TEMPUSDEI.ID (8 JUNI 2021)
Pada tahun 1968 Paul McCartney, personil grup band legendaris The Beatles merilis sebuah lagu berjudul Let It Be – Biarlah, begitu terjemahnya dalam bahasa Indonesia.
Dari judulnya bisa ditebak bahwa lagu ini berisi lirik yang bernada menasihati untuk menerima sebuah kenyataan dengan penuh kebesaran hati. Lagu itu segera meledak atau booming di tengah masyarakat dan menjadi sangat popular. Dan merupakan lagu terakhir The Beatles. Sampai sekarang ini masih sering dinyanyikan atau diputar di berbagai kesempatan.
Ceritanya, di sekitar waktu penciptaan lagu itu, The Beatles kembali dari liburan di India. Liburan itu dirasa kurang efektif untuk memperkuat soliditas The Beatles yang sedang mengalami banyak guncangan internal. Sebut saja pernikahan John Lennon yang retak dan kecanduan dengan heroin, George Harrison yang mulai tidak puas karena tidak diperlukan adil, hingga Paul McCartney yang terlalu workaholic. Belum lagi kekacauan manajemen yang menyebabkan The Beatles terus merugi. Ini situasi yang sangat menggangu. “Saya mengalami masa yang sangat sulit sekitar musim gugur 1968,” kenang McCartney dalam buku Marlo Thomas, The Right Words at the Right Time.
Dia merasakan, The Beatles bakal bubar. “Saya lalu begadang, minum-minum, menggunakan narkoba, clubbing, seperti yang dilakukan banyak orang saat itu,” aku McCartney.
Dalam situasi ini, Paul yang memang pekerja keras berusaha keras tampil dominan agar The Beatles tetap bertahan sehingga menghasilkan karya-karya baru. Namun tidak mudah dan terasa amat melelahkan.
Siang malam, situasi ini sangat mengganggu pikiran dan batin Paul. Dia pun terserang insomnia. Namun setiap kali bisa tidur, persoalan ini menjadi menu pengantar tidurnya. Dan begitu bangun, persoalan yang sama serta-merta langsung menyergap lagi. Mau buat apa, Paul pun bingung sambi memendam beban berat dalam hatinya.
Persoalan tersebut lalu menjelma menjadi bunga mimpi tidurnya. Suatu malam, ketika McCartney tertidur pulas, sebuah mimpi menyelinap. Sesosok wanita datang mengunjunginya. Wanita itu bernama Mary menasihatinya untuk tabah dan ikhlas menjalani segala sesuatu.
Wanita itu dengan tatapan yang teduh dan suara yang tenang berbicara kepadanya. Tidak lain, dia adalah sosok ibundanya sendiri bernama lengkap Mary Mohin McCartney, yang meninggal karena kanker payudara ketika McCartney masih berumur 14 tahun.
Mendengar nasihat itu, Paul merasa sangat diteguhkan. Terberkati. Hatinya tersergap rasa gembira atau sukacita. Bebannya seperti terangkat begitu saja. Legah! Motivasi dan semangatnya tumbuh. Ia akhirnya mengabadikan pengalaman itu dengan lagu Let It Be.
Simak lirik berikut:
When I find myself in times of trouble
Mother Mary comes to me
Speaking words of wisdom
Let it be
And in my hour of darkness
She is standing right in front of me
Speaking words of wisdom
Let it be
Banyak orang mengira, tokoh “Mary” dalam Let It Be itu adalah Bunda Maria, ibu Yesus. Bagi Paul, penafsiran itu tidaklah salah. “Barangkali itulah keindahan dari musik, semua orang bebas menginterpretasikan artinya sesuai apa yang mereka rasakan ketika mendengar lagu ini,” kata McCartney suatu saat.
Memang lagu ini seakan memberikan semangat dan motivasi, bahwa menghadapi pergumulan hidup itu memang tidak mudah, namun jika dijalani dengan sabar akan menghasilkan sesuatu yang positif.
Kematian Mendadak yang “Menghancurkan”
Kematian mendadak Mary Mohin McCartney menghancurkan keluarga McCartney. Bagi McCartney, Mary adalah ibu yang luar biasa, sumber kekuatan dan dukungan utama. “Dia pernah menjadi perawat, ibuku, dan pekerja keras, karena dia menginginkan yang terbaik untuk kami. Kami bukan keluarga kaya—kami tidak punya mobil, kami hanya punya televisi—jadi kedua orang tua saya pergi bekerja, dan Ibu menyumbang separuh pendapatan keluarga. Pada malam hari ketika dia pulang, dia memasak, jadi kami tidak punya banyak waktu satu sama lain. Tapi dia adalah sosok yang sangat menghibur dalam hidupku.”
Atas kepergian ibunya, McCartney belajar mati-matian untuk menguasai keterampilan bermain gitar. Itu juga yang menjadi dasar persahabatannya dengan John Lennon, yang juga kehilangan ibunya dua tahun kemudian dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. “Itu menjadi ikatan yang sangat besar antara John dan saya,” kata McCartney dalam film dokumenter The Beatles Anthology. “Kami berdua mengalami gejolak emosional yang harus kami tangani dan, sebagai remaja, kami harus menghadapinya dengan sangat cepat.” “Let It Be” menjadi single terakhir band ini sebelum perpisahan mereka diumumkan pada bulan April 1968.
Sejak saat itu lagu ini mencapai status sebagai himne modern yang dicintai, membawa kegembiraan dan inspirasi bagi jutaan orang yang tak terhitung jumlahnya.
Pada tahun 1968 itu terpilih sebagai final bertabur bintang di panggung London Live Aid, memancarkan pesan surgawi iman Maria di seluruh dunia.
Lagu itu membawa penghiburan bagi penulisnya sekali lagi pada tahun 1998, ketika kerumunan 700 orang menyanyikannya di sebuah upacara peringatan untuk Linda istrinya, yang meninggal akibat kanker payudara. Terlepas dari maknanya yang sangat pribadi, McCartney tetap bersikap baik tentang beberapa interpretasi saleh.
Sekali lagi, tentang interpretasi orang yang mengira tokoh Mary dama lagu tersebut adalah Bunda Maria, Ibu Yesus, McCartey mengatakan tidak keberatan. “Saya cukup senang jika orang ingin menggunakannya lagu itu untuk menopang iman mereka. Saya tidak punya masalah dengan itu dan tidak keberatan,” katanya kepada Miles. (EDL/aleteia.org dan sumber lain)