TEMPUSDEI.ID (12 JUNI 2021)
“Ana, ini Tante. Maaf, Tante harus menghubungi kamu seperti ini. Ayahmu telah tiada, Na! Lihatlah ayahmu untuk terakhir kalinya.”
Begitulah. Setelah 22 tahun, kabar pertama yang kudengar tentang ayah adalah berita kematiannya. Aku duduk di sebelah ayahku yang pucat dan kaku. Bahkan untuk menyentuhnya saja, aku tak sanggup. Seingatku, terakhir kali kugenggam tangan ayah ialah saat ayah mengantarku ke sekolah. Saat itu usiaku tujuh tahun.
Aku teringat saat ayah menggenggam tanganku dengan tangannya yang kasar. Tangan itu merupakan bukti kerja keras ayah. Saat itu ayah bekerja di galangan kapal, pekerjaan paling umum di Batam. Ayah memang tidak memberiku kehidupan yang mewah, tetapi ayah selalu memastikan aku tercukupi. Ayah selalu bilang bahwa aku adalah putrinya yang berharga. Mendadak tangisku makin pecah saat kepingan kenangan itu muncul.
Maret 1998
“Kamu itu nggak mikir, ya? Sudah hampir setengah tahun kamu nggak kerja. Kalau begini terus, kamu pikir kita masih bisa makan?” ucap ibu keras sambil berkacak pinggang.
“Maafkan ayah, bu. Ayah juga sudah berusaha cari kerja, tapi kan kamu tahu sendiri kondisinya. Bersabarlah, bu,” jawab ayah lembut.
“Memang aku ini kurang sabar, ya? Untuk makan saja sudah bingung, ditambah Ana baru masuk SD. Kalau tahu begini, Ana nggak usah sekolah dulu,” suara ibu semakin keras.
“Astaga, bu. Bagaimana pun keadaan kita, Ana tetap harus sekolah. Ayah akan terus berusaha. Kalau soal makan, kita bisa makan mi atau telur dulu,” kata ayah.
“Kamu pikir mi sama telur sekarang masih murah? Semua melonjak. Aku benar-benar sudah nggak tahan sama kamu,” kata ibu sambil lalu.
Saat itu, memang semua harga bahan pangan melonjak akibat krisis moneter yang sedang melanda Indonesia. PHK dan pengangguran di mana-mana. Sekitar 20 juta tenaga kerja menganggur. Ayah salah satunya. Semenjak itulah, hampir setiap hari kudengar ayah dan ibu bertengkar.
Setelah pertengkaran itu, aku tidak pernah bertemu lagi dengan ayah. Bahkan mendengar kabarnya saja tak pernah. Ibu bilang ayah minggat.
Setelah ayah pergi dari rumah, mendadak rumah terasa sepi. Biasanya ayah yang selalu membantu aku mengerjakan PR. Sekarang aku harus mengerjakan PR sendiri. Ibu? Ibu bilang ia sudah pusing dan banyak beban. Masa aku mau menambah bebannya dengan PR dari sekolah, kata ibu.
Dua bulan sejak ayah pergi dari rumah—ya, hanya dua bulan—ibu menikah lagi. Saat itu, aku tidak mengerti mengapa ibu bisa menikah lagi. Aku juga tidak mengerti mengapa aku harus memanggil laki-laki itu dengan sebutan ayah. Banyak hal yang saat itu tidak aku mengerti. Semua seakan terjadi begitu saja.
Ada masa saat aku benar-benar merindukan ayah. Aku menangis begitu keras. Berharap ibu iba dan menyuruh ayah pulang. Namun, bukannya iba, ibu justru marah bukan kepalang sambil berkata “Ana, kamu ini nggak ngerti atau gimana? Ibu kan sudah bilang, ayahmu minggat. Toh, sekarang sudah ada ayahmu yang sekarang. Mulai sekarang, ibu gak mau dengar apa pun tentang ayahmu yang tidak bertanggung jawab itu.”
Ayah tiriku, kuakui memanglah cukup baik sebagai ayah tiri. Meski aku bukan darah dagingnya, ia tetap membiayai sekolahku. Bukan hanya itu, ia juga bersikap baik padaku. Bahkan saat adikku, Tia, lahir, ia juga tak lantas bersikap kejam padaku. Begitu juga saat adik keduaku, Ria, lahir. Begitulah aku berpisah dengan ayah dan melanjutkan hidupku bersama ibu, ayah tiriku, Tia, dan Ria.
Tahun 2020, Kabar Kematian Ayah
Mendengar kabar tersebut, aku bagai tersambar petir di siang bolong. Aku terdiam beberapa detik. Tubuhku mendadak lemas. Aku berusaha untuk tidak tumbang guna menanyakan tempat yang harus kudatangi untuk bertemu ayah.
Dengan tangis yang tak kuasa kubendung, aku memberi tahu ibu tentang kabar duka tersebut. Berharap ibu menemaniku bertemu ayah. Namun, jawaban ibu benar-benar di luar dugaan. “Dia bukan siapa-siapaku,” kata ibu. Mendengar hal itu, aku tak bisa lagi menahan amarah.
“Aku benar-benar kasihan pada ayah. Selama bersama kita, ayah selalu bekerja keras, tapi saat ayah jatuh, ibu dengan mudahnya meninggalkan ayah. Seandainya aku dulu sudah mengerti, aku nggak akan tinggal dengan ibu. Aku akan pergi mencari ayah sehingga ayah nggak pergi dengan kesepian. Selama ini aku diam, bu, tapi ibu sudah keterlaluan,” kataku dengan marah sembari menangis.
Mungkin ibu tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku. Sejak ibu memarahiku karena mengungkit ayah, aku benar-benar tidak pernah menanyakan ayah lagi. Aku hidup dengan diam seolah-olah semuanya baik-baik saja. Orang-orang di sekitarku bahkan tidak tahu bahwa aku tinggal dengan ayah tiri.
Tahun 2020, di Samping Jasad Ayah
Selain tangisan, tak ada hal lain yang mampu kuucapkan. Entah siapa yang lebih pantas dikasihani. Aku atau ayah. Aku sangat mengasihani diriku karena tak pernah lagi bertemu ayah sejak usia tujuh tahun. Hingga Tante Yani menghampiriku dan berkata “Sejak dulu, ayahmu ingin menemuimu, Na. Sejak ibumu menikah lagi, kalian pindah. Ibumu bahkan mengganti nomornya. Ayahmu sudah berusaha, tapi nggak berhasil, Na. Ini saja Tante mencari lama sekali di facebook baru bisa menghubungimu. Kalau nggak, mungkin kamu juga nggak akan tahu ayahmu meninggal.”
Mendengar itu, aku menjadi lebih mengasihani ayah. Sambil menatap ayahku dengan tangis tersedu-sedu, aku mencoba memberanikan diri untuk memegang tangannya. Inilah tangan yang sangat kurindukan. Entah hanya perasaanku, tetapi tangan ayah semakin kasar. Dengan tangis yang masih tersedu-sedu, aku memberanikan diri untuk menyapa ayah.
“Ayah, ini Ana, putri ayah yang berharga. Yah, Ana minta maaf karena baru menemui ayah sekarang. Ana juga minta maaf karena baru menemui ayah saat ayah telah tiada. Dan Ana juga minta maaf karena nggak sempat bilang bahwa ayah tidak salah.”*
Iska Pebrina Rajagukguk, Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta