TEMPUSDEI.ID (16 Juni n2021)
Malam minggu, dan tangkai-tangkai maple masih belum mencair dari salju yang bekukan bumi tadi siang. Jantung kota London berembun, penduduknya nampak kedinginan sepanjang jalan Buckingham Palace akibat cuaca yang tak bersahabat. Beberapa mencari penghangat di dalam cafe, dan beberapa langsung naik double decker untuk menuju rumah mereka.
Dalam kerumunan masa yang kedinginan itu, berdirilah Carol di samping tiang bus, dengan setelan baju musim dinginnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, dengan mata yang tampak awas, seperti elang di atas bukit-bukit bertuah hendak menyabet mangsanya.
Ia menggaruk tengkuknya keras-keras meski tak ada rasa gatal menggelayuti, sambil diketukkannya kakinya dengan cepat ke jalan-jalan berlumpur campur salju.
Beberapa turis berjalan lalu lalang, bergerak beriringan bagai kumpulan rusa kehausan yang merindukan mata air kehidupan. Namun, tak satupun peduli pada Carol, atau pada siapapun. Sebab manusia selalu membesarkan egonya, yang tak akan bisa dipadamkan oleh semburan air, kecuali oleh cahaya dari mata-mata sakral Tuhan.
Satu bus dengan tulisan “Nowhere” di atas kaca besar tempat sopir melihat, melaju dari arah barat, dan sedang menuju ke arahnya. Bus itu juga nampak dingin, sedingin tungku hatinya yang tak temukan kayu untuk membakar api. Sedingin awan-awan kelabu yang menutupi kepalanya hari ini.
Ketika bus itu berhenti tepat di depannya, Carol naik dengan perasaan teramat gundah. Tangannya gemetar, bukan karena dinginnya udara, namun karena ketidakpastian yang merenggut seluruh hidupnya, mengendalikan otaknya bagai zombie di film-film aksi.
Carol duduk di bangku tengah, dekat jendela berembun. Dari sini ia bisa saksikan jalan-jalan sepanjang lintasan bus ini lewat.
Kemudian pikirannya berkelana ke negeri-negeri jauh, antahberantah, tak tau kemana. Namun ia tahu betul bahwa ia memikirkan Jared.
Kemudian sejenak beralih ke rumahnya di pinggiran kota yang usang dan berdebu, dengan barang-barang tua, tv keluaran 1950 an, stereo tua tempatnya biasa memutar musik country Amerika dengan piringan tua berjudul “Tak Tahu Kemana”
Dan beralih lagi pada Jared.
Jared. Jared. Jared.
Ia bertanya-tanya apakah Jared akan datang hari ini dalam pertunjukkan musiknya di sebuah orkestra mingguan, bagi anak-anak muda. Sebuah perkumpulan anak-anak indie yang senang memainkan kalimba dan jazz—perkumpulan patah hati—yang biasa disebut pula sekte anak muda putus asa yang bosan hidup. Begitulah kira-kira. Ia tak payah peduli. Yang ia pedulikan rasa nyaman, rasa rumah, kampung halaman, dan kemagisan di dalamnya.
Carol tak dapat redam rasa khawatirnya, sebab Jared tak dapat dihubungi sama sekali. Panggilannya dijawab oleh sebuah pesan otomatis yang memekakkan telinga.
“Hai, ini Jared, hubungi aku lagi nanti”
Pikirannya berkecamuk, udara di sekitarnya terasa hampa. Embun-embun dingin yang menyembul dari balik bus mulai menetes bagai peluh-peluh pekerja konstruksi di samping rumahnya yang lelah mengangkat pasir.
Sekali lagi dan… tut tut tut… hanya dering fatal yang mengakibatkan tangannya bergerak tanpa kendali, saraf-sarafnya mengejang, otaknya mengatur emosi lewat pergerakannya. Carol membanting gawainya ke lantai, hingga terdengar suara bedebum yang keras, bagai seluruh kemarahan burung bulbul yang dikurung dalam sangkar.
Para penumpang terkejut, dan menoleh ke arahnya, menghakimi. Tatapan tajam lagi. Kali ini tak seperti elang, tapi lebih mirip burung gagak, burung kematian yang biasa bertengger di atas rumah-rumah orang hendak meninggal.
Seorang wanita tua yang duduk si seberangnya nampak kesal karena ulah Carol. Dalam wajah wanita itu, ada kata-kata yang belum sempat meluncur lewat mulunya, kira kira begini, ”apakah kau sengaja membuat malaikat mengambil nyawaku secepat kilat, dan setajam cahaya?’
Tapi Carol dengan segenap akal warasnya mengatakan “maaf” dengan pelan.
“Ada apa denganmu gadis muda, tak bisakah tubuh renta ini kau biarkan bersetubuh dengan udara sejuk sore hari, dan sedikit remah-remah kenangan?” Seorang laki-laki tua dibelakangnya berteriak lantang.
