Wed. Nov 27th, 2024
Tri Rismaharini saat bersama Lenis Kogoya (kiri) dan sejumlah mahasiswa di Rumah Dinas Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (20/8/2019). (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/CNN Indonesia)

Oleh Emanuel Dapa Loka, Tinggal di Bekasi

TEMPUSDEI.ID (15 JULI 2021)

Ketika berkunjung ke Balai Wyata Guna, Kota Bandung, Jawa Barat pada Selasa, 13 Juli 2021, Menteri Sosial Tri Risma Harini marah-marah. Pasalnya, ia menilai pimpinan dan pegawai  lembaga tersebut tidak cakap menangani dapur umum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat.

Dalam marah-marahnya itu Sang Mensos berkata, “Saya tidak mau lihat seperti ini lagi. Kalau seperti ini lagi, saya pindahkan semua ke Papua. Saya enggak bisa pecat orang kalau enggak ada salah, tapi saya bisa pindahkan ke Papua. Jadi tolong yang peka,” ujar Risma.

Pernyataan yang diberitakan oleh sejumlah media tersebut dengan cepat mendapat tanggapan, bahkan protes dan kecaman dari berbagai pihak. Mereka menyebut pernyataan Risma tersebut rasis dan mendiskreditkan masyarakat Papua. Ada yang bertanya retoris: “Papua tempat pembuangankah?”

Pengacara Hermawi Taslim melalui pers release-nya malah menilai Risma tidak memiliki wawasan kebangsaan yang cukup sehingga perlu dilemhanaskan. Komnas HAM meminta Risma minta maaf, dan masih banyak lagi.

Atas berbagai tudingan tersebut, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial Harry Hikmat menyampaikan bantahan. Harry bahkan mengatakan, Risma menyayangi Papua sambil menunjukkan berbagai bukti, termasuk ketika masih menjadi Walikota Surabaya, Risma turun tangan saat terjadi bencana di Papua (CNN Indonesia, 14/7).

Lantas, bagaimana memandang dan memahami pernyataan Risma tersebut? Pertama-tama, mari tidak lekas-lekas atau hanya menangkap makna lurus atau literary meaning dari kata-kata yang terucap. Berusahalah juga menangkap pesan yang tersembunyi di balik itu.

Untuk memahami yang tak terucap itu, mari gunakan dua cara pandang. Pertama, siapa pun tahu, alam Indonesia timur, khususnya Papua sangat berat, menantang dan juga misterius. Jangankan untuk orang luar Papua, untuk orang Papua sendiri terasa berat sehingga ketika ada upaya Pemerintah membuka jalan ke daerah-daerah terisolasi misalnya, mereka sangat gembira. Mengapa? Dengan itu mereka mendapatkan berbagai kemudahan dan tidak perlu berjalan kaki berhari-hari.

Belum lagi beberapa bagian wilayah yang terdiri dari rawa-rawa sehingga berbagai penyakit mudah berkembang seperti malaria dan lain-lain. Tidak berhenti di situ, tingkat keamanan di beberapa wilayah masih sangat rawan. Itu baru beberapa contoh saja.

Pada alam semacam inilah masyarakat Papua hidup dan berjuang dengan elan vital  yang tinggi sehingga bisa bertahan hidup dengan berbagai pencapaian yang sangat khas dari Papua. Dari sana lahir sejumlah atlet yang tidak bisa dianggap remeh. Atau muncul sejumlah tokoh berpengaruh. Mereka semua adalah anak kandung alam Papua. Mereka lahir dari rahim Papua dengan berbagai kondisi riil yang menyertai.

Nah! Untuk alam seperti alam Papua, diperlukan orang-orang yang kuat, rajin serta memiliki tingkat dedikasi yang prima.

Dalam konteks alam seperti di atas, jika kata-kata Risma direformulasi, maka muncul rumusan: “Kalau kamu malas-malas, saya pindahkan ke Papua, agar alam Papua mengajari kamu bagaimana menjadi orang rajin”. Sebab setelah dipindahkan ke Papua tetap tidak rajin, maka mereka akan mati atau minimal menderita.

Secara tidak langsung, Risma justru memuji orang Papua sebagai orang rajin, berdaya juang tinggi atau memiliki semangat pantang menyerah. Risma justru mau menggarisbawahi bahwa karena daya juang yang demikianlah, orang Papua tetap eksis. Belajarlah dari mereka.

Cara pandang kedua, dari yang dikenal selama ini atau dari rekam jejaknya, Risma bukanlah tipikal orang yang suka merendahkan orang lain, termasuk Papua berikut masyarakatnya.  Dia justru adalah seorang ibu yang cepat berempati dengan sesama anak bangsa yang menghadapi beban berat dalam kehidupannya. Risma dijuluki Mama Papua.

Meski begitu, harus diakui bahwa Risma adalah sosok pemimpin yang meledak-ledak. Karena sifat ini, kata-kata yang menyertai sikap emosionalnya kerap “kurang terkontrol”. Maka sebaiknya Risma lebih berhati-hati mengendalikan emosinya. Dengan begitu dia lebih tenang sehingga diksinya ketika berbicara di depan publik lebih terkontrol, apalagi kata-katanya akan ditangkap media.

Ingat! Penyampaian pesan melalui media bersifat monolog atau satu arah. Bukan dialog sehingga ada kesempatan melakukan klarifikasi terhadap yang dimaksud dibantu intonasi, mimik atau bahkan bisa memberi elaborasi sejelas-jelasnya secara verbal.

Ingat juga, dalam batas-batas tertentu, dan untuk konteks-konteks tertentu pula, menyinggung Papua memang memerlukan keawasan atau kepekaan tersendiiri. Belum lagi di era ini, siapa pun bisa lekas-lekas memberi penilaian menggunakan Medsos secara “suka-suka”, yang kerap kali membuat orang cepat tersulut.

Untuk kasus tersebut, sebaiknya kita berpikir dengan kepala dingin sambil menyertakan cara berpikir yang positif. Mari mencoba saling memahami dengan tenang, apalagi dalam situasi yang penuh tekanan ini. Sikap emosional yang tidak terkontrol bisa menumpulkan atau malah mematikan daya kreasi dan ketajaman berpikir.*

Related Post

Leave a Reply