TEMPUSDEI.ID (10 MEI 2021)
Oleh Pdt Emeritus Weinata Sairin, Dari Gereja Kristen Pasundan, Murid SAE Nababan
Nama Mendiang Pdt Dr Soritua Albert Ernest Nababan atau yang populer dengan nama SAE Nababan memasuki memoriku sejak waktu yang cukup lama oleh karena ia acap menguraikan berbagai pemikirannya dalam bahasa Indonesia yang standard.
Ketika saya studi teologi di STT Jakarta 1968-1973, Pak Nababan telah melayani sebagai Sekum DGI (1967-1984) dan kemudian menjadi Ketua Umum PGI 1984-1987.
Di tengah duka yang melilit tubuh rentaku karena Tuhan memanggilnya 8 Mei 2021 pukul 16.18 di RS Medistra Jakarta, dalam keterbatasan daya ingat, saya ingin membagikan beberapa memori terpilih dari sosok Dr SAE Nababan.
Pertama, tentang notulen dan keputusan Sidang Gerejawi/Ketentuan PGI. Beliau adalah seorang yang selalu taat dan konsisten melaksakan keputusan sidang gerejawi: MPH, MPL, SR. Di suatu persidangan MPH atau MPL ketika terjadi diskusi panjang tentang suatu pokok, ia selalu memberikan pencerahan misalnya, “Kita tak bisa memutuskan seperti itu karena notulen kita begini bunyinya”, atau TD TRT PGI Pasal sekian ayat sekian begini bunyinya”. Realitas itu saya alami tatkala menjadi anggota MPL PGI mewakili GKP 1980-1986.
Tatkala saya menjadi Wasekum PGI 1989-1994; 1994-2000, 2004-2009 malah ia sering berkata kepada saya, “Coba cari di notulen mana hal itu diputuskan” atau “Di TD TRT PGI Pasal berapa hal itu disebut”.
Kedua, dia kritis dan cermat dalam berbahasa. Pak Nababan amat cermat dalam menggunakan bahasa Indonesia. Konsep Tri Kerukunan yang digagas Menag dr Tarmizi Taher tahun 1978 misalnya diberikannya catatan kritis, khususnya butir ke-3, yaitu kerukunan antar agama dan pemerintah.
Ia tidak setuju dengan rumusan itu karena bisa muncul tafsir seolah ada konflik antara umat beragama dengan pemerintah.
Ketiga, pandai memilih diksi yang tepat. Tahun 70-an ada beberapa SKB terbit yang dibuat Menag Alamsyah Ratuperwira Negara antara lain larangan untuk hadir dalam aktivitas agama lain.
Pada tahun itu Sidang BPLDGI dilaksanakan di Tangmentoe Tana Toraja. Menag saat itu diundang DGI dan hadir bahkan sejak Ibadah Pembukaaan.
Pak Nababan dalam penjelasan yang diliput pers saat itu menyatakan bahwa Menag “menyaksikan” acara Pembukaan MPL dan tidak digunakan istilah “hadir”. Jika kata “hadir” digunakan berarti bertentangan dengan SKB Menag; ada bobot konotasi yang berbeda antara kata ” hadir” dan “menyaksikan”
Keempat, klarifikasi narasi. Hampir di setiap MPL selalu unsur Pemerintah baik Pusat maupun Daerah hadir dan menyampaikan Kata Sambutan.
Pak Nababan selalu menyampaikan ucapan terima kasih dalam pidato yang diucapkan langsung sesudah pidato dari wakil Pemerintah. Dalam kesempatan itu dia selalu memberikan klarifikasi tentang beberapa hal penting misal tentang konsep Tri Kerukunan, tentang tak ada istilah minoritas-mayoritas, tentang relasi Gereja dan Negara.
Kelima, dalam setiap SR PGI, Pemerintah yakni Presiden atau Menag hadir serta menyampaikan Kata Sambutan. Di SR PGI di Tomohon Sulut 1980 muncul diskusi yang mengarah ke polemik dalam sidang ketika pembahasan Laporan Umum MPH PGI. Apakah sebenarnya makna tindakan yang dilakukan Pemerintah saat itu dengan memukul gong atau kentongan.
Dari diskusi panjang yang mengangkat pemikiran floor yang adalah pimpinan Sinode Gereja, Dr SAE Nababan sebagai Sekum PGI dan saat itu berfungsi sebagai Sekretaris Sidang memberikan kesimpulan yang cerdas dan bernas.
SR sesuai dengan TD TRT PGI dibuka oleh Ketua Umum PGI. Pemerintah meresmikan akta pembukaan itu dengan meresmikan pembukaan. Artinya, melalui tindakan pemerintah itu, sebuah SR tidak hanya terbuka bagi Gereja-gereja anggota PGI, tapi terbuka bagi publik, bagi dunia yang lebih luas. Hingga kini konsep berpikir seperti itu masih tetap dijadikan acuan.
Dr SAE Nababan banyak sekali mewariskan pemikiran bagi Gereja-gereja di Indonesia. Saya mengajak MPH PGI bersama mitra untuk menghimpun pemikiran almarhum dalam sebuah buku bertajuk Ensiklopedi Pemikiran Dr SAE Nababan. Buku semacam itu amat penting maknanya bagi Gereja-gereja bahkan bagi bangsa dan negara RI tercinta.