi itu kelak membusuk
kuburkan dia sebelum kita berunding
agar kau tak perlu mengaduh
di muka jam dinding
Makassar, 23 April 2003
Gusty Masan Raya adalah jurnalis di Papua. Peminat dan penikmat sastra.