Oleh Pater Remmy Sila, CSsR, Superior Misi Redemptoris di Samoa, Provinsi Oceania
Hal pertama yang harus saya katakana di awal adalah: dalam segala ujian, cobaan, tantangan, kesulitan, bahkan dalam kelemahan kita, rahmat Tuhan akan menyertai, memampukan dan menguatkan kita.
Seperti Nabi Yehezkiel dalam Yeh 2: 2-5, masing-masing kita sebagai pengikut Yesus memiliki tugas misi (perutusan) dari Tuhan. Mungkin kita akan bertanya: “Apa tugas misi dari Tuhan untuk saya?” Jawabannya sederhana saja. Tugas misi masing-masing kita adalah menjalankan pekerjaan atau profesi dengan menjadikan nilai-nilai iman Kristen sebagai pedoman dan penuntun tanpa harus menggembor-gemborkannya kepada orang lain. Melalui tutur kata, cara membawa diri dan melalui cara kita melaksanakan pekerjaan, kita sudah mewartakan Injil kepada orang lain dan menjadi saksi Kristus bagi sesama.
Kemajuan ilmu dan teknologi serta kemakmuran hidup telah membuat banyak orang tidak peduli lagi dengan peranan Tuhan dalam hidupnya. Tuhan seakan-akan sudah disingkirkan dalam hidup banyak orang karena mereka ingin mengejar mimpi dan keinginan duniawi mereka tanpa ada patokan nilai iman dan moral yang mengendalikan mereka.
Korupsi, perusakan lingkungan hidup, perdagangan manusia dan organ manusia, aborsi, pelecehan seksual terhadap anak-anak bahkan oleh kaum religius, penyebaran berita bohong, kekerasan dalam berbagai bentuk, diskriminasi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, penghinaan terhadap agama lain, dan sebagainya adalah tantangan sekaligus peluang bagi seorang pengikut Yesus untuk menjalankan tugas misinya.
Dalam situasi seperti ini, pada hari ini Tuhan juga berfirman kepada kita sebagaimana Ia berfirman kepada Yehezkiel: “Hai anak manusia, Aku mengutus engkau kepada para pemberontak yang telah memberontak melawan Aku.” (Bdk Yeh 2: 3). Kita tidak diutus kepada suatu dunia yang serba damai tetapi kepada suatu dunia yang penuh pertentangan dan perlawanan terhadap Tuhan dan nilai-nilai Kerjaan-Nya.
Dalam 2 Korintus 12: 7-10, Santo Paulus menggambarkan beban yang harus ditanggungnya karena tugas pewartaan Injil. Beban tersebut digambarkan bagaikan duri dalam dagingnya. Dan satu-satunya cara untuk melepaskan beban ini adalah seperti yang dialami oleh Yehezkiel, yaitu tetap setia berbicara menentang kejahatan yang terjadi dan untuk memberikan kesaksian tentang Kristus kepada dunia. Duri dalam daging Paulus ini sengaja diberikan oleh Tuhan agar Paulus tidak menyombongkan diri dalam menjalankan tugas misinya dengan membanggakan kehebatan dirinya, tetapi senantiasa mengandalkan rahmat Tuhan dalam hidupnya. Beban itu dalam pengalaman misi Paulus adalah kelemahannya sendiri, siksaan yang dialaminya, kesukaran, penganiayaan dan kesesakan. Dengan penuh keyakinan iman Paulus mengatakan: “Sebab jika aku lemah, maka aku kuat.” Dengan ungkapan ini, Santo Paulus mau menyakinkan kita semua bahwa hanya dengan menyadari dan mengakui kelemahan kita maka kita akan selalu mau mengandalkan kekuatan dari Tuhan yang memanggil dan mengutus kita.
Hanya sayangnya, kita seringkali tidak siap untuk menghadapi tantangan, ujian, cobaan, kesulitan, dan penghinaan apalagi penganiayaan. Kita tidak siap untuk keluar dari zona nyaman kita. Kita takut menhadapi risiko. Kita lebih senang berada di tempat-tempat di mana kita selalu disambut dengan karpet merah, lambaian tangan, pujian dan tepuk tangan dan kita enggan untuk meninggalkan tempat-tempat seperti itu untuk pergi ke tempat di mana kita mungkin akan ditolak, dihina, tidak dipedulikan, bahkan disiksa atau mungkin dibunuh. Kita juga seringkali merasa tidak mampu atau masih terlalu muda seperti yang dialami oleh Nabi Yeremia.
Untuk itu, Tuhan memberikan jaminannya: “Janganlah katakan: Aku masih muda, tetapi kepada siapa pun engkau Kuutus, haruslah engkau pergi, dan apa pun yang kuperintahkan kepadamu, haruslah kausampaikan. Janganlah takut kepada mereka, sebab Aku menyertai engkau untuk melepaskan engkau” (Yer 1: 7-8). Oleh karena itu, kita tidak perlu takut dalam menjalankan tugas perutusan dari Tuhan karena Ia akan menyertai dan memampukan kita dengan rahmat-Nya.
Santo Markus dalam Markus 6: 1-6 mewartakan kepada kita bagaimana Yesus dipenuhi oleh rahmat Tuhan dan berbicara tanpa rasa takut. Tentu saja Dia juga tidak bebas dari penghinaan dan penolakan. Mereka mengolok-oloknya dan menyinggung latar belakangnya sebagai: hanya seorang anak tukang kayu, anak Maria, saudara-saudaranya mereka kenal dengan baik. Dengan kata lain, Yesus bukanlah siapa-siapa di mata orang-orang sekampungnya sendiri. Tetapi yang menarik, dan sekaligus menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita adalah bahwa Yesus tidak kecewa dan putus asa dengan penolakan tersebut. Sebaliknya, Yesus tetap setia berkhotbah dan menyembuhkan orang, baik dari penyakit fisik maupun dari penyakit rohani yaitu dosa. Ia terus memberikan visi baru bagi manusia dengan mengampanyekan nilai-nilai kerajaan Allah tanpa peduli dengan reaksi orang dan ancaman yang diterima-Nya dari musuh-musuh kerajaan Allah.
Pesan penting Sabda Tuhan bagi kita pada hari ini adalah bahwa kita tidak boleh takut menjadi saksi Kristus dalam tugas pelayanan kita masing-masing. Kita tidak pernah akan bebas dari kesulitan. Kita hendaknya menanggungnya dengan setia dan sabar dengan keyakinan bahwa pada waktunya kebaikan akan menang atas kejahatan, kebenaran akan mengalahkan kebohongan dan perdamaian akan menguasai hati manusia. Oleh karena itu, bersama Pemazmur marilah kita senantiasa berseru: “Mata kita memandang kepada Tuhan, sampai Ia mengasihi kita.” (Mzm 123: 1).
Ketika kita menyadari kelemahan kemanusiaan kita di hadapan Tuhan, Tuhan akan menguatkan kita. Kita pasti bisa karena Tuhan.
Selamat Hari Minggu. Tuhan memberkati.