Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
TEMPUSDEI.ID (20 JUNI 2021)
Kisah Ayub dalam Perjanjian Lama merupakan kisah legendaris yang mewakili perjuangan orang beriman untuk setia dalam iman akan Allah yang Maha Baik dan Maha Pengasih. Ayub, seorang yang beriman dan setia di jalan yang lurus, tak henti-hentinya didera kemalangan dan penderitaan. Mula-mula hartanya yang hilang, kemudian anak-anaknya tewas mengenaskan, lalu dirinya sendiri menderita sakit kusta.
Untuk mengetahui bagaimana pergulatan Ayub, pentinglah membaca kisah Ayub dari awal sampai akhir. Tidak tertuju hanya pada potongan kisah yang bisa menimbulkan salah paham. Suatu penderitaan dalam iman pasti ada akhir dan suatu berkat dari Allah pasti ada awal.
Akhir dari penderitaan Ayub dan awal dari pemulihan dengan berkat yang melimpah adalah ungkapan imannya yang sangat dalam: “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal” (Ayb 42:2).
Pengalaman hidup Ayub ini, dalam versi yang berbeda dan lebih singkat, juga digambarkan dalam kisah Injil di mana Yesus meredakan angin taufan (Mrk 4:35-41). Para murid yang bersama dengan Yesus dalam satu perahu, dihantam oleh angin taufan dan ombak yang tinggi sehingga para murid sangat ketakutan. Pada saat yang sama Yesus sedang tertidur. Ketakutan akan tenggelam dan mati mengenaskan membuat mereka panik dan berseru kepada Yesus, “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?”.
Kata-kata Yesus kemudian begitu tegas dan penuh kuasa: “Diam. Tenanglah!”. Ungkapan ini serupa dengan perintahnya ketika mengusir roh jahat dari seseorang di Kapernaum: “Diam. Keluarlah daripadanya!” (Mrk 1:25).
Seperti halnya Allah berkuasa mengubah kehidupan Ayub, demikian pun Yesus berkuasa mengubah alam dan nasib para murid-Nya. Yesus bisa mengontrol kekuatan-kekuatan yang biasa menakutkan dan membinasakan manusia.
Mengakui Yesus sebagai Guru tidak serta-merta membuat para murid percaya akan perlindungan dan kasih-Nya ketika kita berhadapan dengan situasi yang tak mampu kita kuasai. Merasa bahwa Yesus bersama kita tak selalu membuat kita merasa aman dalam situasi yang mengancam.
Itulah sebabnya diperlukan iman yang sejati. Iman bukan sekadar tahu dan merasakan kehadiran Tuhan, melainkan memercayakan diri sepenuhnya, sampai pada batas yang tak bisa dimengerti. Seringkali justru pada titik ini tangan Tuhan terlibat secara tak terduga.
Lebih baik percaya pada Tuhan sampai akhir, sekalipun yang terjadi tidak sesuai harapan kita, daripada kehilangan kepercayaan, tapi juga berakhir sama. Iman pasti mempunyai nilai tersendiri di mata Tuhan.
Let Go and Let God.
Salam hangat dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba, NTT