Oleh Drs. GF Didinong, Ketua Pembina Relawan SATU HATI UNTUK NTT
TEMPUSDEI.ID (3 JUNI 2021)
SATU HATI UNTUK NTT adalah sebuah panitia ad hoc bantuan bencana Badai Tropis Seroja awal April 2021. Panitia dibentuk di Jakarta dari berbagai elemen diaspora Flores, Sumba, Timor dan Alor (Flobamora) Jabodetabek atas mediasi Kepala Badan Penghubung Provinsi NTT di Jakarta, tanggal 6 April 2021. Panitia bekerja selama satu bulan lebih di masa emergensi untuk upaya penggalangan bantuan bencana. Total bantuan terkumpul sekitar 500 ton dalam berbagai wujud natura dan tunai
Selanjutnya distribusi barang donasi kepada masyarakat terdampak di wilayah Kupang, Malaka, Sabu, Rote, Sumba Timur, Adonara, Lembata, dan Alor relatif cepat terlaksana berkat dukungan transportasi dari pihak Garuda, Hercules, Pelni, Meratus, fasilitasi Pemprop NTT, kerjasama dengan BPBD Provinsi dan Kabupaten, TNI Polri, dan kelompok relawan lokal dari berbagai kalangan di NTT.
Tim relawan SATU HATI UNTUK NTT sendiri turun ke berbagai wilayah terdampak bertemu masyarakat dan mengawal langsung proses distribusi.
Di Alor, M. Achmad Talla seorang relawan SATU HATI UNTUK NTT dari Jakarta selaku PIC untuk wilayah Alor harus bertahan selama satu bulan menembus berbagai daerah terisolir yang terdampak dan belum tersentuh oleh bantuan bencana. Kerusakan infrastruktur transportasi, listrik dan komunikasi akibat bencana sangat menghambat aktivitas relawan.
Dengan kekuatan yang terbatas namun didorong oleh semangat kemanusiaan, Tala akhirnya membangun sendiri jejaring relawan pendukung di Alor untuk distribusi bantuan bencana tersebut.
Penanganan Bencana di Alor
Talla tiba di Alor tanggal 10 April. Saat itu akses jaringan telepon dan signal internet masih terputus. Komunikasi dan rencana koordinasi Relawan SATU HATI UNTUK NTT dengan pihak Pemda Alor dan BNBD Alor segera dilakukan. Namun respons darurat dari pihak Pemda dan BNBD Alor terkesan sangat lambat dan kurang kooperatif. Permohonan bantuan kendaraan operasional distribusi tidak ditanggapi secara institusional.
Sementara itu data korban atau desa terdampak sangat sulit diperoleh. Hal ini mengakibatkan distribusi dana tunggu dari pemerintah sebesar 500 ribu rupiah per bulan bagi korban bencana tidak bisa terealisasi secara maksimal.
Realitas di atas menunjukkan bahwa Pemda Alor dalam hal penanganan Bencana Badai Seroja di masa emergensi sesungguhnya tidak cukup maksimal. Hal hal ini sangat berbeda dengan wilayah lain terdampak; Pemda setempat sangat kooperatif terhadap giat solidaritas kemanusiaan sebagaimana yang dulakukan SATU HATI UNTUK NTT.
Diskomunikasi
Dampak rusaknya jaringan komunikasi di Alor mungkin bisa ditunjuk sebagai penyebab masalah koordinasi antara Jakarta dengan Alor pada saat saat awal emergensi bencana. Pihak Kemensos dari Jakarta misalnya, ternyata hanya dapat terhubung kepada Ketua DPRD Alor yang kebetulan sehaluan politik. Upaya darurat kebencanaan dari pihak Mensos tersebut ternyata ditanggapi secara emosional dan politis oleh Bupati Alor dan berbuntut sebagaimana viral belakangan ini.
Profesionalitas
Ketersinggungan Bupati Alor yang muncul dalam ekspresi kemarahannya dalam video yang viral tersebut sangat mungkin adalah akibat diskomunikasi. Namun apa pun alasan hambatan koordinasi, seharusnya tidak boleh mengganggu proses dan mekanisme pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat yang terdampak bencana.
Alor sesungguhnya termasuk wilayah yang paling terdampak Badai Seroja di NTT, namun justru kurang mendapat perhatian nasional dibanding wilayah lain. Semoga sikap arogan emosional Bupati Alor tidak berakibat pada pembatasan alokasi anggaran dan perhatian lainnya dari pemerintah pusat bagi rakyat Alor dalam proses recovery bencana yang sedang berjalan.*