Fri. Nov 22nd, 2024
Fira Nur Vianingtias D

Oleh Fira Nur Vianingtias D, Mahasiswa Fakultas Sastra Indonesia, Univeritas Sanata Dharma Yogyakarta

TEMPUSDEI.ID (19 MEI 2021)

Suara gendhing mulai terdengar saat aku memasuki wilayah pedesaan  dengan  pepohonan  tinggi itu. Dedaunan yang terbawa angin dan masyarakatnya yang ramah membuatku merasa berada di tempat yang tepat. Kedatangannku disambut oleh arak-arakan warga yang membawaku pada sebuah rumah yang tak begitu megah, namun mampu menampung puluhan kepala di dalamnya. Sudah nampak panggung-panggung yang akan menjadi tempat digelarnya persembahan untuk sang raja. Janur-janur dipasang seolah memberi tanda bahwa acara besar akan segera terselenggara. Bus-bus berkarat  mulai datang membawa peralahan yang akan menunjang acara. Demikian juga dengan tiga truk yang berada di belakangnya, masih-masing berisikan alat musik  yang jika dibandingan dengan usiaku sekarang, mungkin bisa empat kali lebih tua.  Suara bersaut-sautan antar beberapa orang sebelum bergotong-royong menurunkan gamelan dari atas truk. Sementara dari dalam bus keluar orang-orang dari desa seberang yang siap memeriahkan acara dengan lengkingan suara merdunya.

Tak asing bagiku berada di sini, sejak kecil rumah inilah yang menjadi tempat bermain bersama saudara-saudariku. Khususnya Siwi, gadis kurus berkulit sawo matang yang sejak tadi duduk di sebelahku. Pandangannya kosong, matanya memandang lurus ke depan melihat beberapa ksatria Jawa yang mulai dipasang berjejer di atas pelepah pisang. Dari belakangnya muncul laki-laki setengah bungkuk yang berjalan dengan bantuan tongkat yang penuh dengan ukiran tokoh-tokoh perwayangan.

Uwes tekan koe nduk?” sapanya.

Siwi kemudian menoleh padanya, namun ia tak memberi jawaban apa-apa. Ia hanya tersenyum seraya kembali melihat ke arah pangung.

Awakku wes ora koyo mbiyen, sesuk nek aku wes ora ono koe lan sedulur-sedulurmu kudu tetep akur. Ojo nganti tukaran, kabeh wes ndue bagian dewe-dewe.” Ucapnya.

Siwi hanya diam, tetap tak memberi jawaban, namun kesedihan nampak jelas di iris matanya. Aku yang kebingungan, mencoba mengartikan apa maksud perkataannya barusan. Ingin rasanya aku bertanya pada Siwi apa yang sebenarnya terjadi, tapi belum sempat aku bersuara ia sudah lebih dulu pergi.

Sebenarnya hal seperti ini sudah sering aku alami, tidak semua pertanyaan bisa dijelaskan dengan segera. Beberapa hal bahkan tak memiliki jawaban pasti. Matahari sudah akan kembali ke peraduan saat aku hendak mencari Siwi, kakek meminta semua anggota keluarga berkumpul sebelum ba’da magrib karena acara baru bisa dimulai jika semua anggota keluarga sudah berkumpul. Berkeliling aku mencarinya, sampai akhirnya aku melihat Siwi sedang duduk di atas batu tak jauh dari kediaman keluargaku.

 “Siwi, sedang apa kamu di sini? Ayo pulang, semua orang sudah menunggu. Acara akan segera dimulai,” ujarku.

Ia tetap tak menghiraukanku tak ada suara yang keluar dari mulutnya sampai tiba-tiba,

“Bariki urip e adewe ora bakal podo, ana beban sek kudu digowo. Abot, tapi aku wes pasrah nek kudu ngene dalane.” Ucap Siwi.

Aku masih sibuk mencerna kalimatnya saat tiba-tiba ia menarikku pulang. Semua keluarga sudah berkumpul. Masing-masing dari kami mengenakan baju serba putih. Kami diarahkan untuk masuk ke tempat prosesi adat yang orang Jawa sebut Ruwatan, akan dilaksanakan. Setelah itu kami dibariskan mulai dari anak pertama hingga anak ketujuh. Kami ditutup dengan kain putih panjang yang mengitari tempat di mana diadakannya upacara tersebut. Di bagian depan nampak kendi-kendi yang berjejer dengan segala macam isinya. Beberapa di antaranya adalah ikan lele, beras, dan satu kendi berisi air kembang tujuh rupa, sementara di sebelahnya terdapat dua gunungan yang terbuat dari janur dan juga tokoh perwayangan yang tak sempat ku hafal namanya.

Acara pun dimulai, setelah sebelumnya dalang yang berperan memandu acara menyembelih ayam jantan dan memasukkan darahnya ke dalam kendi. Masing-masing dari kami maju untuk didoakan, rambut kami disisir kemudian digunting dan dicelupkan ke dalam air yang berisikan kembang setaman dengan iringan mantra yang samar kudengar. Setelah segala prosesi terlaksana aku kembali pada barisanku. Aku tengok Siwi yang dengan khidmat mengikuti mantra yang dibacakan dalang dengan kedua tangan yang ia satukan di depan wajahnya, seperti memberi sembah.

Mantra itu dipercaya dapat membuat keluarga kami mendapat perlindungan dari alam semesta.

“Jagad gumelar bumi sing tak ancik,

rino  lan wengi,

paringono sehat,

paringono tentrem aku iki.

Setelah mantra tersebut dikumandangankan masing-masing dari kepala keluarga diberi sejumput beras, kelapa, dan gula aren, kemudian dibagikan ke anak-anaknya termasuk aku dan Siwi. Aku sempat menoleh ke Siwi dan pada saat yang sama, ia pun menoleh padaku dan mengatakan “aku wes ikhlas”.

Malam harinya acara dilanjutkan dengan menonton wayang. Kesatria Jawa tersebut sudah berderet dengan megah di atas panggung beserta galeman yang akan mengiringinya. Sementara  enam sinden berparas ayu dengan balutan kebaya merah dan sanggul di kepala duduk bersimpuh di sampingnya. Semua penduduk desa bersuka cita, termasuk keluargaku. Deretan kursi depan diisi oleh tetua adat seperti kakekku, beberapa perangkat desa, dan juga masyarakat yang sudah lanjut usia. Pada bagian tengah diisi oleh anak muda yang sibuk dengan gawai di tangannya, Nampak sedikit mengantuk sepertinya.  Sementara di bagian belakang berderet anak-anak kecil yang sibuk dengan dunianya sendiri sambil beberapa kali berlarian memutari panggung sambil tertawa cekikikan.

Sepekan setelah acara itu, keluargaku dikejutkan dengan kabar bahwa kakekku telah meninggal dunia. “Iki wes dalane,” ucap Siwi dengan mata kosong.

Related Post

Leave a Reply