Oleh GF Didinong, Pengamat Sosial dan layanan publik, tinggal di Jakarta
TEMPUSDEI.ID (16 JUNI 2021)
Belum lama ini, Herman Musakabe, pensiunan Jenderal Angkatan Darat, mantan Gubernur NTT, dalam sebuah akun Youtube menyuarakan kembali agar nama Bandara Turelelo Soa Ngada dapat diberi nama tokoh lokal Ngada seperti Yan Yos Botha. Maksud Herman Musakabe yang juga berasal dari Ngada tersebut tak lain pertama-tama agar masyarakat Ngada belajar mengenang jasa para pendahulu, peletak dasar pembangunan di Ngada khususnya.
Bandara Turelelo Soa Ngada pernah sangat populer ketika Marianus Sae, Bupati Ngada kala itu dikatakan memerintahkan agar sebuah pesawat tidak boleh mendarat di lapangan terbang tersebut, Desember 2013.
Masyarakat Ngada Flores sesungguhnya masih sangat kental dengan ikatan budaya dan sejarah berikut berbagai norma tentang penghormatan kepada tokoh pendahulunya. Event tahunan Rebha di Ngada merupakan sebuah bukti tak terbantahkan. Maka yang menjadi pertanyaan besar, yaitu ketika wilayah-wilayah lain di Flores sudah menabalkan nama tokoh pendahulunya pada berbagai gateway atau monumen seperti Frans Sales Lega, Aroeboesman, Frans Seda, L. Say, Herman Fernandez, lalu mengapa di Ngada belum ada fenomena penghargaan terhadap tokoh tokoh lokal tersebut?
Ada yang mengatakan bahwa literasi dan referensi terkait pembangunan awal Kabupaten Ngada masih sangat minim sehingga mengakibatkan generasi milenial di bawah usia 40 tahun bisa jadi tidak familiar dengan nama sekelas bupati Yan Yos Botha. Namun generasi Ngada di atas itu bahkan mayoritas masyarakat Flores dan NTT pasti mengenal nama mantan bupati tersebut. Jauh sebelum muncul istilah blusukan, para pendahulu di Flores pada dekade 60-an hingga 70-an sebagaimana bupati Yan Yos Botha sudah rutin melakukan turne berhari-hari ke berbagai wilayah perdesaan terisolir untuk mendorong pembangun jalan dan akses pasar, mendirikan sekolah dasar dan sekolah lanjutan, meningkatkan pelayanan kesehatan dan sebagainya. Padahal situasi dan kondisi anggaran daerah saat itu amat minim dan nyaris tanpa fasilitas.
Masyarakat Ngada dikenal menganut sistem klan matrilineal yang menghasilkan kebanggaan pada Sao dengan Mataraga dan seterusnya masing-masing. Bisa jadi hal ini ikut menumbuhkan sikap kurang peduli kepada penghargaan kepada individu dari Sao atau wilayah lain.
Sosok sekelas Gus Dur pernah berucap bahwa, kalau mau belajar tentang demokrasi, maka belajarlah ke tanah Ngada. Dengan pengakuan ini, semestinya kesadaran dan sikap penghargaan kepada tokoh lokal Ngada pun dapat dikembangkan. Aspirasi masyarakat terkait penghargaan terhadap jasa tokoh lokal Ngada seharusnya dapat diserap dan diperjuangkan oleh DPRD Ngada dan Pemda Ngada serta stake holder Ngada lainnya.
Di kalangan orang Flores, Ngada memang dikenal kampiun dalam hal sepakbola. Namun dalam hal penghargaan terhadap jasa tokoh lokalnya sendiri, nampaknya Ngada masih ketinggalan jauh.
Sebagaimana dikatakan Herman Musakabe yang pernah jadi mentor SBY, nomenklatur pada situs dan fasilitas umum seperti bandara sama sekali bukan untuk kultus individu. Sebaliknya, selain bertujuan untuk menghargai jasa tokoh sendiri, penghargaan tersebut juga akan memberikan rasa percaya diri (self confidence) di samping membangun ketahanan sosial budaya (social and cultural resistence) dalam menghadapi globalisasi. Generasi muda Ngada akan memiliki panutan tentang semangat dan nilai perjuangan dari para tokoh lokal Ngada sendiri.
Orang Flores khususnya orang Ngada pasti akan menolak kalau Bandara Turelelo Soa misalnya kemudian dinamakan Bandara Ki Hajar Dewantoro atau Bandara Kartini dan seterusnya. Menyandingkan nama seperti Bandara Yan Yos Botha Turelelo Soa rasanya akan sangat sepadan sebagaimana Bandara Eltari Penfui, Bandara Soekarno Hatta Cengkareng atau Bandara Umbu Mehangkunda di Sumba, dan lain lain.