Fri. Nov 22nd, 2024
Pater Kimy Ndelo, CSsR

Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

TEMPUSDEI.ID (29 AGUSTUS 2021)

Seorang Rabbi Yahudi yang sedang dipenjara di Roma menderita sakit kekurangan cairan atau dehidrasi. Para sipir penjara merasa bahwa minuman yang diberikan setiap hari selalu sesuai aturan dan kebutuhan narapidana. Untuk mengetahui penyebabnya, para dokter memperhatikan kebiasaan sang Rabbi beberapa hari. Ternyata ketahuan bahwa Rabbi ini lebih banyak menghabiskan air untuk mencuci muka dan tangan sebelum doa dan makan ketimbang untuk diminum. Karena itu dia dehidrasi.

Setiap agama mempunyai ritual atau upacara atau tatacara keagamaan. Pada awal mula ritual itu bisa datang dari Tuhan. Tapi lama kelamaan ritual itu ditambahkan oleh manusia sesuai kebutuhan dan kepentingannya. Mungkin awalnya baik, tapi lama kelamaan menjadi berlebihan: bukan lagi sekadar mengatur hidup manusia melainkan mengekang hidup manusia.

Dalam setiap agama juga selalu ditemukan orang-orang yang kecanduan dengan ritual keagamaan. Salah satunya dalam dalam Mrk.7:1-8.14-15.21-23. Yesus berselisih paham dengan para pemuka agama Yahudi karena mereka melihat para murid Yesus tidak membasuh tangan sebelum makan. Hal itu dianggap melanggar ritual keagamaan alias najis.

Yesus tidak menyangkal pentingnya ritual keagamaan dan tata cara yang menyertainya. Ritual keagamaan itu dibutuhkan. Tanpa ritual atau aturan, agama menjadi kacau. Setiap orang bisa mengikuti kemauannya sendiri.

Akan tetapi, ritual bukanlah yang terutama. Ritual melengkapi dan menjaga nilai sebuah agama. Bagi Yesus, ritual agama itu ibarat pagar. Pagar dibuat karena mau melindungi sesuatu. Tanpa itu pagar menjadi sia-sia atau mubazir. Ritual bisa juga dimengerti sebagai kulit. Kulit penting, tapi isi jauh lebih penting.

Apa yang dijaga oleh pagar atau kulit – ritual keagamaan? Yang dijaga adalah relasi atau hubungan dengan Tuhan dan efeknya dalam relasi dengan sesama manusia. Itulah yang jadi isi dari agama.

Ritual mencuci tangan dimaksudkan untuk penyucian diri. Maksudnya luhur. Kesucian luar badan menyimbolkan kesucian dalam badan, yakni hati manusia. Tetapi dalam Hukum Musa itu ditujukan hanya untuk para Imam. Bukan awam. Aturan yang mewajibkan awam mencuci tangan hanyalah tambahan dalam tradisi lisan, yang oleh orang Farisi dianggap setara dengan Hukum Musa. Menurut Yesus, ini berlebihan dan mengada-ada.

Karena itu, kata-kata Yesus, mengutip nabi Yesaya cukup pedas: “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku” (Mrk 7,6).

Perpecahan yang terjadi antar umat dalam satu agama, bahkan umat antar agama seringkali karena mempersoalkan kulit, bukan isi. Kekristenan terbagi-bagi bukan terutama karena isi iman, melainkan lebih karena kulit. Ritual yang berbeda sering justru lebih menjauhkan manusia ketimbang isi imannya.

Begitupun dalam hubungan antar agama yang berbeda. Allah yang disembah sesungguhnya satu dan sama. Yang berbeda adalah nama dan cara menyembah. Itu pun telah menimbulkan perpecahan bahkan permusuhan antar agama yang tiada akhir.

Karena itu sangat penting untuk memahami agama secara mendalam. Ketika orang hanya tahu sedikit ajaran agama, hanya sebatas pagar dan kulit, maka dia akan lebih mudah memusuhi ketimbang mencintai; lebih gampang menemukan saingan ketimbang sahabat; lebih cepat tersinggung ketimbang memahami. Bagi orang-orang, ini asesoris menjadi lebih penting  ketimbang penghayatan dengan hati dan jiwa.

Karena itu jadi orang beragama jangan hanya sebagai penjaga pagar. Jadilah penjaga tanaman karena di situ ada keindahan dan manfaat yang beraneka-ragam.

Salam dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Weetebula, Sumba, NTT

Related Post

Leave a Reply