JAKARTA, TEMPUSDEI.ID (11 JUNI 2021)
Ketika bertemu dengan pimpinan PGI, Timoteus Morib, Ketua Majelis Rakyat Papua pada 11/6 di Grha Oikumene meminta adanya revisi secara menyeluruh terhadap UU Otsus. “Kami menghendaki agar revisi UU Otsus itu dilakukan secara menyeluruh, tidak sepotong-sepotong seperti sekarang ini, yang hanya memperhatikan perubahan pada dua pasal,” kata Timoteus. Jelasnya lebih lanjut, Pasal 77 UU 21/2001 tentang Otsus Papua itu jelas mengatakan bahwa perubahan atas UU ini dengan melibatkan rakyat Papua yang diwakili oleh MRP dan DPRP.
Rombongan MRP yang terdiri dari 25 orang, datang menjumpai Pimpinan PGI terdiri dari Ketua, Wakil Ketua, Pokja Agama, Pokja Adat, Pokja Perempuan dan Staf Ahli MRP dan diampingi oleh Peradi. Sebagaimana diketahui MRP adalah Lembaga negara dan Lembaga kultural Papua yang mewakili ketujuh wilayah adat, agama dan perempuan di Papua seturut amanat UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
“Kami melihat kesungguhan Bapak Presiden Jokowi untuk membangun Papua. Tapi sebagai bagian dari Forkompinda Papua, dan lahir sebagai amanat Undang-undang, kami MRP belum pernah bertemu dengan Presiden. Kami berharap Nawacita dan blusukannya Presiden bisa berkolaborasi dengan MRP, dalam semangat pendekatan kultural,” ungkap Timoteus lebih lanjut. “Kami sudah ke barat dan ke timur untuk menyampaikan keluh-kesah kami, tapi tak ada hasilnya. Kami berharap PGI dapat menjembatani kepada Presiden untuk menyampaikan harapan dan aspirasi kami,” kata Joel Elmulai, Wakil Ketua MRP.
Pada percakapan ini terungkap selama 21 tahun Otsus, dari 24 kekhususan Papua yang diamanatkan oleh UU Otsus, hanya 4 yang dijalankan, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang Papua asli, Pembentukan MRP, persolan kekerasan serta pembangunan infrastruktur.
Meresponi harapan keduapuluh lima anggota MRP tersebut, Ketua Umum PGI, Pdt Gomar Gultom, mendukung Majelis Rakyat Papua (MRP) yang lahir dari UU Otonomi Khusus Papua sejak 20 tahun lalu. Adanya Biro Papua di PGI menurut Gomar menjadi bentuk perhatian khusus PGI terhadap Papua. “Kami senantiasa terbuka mendengar berbagai harapan, keprihatinan dan keluhan masyarakat, khususnya suara-suara dari mereka yang terpinggirkan. Secara khusus dengan persoalan Papua, kami memang memiliki perhatian khusus. Itu sebabnya di PGI ada Biro Papua,” kata Pdt. Gomar.
“Saya sependapat dengan MRP, betapa perlunya UU Otsus tersebut dievaluasi secara menyeluruh. Kita tidak bisa hanya bicara tentang anggaran atau dana otsus yang sudah digelontorkan pemerintah pusat. Hingga kini beberapa amanat UU Otsus tak dihiraukan, seperti menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, pembentukan Komnas HAM Papua, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dll,” lanjut Gomar.
Sementara itu, Sekretaris Umum PGI, Pdt Jacky Manuputty mengatakan, berbicara mengenai Papua haruslah melibatkan gereja. Dan itu sebabnya, gereja akan terus mendukung penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh dengan penuh martabat.
Sekum PGI juga mengungkapkan kekecewaannya karena berbagai institusi hanya membangun narasi dan berbicara tentang apa yang telah dilakukan untuk Papua, tanpa pernah berpikir sebagai bangsa besar untuk mengakui bersalah dan memohon maaf pada Papua. PGI juga prihatin dengan diabaikannya lembaga MRP dalam berbagai kebijakan di Papua, terutama dalam isu pemekaran dan Perdasus. PGI berpendapat penyelesaian masalah Papua haruslah dari hati, kejujuran dan keseriusan, melalui pendekatan kultural dan kemanusiaan, sebagaimana berkali-kali diungkapkan oleh Presiden. Pendekatan kultural itu mestinya haruslah dengan dan melalui MRP, sebagai lembaga resmi negara yang mewadahi representasi kultural (agama, adat dan perempuan). (Philip Situmorang)