TEMPUSDEI.ID (2 MEI 2021)
Stefanus Roy Rening dari Badan Pengurus Pusat Yayasan IJ Kasimo melalui siaran persnya pada 1/5, menyebut pernyataan Menko Polhukam RI, Prof. Mahfud M.D pada 29/4 yang menetapkan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai organisasi teroris sebagai tindakan prematur.
Menurut Dr. Stefanus Roy Rening SH MH, Dewan Pembina Yayasan I.J. Kasimo, Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi dan kebebasan dasar manusia. Karenanya, negara harus benar-benar memperlihatkan penghormatan itu dengan memberikan perlindungan, penghormatan dan merealisasikan kesejahteraan dan keadilan.
Secara faktual menurut Roy, sejak bergabungnya Papua (Papua dan Papua Barat) ke Indonesia, catatan tentang realitas sosial, ekonomi dan politik di tanah Papua tidak berjalan secara linear sebagaimana daerah lainnya di Indonesia. Papua lebih sering menjadi perdebatan, wacana, diskusi bahkan diwarnai kekerasan yang tak terhindarkan baik secara vertikal antara masyarakat dengan pemerintah maupun horisontal antara masyarakat dengan masyarakat.
Lebih jauh dikatakan, pernyataan Menko Polhukam RI tersebut belum memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam UU Terorisme seperti dikatakan dalam pers realease, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Menurut Roy, memperhatikan pengertian terorisme tersebut, situasi dan kondisi yang terjadi di Tanah Papua saat ini melalui gerakan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) belum dapat dikatakan telah menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas di Tanah Papua.
Ditambahkan, gerakan KKB hanya terlokasir di beberapa tempat/lokasi. Artinya, gerakannya belum meluas di seluruh Tanah Papua. Selain itu, gerakan KKB ini juga, belum menimbulkan korban yang bersifat massal, kerusakan objek vital strategis, lingkungan hidup, fasiltas publik dan fasilitas internasional.
Dengan kata lain, penerapan UU Terorisme di Tanah Papua belum tepat alias belum memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Tindak Pidana Terorisme.
Selain itu, masih menurut Roy, penetapan tersebut dapat mengancam dan membahayakan keselamatan Orang Asli Papua (OAP) untuk mendapatkan hak hidup, hak untuk tidak disiksa, dan hak kebebasan pribadi yang merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.
Artinya, dengan adanya penetapan ini, dimungkinkan pihak TNI dan Polri (Densus 88) melakukan penyalahgunaan kekuasaan dengan cara melakukan kekerasan atau intimidasi atau penyiksaan terhadap masyarakat/organisasi yang berbeda pandangan dengan TNI/Polri (Densus 88) pada tingkat implementasinya.
“Bagi Yayasan Kasimo, keputusan pemerintah dengan memberikan stigmatisasi KKB termasuk berbagai kelompok yang berafiliasi di dalamnya sebagai teroris, mempertegas bahwa kekerasan menjadi pilihan pendekatan oleh Pemerintah Pusat terhadap situasi di Papua,” kata BPP Yayasan IJ Kasimo dalam pers releasenya.
Lebih lanjut dikatakan, kebijakan tersebut selain kontraproduktif, juga mengkhatirkan akan mempercepat dan memperluas arena kekerasan susulan dan akan menyebabkan sangat rentan terjadinya pelanggaran HAM serius di Tanah Papua.
Menurut Yayasan Kasimo, Keputusan ini sekaligus mengkonfirmasi gagalnya “pendekatan keamanan” yang sudah cukup intensif dilakukan dalam beberapa tahun terakhir..
Yayasan Kasimo juga sangat menyayangkan tidak adanya respons dari Pemerintah Pusat terhadap suara tokoh adat dan tokoh agama untuk mengadakan dialog dengan pendekatan yang lebih humanis dan bermartabat.
Karena itu, Yayasan Kasimo mendesak, Pemerintahan Presiden Joko Widodo, untuk mencabut status “teroris” dan membuka dialog dengan pihak Pemerintah Daerah (Pemprov, Pemkab/Pemkot) termasuk DPRP, MRP (Lembaga Adat) dan Lembaga Agama di Papua.
BPP IJ Kasimo berharap Presiden Joko Widodo dapat memfasilitasi forum dialog yang bermutu dan bermartabat dengan melibatkan semua elemen utama di Tanah Papua untuk saling menyapa dan memberdayakan dalam semangat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BPP Yayasan IJ Kasimo juga menaruh kepercayaan kepada Pemerintahan Jokowi mampu menyelesaikan masalah Papua dengan bijaksana sebelum timbul korban jiwa, korban kekerasan/intimidasi/penyiksaan dari pihak masyarakat sipil atau Orang Asli Papua (OAP) yang tidak bersalah. (tD)