BIARLAH TERJADI
Segala yang ada
Semua yang terjadi…
Biar bulan bicara
Biar mentari cerita
Biar bintang katakan
Biar angin kabarkan
Biar bumi mencatat
Biar semesta merekamnya
Tentang hidup dan kehidupan
Tentang darah dan air mata
Tentang sukacita dan tawa ria
Tentang kesulitan dan tantangan
Tentang cinta, kasih sayang dan iri dengki permusuhan
Tentang kebaikan dan kejahatan
Tentang derita, duka lara dan kematian
Tentang yang terlihat dan tersembunyi
Tentang langit, bumi dan semua ciptaan
Tentang kemarin, hari ini dan esok
Biarlah….
Siapa yang peduli
Mencari, menemukan,
memberi makna dan menggapai arti kehidupan
Selama ada waktu
untuk dahaga hati
untuk hausnya jiwa
untuk rindunya rasa
untuk damba nalar
untuk butuhnya raga
Biarlah terjadi dan ada untuk kita semua
MENYULAM NASIB
untuk pujanggawati 99
Di atas sajadahnya harapan dibentang
Lalu jemarinya menari mengelilingi
99 nama terindah Sang Khaliknya,
sambil menyulam nasib dengan mantra suci
agar nasibnya menjadi warna-warni indah
bersemi mengisi hari-hari
Dari purnama ke purnama berikut,
seratus bintang dipetik jadi pernak pernik damba cita
Dari masa ke masa buih ombak gelombang dan wangi bunga,
dirajut dalam rasa dan disemat pada raganya
Antara malam dan siang umurnya,
sudah seribu duri menikam telapak jiwanya,
tubuh nuraninya penuh bilur dibalut dengan selimut tabah
dan sehelai baju senyuman menutupi padang gersang
duka lara yang tak bertepi
Dia terus berjalan mengejar rezeki bermandi keringat
Telapak imannya menyeka wajah,
agar bola mata tak asin dan buram melihat hitam putihnya
jalan serta onak duri berserakan
Ceria suka cita anak adalah matahari
dan bulan purnama menyinari siang malamnya
Air matanya telah kering untuk santapan bocah buah cintanya
Jemari kasih sayangnya terus menyulam nasib,
agar menjadi lembaran tenun makna kehidupan
bagi anak-anak titipan Sang Maha Misteri,
yang dia percaya mempunyai azimat sakti untuk
menghapus air mata menjadi senyum bahagia,
sesuai saat dan takdir IlahiNya Maha Bijaksana
dan Penuh Kasih Sayang,
karena bagi-Nya tidak ada yang mustahil
untuk hambanya yang percaya bersujud penuh taqwa sahaja
Pujanggawati itu terus menulis karya sastra nasib
dalam lembar waktu hingga 99 tahun,
sambil menanti saat ajal menjemput kembali ke Sang Ilahi