“Maafkan aku, Mister. Nampaknya pikiranku sedang berkecamuk, hingga terbelahlah akalku, dan memuncakkan emosi dalam dadaku”
“Kau tak kemana-mana, hanya di sini. Tapi pikiranmu melalangbuana ke negeri-negeri yang telah lama mati akibat perang, atau nuklir…”
“Mungkin benar. Tapi aku memikirkan lebih daripada itu, aku memikirkan Jared, seseorang yang sekarat, tapi tak pernah terbunuh dalam hatiku Hahahahahaha…” Tawa Carol membahana, menukik, berwarna hitam, legam, tak tertembus oleh bayang-bayang kegelapan. ia tak peduli lagi pada tatapan-tatapan tajam bak pisau dapur yang siap menghujamnya kapan saja.
“Kau tau kemana kita pergi?” Tanya orang tua itu.
“Kita pergi ke tujuan masing-masing kan?” Tanya Carol balik.
“Kita tak akan pernah sampai ke tujuan, sebab memori-memori itu telah dirampas. biarlah malam merenggutnya, menjadikannya sebuah ritual patah hati, yang membunuh jantung bulan! Biarlah kemagisan memenuhi seluruh tanah inggris! Dan biarlah mendarat darah-darah di hadapan Ratu kita!!!” Sahut sopir bus dengan lantang.
Carol diam seribu bahasa, tak ia pedulikan kata-kata gila mereka. Ia tahu bahwa semua orang dalam bus ini telah kehilangan akal warasnya. Ia menghubungi Jared lagi, tapi hanya kekosongan, seperti ruang-ruang dalam pikirannya.
Yang ia tahu, ia tak akan pergi ke perkumpulan itu malam ini, perkumpulan yang bagai agama, menaunginya dari segala macam badai. Perkumpulan orkestra, dengan musik-musik jazz lembutnya.
Jared. Jared. Jared.
Ia tak lagi merasa gundah seperti sebelumnya, sebab ia tahu bahwa Jared hanya hantu, yang tak akan pernah peduli pada setiap perasaan yang mengisi relung hatinya. Mungkin sekarang ia sedang menonton bola bersama teman-teman gilanya. Mungkin ia melupakan pertunjukan Carol, dan tak memusingkan untuk memenuhi janji.
Oh bodohnya Carol.
Tuk. Tuk. Tuk.
“Biarlah aku mengetukkan botol bekas minumku di lantai berdebu ini dan memulai ritual membunuh malam sebelum serigala tiba. Hai orang-orang putus asa, minumlah vodka, tequila, beer, campur sedikit es tapi jangan dicampur air, agar tak merusak rasanya.” Seorang bartender meracau tak jelas.
“Kau, apa yang kau alami?” tanya seorang gadis yang memakai busana Front Row.
“Oh anak muda, aku dilecehkan di tempat kerjaku. Banyak orang melihat tapi tak satupun menolong, tak ada yang peduli pada bartender sepertiku.”
Tapi seluruhnya mendengarkan dengan takzim setiap ucapan-ucapan yang dilontarkan satu sama lain.
Seorang pria dengan topi, dan atasan hoodie berdiri, dan maju ke depan tempat supir mengendarai bus.
Ditatapnya semua mata dalam bus, termasuk Carol, kemudian beginilah diucapkannya, seperti mantra: “Benarkah luka hanyalah luka? Bukankah muasal luka berasal dari jatuhnya tubuh? Atau bagaimana kalian semua bisa menjelaskan luka patah hati? Sedikitpun tak mampu kalian jabarkan betapa menderitanya seseorang yang ditinggalkan sendiri”
“Diamlah!” Carol memakinya. Ia begitu dingin kali ini, tak peduli pada sopan santun.
“Mengapa kau begitu marah? Apakah hatimu sedang luka? Ibuku ada di cemetery, berdiam diri, kadang bergelantungan seperti angin yang melibas pohon-pohon besar, dan kemudian kembali ke kedalaman tanah, kehampaan.”
“Maafkan aku,” Carol menyesal telah membentak pemuda itu.
“Tak apa Nona. Kehilangan hanyalah bentuk lain dari pertemuan kembali. Mungkin ibuku ada di cemetery, sedang menungguku. Namun, aku percaya bahwa suatu hari nanti aku dapat bertemu lagi dengannya.”
Kemudian pemuda tanpa nama itu kembali ke tempat duduknya sambil menunduk dalam-dalam.
Bus nowhere menciptakan percakapan-percakapan gila dari kepala orang-orang putus asa, sama seperti dirinya. Dan Carol tahu ia takkan pernah sampai kepada tujuannya. Diamatinya gawai itu, nama Jared tertera, besar dan biru.
“Bye-bye, Jared. Malam telah mati. Kita telah mati,” katanya lantang, lalu dilemparkannya gawai itu ke luar jendela.
Kelvin Wijaya, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta