Oleh Romo Albertus Herwanta, O. Carm
TEMPUSDEI.ID (22 AGUSTUS 2021)
Kepada manusia Tuhan menganugerahkan kebebasan yang memungkinkannya untuk memilih. Berkat kebebasan itu, dalam arti tertentu, manusia bisa menentukan nasibnya sendiri. Bukan hanya waktu di dunia ini, tetapi juga untuk hidup abadinya; entah bahagia entah celaka selamanya.
Dalam beriman kepada Tuhan pun manusia menggunakan kebebasannya. Allah tidak pernah memaksa manusia untuk percaya kepada-Nya. Hanya segelintir manusia sombong yang memaksa sesamanya untuk percaya kepada Tuhan. Bahkan sering dengan ancaman macam-macam hukuman. Kebebasan dalam beriman itu tampak dalam firman Tuhan.
Yosua yang sudah berusia senja memanggil tua-tua Israel dan berbicara dengan mereka tatkala mereka sudah berada di Tanah Terjanji. Dia menantang mereka untuk memilih antara melayani allah-allah bangsa lain atau menyembah Allah yang esa. Dan bangsa itu berkata, “Jauhlah dari pada kami meninggalkan TUHAN untuk beribadah kepada allah lain. Sebab, TUHAN, Allah kita, Dialah yang telah menuntun kita dan nenek moyang kita dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan, dan melakukan tanda-tanda mujizat yang besar ini di depan mata kita sendiri” (Yos 24: 16-17).
Hal serupa terjadi ketika Sang Guru Kehidupan bersabda bahwa Dialah roti hidup dan barangsiapa memakan tubuh-Nya dan meminum darah-Nya akan memiliki hidup abadi. Sebagian besar orang yang sebelumnya mengikuti Dia karena telah mengalami mujizat pergandaan roti pergi. Meninggalkan Dia. Mereka berpendapat bahwa ajaran itu sangat keras; susah dipahami.
Kemudian Dia menantang murid-murid terdekat-Nya, “Apakah kamu tidak mau pergi juga?” (Yoh 6: 67). Petrus menjawab, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan yang hidup dan kekal; dan kami telah percaya dan tahu bahwa Engkau Yang Kudus dari Allah” (Yoh 6: 68-69). Mereka lebih memilih Sabda yang hidup.
Pola yang sama masih terjadi hingga saat ini. Banyak orang mau percaya kepada Tuhan pada saat mereka mengalami hidupnya diberkati: sejahtera, bahagia dan penuh sukacita. Penganut agama kemakmuran. Tetapi ketika menghadapi kesulitan: bisnisnya bangkrut dan hidupnya dilanda pandemi, mereka pergi. Tidak mau percaya kepada Allah lagi. Menganggap Tuhan tidak peduli.
Apakah Tuhan datang dan memaksa mereka untuk percaya dengan menggunakan ancaman? Tuhan menghargai keputusan bebas manusia. Yang dikatakan-Nya adalah peringatan. Jika manusia mempercayakan dirinya bukan pada Tuhan, hidupnya akan berakhir pada kebinasaan.
Akhirnya, terserah kepada manusia. Apakah dia akan memilih Tuhan atau allah-allah bikinannya sendiri. Iman itu bukan paksaan; tetapi dipilih dan dihayati dalam kebebasan.
Minggu, 22 Agustus 2021