BASIS adalah salah satu Majalah Kebudayaan di negeri ini yang dapur produksinya berada di Kota Pelajar sekaligus Kota Budaya Yogyakarta. Usianya terbilang matang. Tahun ini ia memasuki usia ke-69. Dengan demikian, inilah majalah tertua untuk genre ini.
Sejak awal, media warisan Romo Prof. Dr. N. Driyarkara SJ, L Soebijat, dan G. Vriens SJ ini diikhtiarkan atau dipersembahkan bagi kemajuan kebudayaan di Tanah Air. Karenanya, sejak awal pula, majalah ini konsisten menyajikan berbagai tulisan yang mengajak orang mencintai kebudayaan sambil tetap memperkenalkan cara berpikir kritis agar kebudayaan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Suatu hari, seperti diungkapkan Romo Sindhunata, HB Yasin pernah berkata, “Basis adalah Benteng Pikiran Sehat. Basis setia, dari bulan ke bulan, tahun ke tahun, menemani pembaca untuk mendalami apa yang tersembunyi di balik kenyataan.”
Tidak keliru BASIS mengusung tagline “Jurnalisme Seribu Mata. Menembus Fakta”. Ya, sejak kelahirannya pada tahun 1951, BASIS setia ikut membina kehidupan intelektual di Indonesia. Mula-mula terbit sebagai majalah bulanan. Tercatat, Romo Dick Hartoko SJ paling lama menjabat posisi pemimpin redaksi sekaligus pengasuh Tanda-Tanda Zaman yang sudah menjadi klasik dan tetap dipertahankan hingga hari ini. Sekarang majalah ini terbit dua-bulanan di bawah pimpinan Romo G.P. Sindhunata SJ yang juga piawai menulis tentang sepak bola itu.
Mewarnai Pikiran Kebudayaan
Kehadiran BASIS telah memberikan warna tersendiri dalam merawat pikiran masyarakat Indonesia. Pada usia BASIS yang ke-50, Mochtar Lubis mengatakan, BASIS satu dari sekian majalah kebudayaan yang dapat bertahan hidup lama di Indonesia. Eka Budianta juga menyatakan bahwa BASIS merupakan majalah yang memperlihatkan kesetiaan dan ketekunan bekerja dari bulan ke bulan. Dengan kehadirannya selama hampir 50 tahun, BASIS telah berusaha keras untuk mengembangkan tradisi berpikir yang berkesinambungan di kalangan cendekiawan Indonesia. Keterangan tersebut tersua dalam ensiklopedia.kemdikbud.go.id.
Kini, di era saat masyarakat sangat akrab dengan internet, BASIS tetap terbit dalam bentuk cetak. Untuk apa? Untuk tetap mempertahankan tradisi bergaul dengan bacaan yang mendalam dan serius. Sajiannya tetap berdasarkan kajian serius oleh para penulis yang menguasai bidang yang mereka tulis.
Majalah ini dengan serius mengelaborasi pemikiran para filsuf, budayawan dan pemikir-pemikir besar untuk diwariskan kepada masyarakat baru atau yang sekarang dikenal dengan sebutan kaum millennial. Majalah ini tetap mau merawat laku berpikir serius itu di tengah keengganan zaman untuk membaca dan berpikir serius.
Betapa tidak dikatakan begitu? Banyak pembaca zaman ini yang sudah malas membaca jika mendapati bacaan mencapai dua atau tiga layar androidnya. Mereka mau yang to the point saja, tanpa peduli bagaimana perjuangan atau proses atas sesuatu itu. Proses tidak begitu penting bagi mereka, padahal bagian inilah yang melahirkan daya apresiasi sebagai ciri yang paling khas dari manusia.
Melihat peran BASIS selama 69 tahun, mestinya masyarakat merasa berhutang untuk tetap ikut menyirami dan menyianginya agar majalah ini tetap eksis dan mencerahi masyarakat hari ini. Kita kekurangan bacaan yang mengajak memberi apresiasi.
Saya mendapat bocoran, setelah melampaui perjalanan panjang, pada edisi Mei 2020, BASIS akan terbit dengan sejumlah tulisan dari para punggawa yang tidak asing lagi. Ada artikel Filsafat Nusantara Sebuah Pemikiran tentang Indonesia dari Franz Magnis Suseno, Malala versus Taliban dari Heru Prakosa, Negara Sesudah Pandemi (B. Hari Juliawan), Covid-19: Meditasi Heideggerian Pandemi Covid-19: Penyingkapan Eksistensial (F. Budi Hardiman) Teodise: Di Manakah Tuhan dalam Pandemi? (A. Bagus Laksana), Berkat Virus Corona 19 (C. Bayu Risanto), Memeras Peluh Buruh Angkot di Makassar (Sunardi).
Mari membaca BASIS. Saya tetap membaca BASIS karena hutang budi.
EMANUEL DAPA LOKA
Basis merupakan Majalah Kebudayaan yang luar biasa
Rendah hati,sederhana,terapi tajam dalam melihat kehidupan di negeri ini
.