Oleh Weinata Sairin
“Non moritus, cujus fama vivit – Yang hidup dalam kemasyhuran, tidak akan mati”.
Kematian, sebagai suatu peristiwa, kejadian, tetap menjadi sesuatu yang misteri bagi setiap orang. Tidak ada yang pernah tahu kapan sang maut akan datang merenggut nafas hidupnya. Seseorang selalu memohon agar kedatangan sang maut ini dipending, diembargo atau ditunda sampai batas yang tidak ditentukan.
Banyak orang berobsesi ingin hidup lebih lama dari hitung-hitungan Angka Harapan Hidup. Orang-orang yang se fraksi dengan Chairil Anwar bahkan tanpa berhitung dan kalkulasi malah bicara lantang “aku mau hidup seribu tahun lagi”.
Ya, Chairil ingin menikmati MRT, ingin menyaksikan nasib Munir yang lebih jelas dan bermartabat dalam sebuah negara hukum, Chairil masih ingin menyaksikan pemimpin mana lagi yang kena OTT sambil tetap tersenyum walau harus mentransfer milyaran rupiah kepada negara; Chairil ingin melihat bagaimana tol laut, hutan-hutan hijau Papua bisa ditembus jalan darat tanpa kesulitan berarti, Chairil ingin benar-benar melihat bahwa aktivitas keagamaan manusia Indonesia jauh dari ungkapan kerutinan, pragmatisme, pola pikir do ut des tetapi sebuah pengejawantahan yang sungguh dari religiusitas sang makhluk kepada Sang Khalik.
Walau kedatangannya tak diharapkan, namun kematian banyak diangkat dan dijadikan tema dalam novel, film, puisi, lagu dan diuraikan dalam berbagai buku. D. Kemalawati seorang penyair Aceh terkenal dalam puisinya yang puitis ia berkata tentang maut sebagai berikut.
Kematian
“Jika kematian hanya ranjang, rebahkanlah tubuh lelah sambil menanti mimpi dalam lelap yang mawar”. (Sumber :” Hujan Setelah Bara”, D. Kemalawati, Penerbit Lapena, Banda Aceh, 2012)
Manusia ingin hidup, ingin merajut karya terbaik dipentas zaman, di ruang-ruang sejarah. Manusia mendambakan kehidupan; mereka berusaha menghadang maut; mereka ke Penang, Mount Elisabeth Singapore, Tokyo atau ke manapun menghalau penyakit dari tubuhnya agar ia segar dan tetap eksis. D. Kemalawati mengasumsikan kematian itu sebuah ranjang, tempat tidur yang biasanya menjadi tempat untuk membaringkan tubuh lelah. Ia mengingatkan kita tak usah risau dan takut kepada maut, rebahkan tubuh yang lelah (dan uzur); dalam lelap penuh harum mawar, mimpi indah datang.
Hari maut yang indah. Tak sempat lagi berfikir tentang hari-hari ke depan, bagaimana menjawab pertanyaan malaikat, azab kubur, purgatorio dan sebagainya.
Oleh karena secara detil maut itu pada dirinya amat rahasia dan tertutup, maka seniman, komposer, penyair mencoba mengelaborasi imajinasi mereka seputar kematian berdasar sumber yang ada. Dalam konteks itu narasi-narasi yang ada dalam Kitab Suci tentang maut amat membantu. Maut terasa menjadi lebih akrab dan ‘familiar’ dengan narasi imajinatif yang dibuat oleh para penyair.
Pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini menyatakan “yang hidup dalam kemasyhuran tidak akan mati”. Para tokoh, selebriti, pemimpin dunia, penulis, filsuf, para penemu, pejabat agama, semua mereka yang pernah hudup di tengah sejarah dan namanya termasyhur, mereka tidak akan mati; mereka akan hidup terus walau sudah mati.
Kita harus berjuang menjadi orang yang termasyhur, terkenal, populer dalam kriteria yang baik dan positif dan bukan karena melakukan perbuatan negatif yang bermuara pada pidana. Tetapi biasanya orang-orang yang melakukan berbagai kebaikan dalam banyak wujud, para penemu, para ahli, mereka yang memberdayakan orang kecil, pada awalnya mereka tidak mencari kemasyhuran, mereka hanya melakukannya semua sesuai dengan kompetensi dan talenta mereka.
Jika kita berniat “tidak akan mati” lakukanlah yang terbaik dan positif dalam bidang kita masing-masing. Jauhilah perbuatan aib dan negatif. Patuhi dan taati perintah agama, sampai maut menjemput. Nama kita tidak akan pernah mati
Figur seperti Dr SAE Nababan yang telah menorehkn sejarah positif bagi Kekristenan mondial bagi NKRI ia tak akan pernah mati! Requiescat in Pace!