KETIKA CINTAKU TERLUKA
Cinta tertabur di relung nurani
mengalir deras dari Yang Ilahi
menggenangi taman jiwamu
meluap mengairi sukma anak cucumu
sembari menyeruput gemercik kasih
yang membelai dedaunan hati
yang terus mekar menghijau
Gemercik telaga batin mendesah lirih
memandangmu melangkah pergi
tak tahu entah ke mana,
sedang senja kian muram
sebab kau tak lagi kembali
menyandarkan asa di bibir telaga
Di pengujung senja
kau coba menahan penat
menenun sisa aktivitas
dari ragamu yang kian renta
sejenak jedah menghela nafas
sebelum menyambangi yang Ilahi
pada nirwana yang kau rindukan
Secepat inikah?
Kata ibu
dalam tangis histerisnya
mengisahkan kepergianmu
yang mendadak tanpa wasiat
padahal anakmu berkehendak
agar boleh mencapai seabad usiamu
Sore ini dalam khusyuk misa requiem
engkau dipersembahkan
seperti Kristus persembahkan diri-Nya
menjadi korban di hadirat Allah
engkau pun menjadi korban rohani
agar selamat jiwamu, istri, anak dan cucumu
Selamat jalan ayah!
Pergimu sangat mendadak
saat kami belum siap menerima
saat untaian kisah belum terajut purna
untuk ditenun dalam kisah kasih keluarga
engkau mengakhiri etape ke-81
karena perjuangan tidak mesti finish
sebab regenerasi mesti terjadi
agar yang baru gantikan yang usur
agar silsilah terus berlangsung
Lembata, 06 Oktober 2020
Albertus Muda, S.Ag, Sosialisator Program Literasi (SPL) Nasional
Puisi ini kupersembahkan untuk (alm) Bapak Yakobus Weka Bakior yang meninggal dalam usia 81 tahun