Romo Mudji Sutrisno, SJ adalah Budayawan dan Imam Katolik
Kata sebuah adagium: ide itu “berkaki”. Ia bisa berjalan dan mengerakkan, menyulut penggandaan wujud rupa dan wajah. Seni menjalar saat inspirasi yang satu menyapa dan memotivasi. Selanjutnya seni itu mewujud dalam rupa sapa-menyapa yang menggerakkan. Seni juga merangsang dialog dalam aneka rupa temu hati atau budi yang dinamis menuju “pemuliaan kehidupan”.
Pada pagi yang indah, saat olahraga berjalan kaki di lapangan Kanisius Menteng, jatuhlah di depanku sebuah sarang berisi telur burung. Kutengok ke atas ke pohon asal sarang burung itu, tak seberapa tingginya. Telur itu tak pecah karena dibedung anyaman lunak asri dari rumput-rumput kering yang dianyam burung-burung itu.
Sejenak saya berdecak kagum atas kehebatan induk yang menganyam sarangnya untuk melindungi calon-calon anaknya yang masih berwujud telur.
Woow! Inspiring! Tidak kebetulan, kok, jatuh di depanku. Seluruh sarang tak rusak, terlebih telur-telur di dalamnya tak pecah. Lekas-lekas saya buat sketsanya lalu saya kembalikan ke tempat cabang pohon semula.
Saya ambil buku sketsa dan piranti lainnya. Setelah siap hati nyaman, jari pun mulai melukis sembari merangkai kata dan kalimat pembingkainya.
Teringat Romo Mangun
Pada titik ini, seketika saya teringat novel hebat karya Romo YB Mangunwijaya Pr (Alm) berjudul Burung-burung Manyar. Isinya dahsyat dan mendidik lantaran mewariskan cinta negeri sebagai sikap warga negara yang harus dewasa dan matang serta berkarakter di negeri tercinta Indonesia ini.
Dengan protagonis tokoh Teto dan Atik, Romo Mangun secara sadar menarasikan Teto sebagai seorang indo dan Atik sosok Jawa tapi modern, cerdas, peneliti. Akhirnya mereka jadi pasangan ayah dan ibu di negeri RI yang muda dan masih dalam perjuangan kemerdekaan.
Atik adalah biolog sekaligus sekretaris perdana menteri termuda dalam sejarah, yakni Sutan Sjahrir. Atik dikisahkan sedang sidang disertasi doctor. Penelitiannya tentang kekhasan unik rajutan anyaman-anyaman sarang burung-burung manyar.
Dari penelitian itu ditemukan si burung manyar watak unik manyar jantan dalam menganyam sarangnya dan berperilaku “maha ajaib” terhadap karyanya sendiri. Ia berbeda dengan burung-burung lain. Tak hanya wujud sarang manyar yang indah, tapi juga perilakunya. Apa itu? Ternyata si manyar jantan itu menganyam seindah dan semenarik mungkin sarangnya untuk menjadi sarana “merayu manyar betina” agar mau singgah dan menetap di sarang buah karyanya untuk membangun “keluarga” di sarang atau rumah yang dipamereksposisikan si manyar jantan itu.
Si jantan menganyam sarang calon rumah itu dengan “keahlian arsitekturalnya” secara teliti, kuat, aman dan artistik.
Sarang manyar memang indah sekali dengan lubang bulat di atas bagian depan sebagai pintu masuk. Lihatlah setelah rampung dianyam. Bagian luar terbuat dari ranting jering kuat yang melindungi. Lalu disusunlah rumput-rumput kering halus, dilingkarkan di dalam sarang sebagai tempat semayam nyaman dan aman untuk bertelur dan menaruh telur-telur itu.
Karakter Manyar Jantan
Tabiat unik dari manyar jantan dalam membuat sarangnya lebih dahsyat lagi. Apa itu? Setelah sarang indah selesai, manyar jantan merayu manyar betina untuk mau “masuk dan menengok rumah itu. Syukur kalau sudi dan mau menetap….”. Si jantan dengan sarangnya terus dan terus merayu si manyar betina untuk jadi pasangannya.
Namun ada hal yang dramatis! Saat si betina tidak mau dilamar si jantan alias menolak menjadi pasangannya, si manyar jantan langsung merombak seluruh sarangnya. Dengan sigap naluri total, ia menganyam lagi sarang baru dari nol. Ia membuat sarang baru, yang lebih menarik untuk mencari pasangan.
Apa pesan singkat nan tajam simbolik dari Burung-burung Manyar ini? Romo Mangun mau berpesan: apabila konstruksi sistem “sarang bermasyarakat dan bernegara kita” tidak cocok untuk tempat telur-telur manyar-manyar baru, yaitu generasi baru Indonesia merdeka, jangan ragu-ragu merombaknya seperti burung-burung manyar jantan demi calon ibu manyar betina.
Sama seperti manyar jantan, harus ada keberanian merombak dan membangun kembali sarang, rumah atau peradaban bagi manyar-manyar baru Republik Indonesia. Inilah pekerjaan rumah dan tugas kita, dan ini tidak gampang.
Berani Ambil Sikap
Artinya, terhadap sistem yang membuat korupsi subur, sistem sosial tidak merawat kemajemukan, tidak toleran terhadap perbedaan dan tidak menghormati HAM, kita harus berani mengambil sikap. Apalagi tidak memajukan keadilan dan kesejahteraan di sarang yang sudah dibangun, kita harus memiliki keberanian membongkarnya lalu menganyam lagi sarang baru untuk menyejahterakan anak-anak yang lahir dari “telur-telur burung manyar” (konteks novel adalah 1946-sampai Orde Baru).
Kembali ke awal mula tulisan ini. Dari sketsa sarang burung yang jatuh tepat di depan saya, yang bukan sarang burung unik kaliber “manyar”, tetapi sarang burung biasa seperti burung gereja, emprit atau kutilang. Wow! Ternyata proses merajut menganyamnya menarik sekali bila diamati dari kedudukan si burung.
Saya beruntung karena dahulu kamar saya, jendela kacanya menghadap ke taman yang pohon-pohonnya rindang sehingga bisa menuliskan deskripsi naratif dalam rupa sketsa sarang, narasi sarang simbolik rumah kita. Semoga rumah kebangsaan lalu dibingkai pigura doa.
Tengoklah dan meniti kembali ke awal, di sana ditulis Inspirasi itu menjalar menyapa dan mendorong lahirnya proses saling menginspirasi dan kreasi baru.
Lihatlah betapa ajaib saat sketsa dan doa sudah diwujudi buah karya. Ternyata, ini mendorong murid untuk mengkreasinya menjadi halaman indah sebuah kalender cantik dalam posisi helai halaman bulan Mei 2021 dalam illustrasi racik rupa yang indah.
Maka betul sekalilah bahwa “yang indah, benar, baik dan suci” itu pelan namun sangat pasti membuahkan lagi dan lagi kreasi seni yang baru, buat dan untuk memayu hayuning bawana – memperayu cantik semesta dan “memuliakan kehdupan” untuk menyukuri Sang Penciptanya dalam situasi yang sedang sulit karena pandemi ini.**