Baginya, tetap bekerja di kebun usai pensiun adalah sebentuk ucapan syukur atas kehidupan dan usia panjang (75 tahun) dari Tuhan.
Agustinus Matti Nunu nama pensiunan guru SD ini. Acap dipanggil Agus Nunu. Guratan tua dan letih sudah tergambar jelas di wajahnya. Maklum, umurnya sudah terbilang senja. Sudah menginjak 75 tahun pada 19 April lalu. Kadang-kadang sakit menghampirinya, sesuatu yang wajar untuk orang seusia ini. Kadang tensinya tidak stabil.
Istrinya Martha Dada Bili hampir seusia dengannya. Kadang-kadang sakit juga. Tapi jangan tanya dalam hal semangat juang dari keduanya. Tidak ada kata ongkang-ongkang dalam kamus hidup mereka. Mereka tidak mau berpangku tangan begitu saja, meski boleh dikatakan, jika hanya untuk biaya hidup dengan gaya hidup sederhana, gaji pensiun Pak Agus, demikian pria berbadan kurus ini terbilang cukup. Ya, sekali lagi cukup untuk hidup sederhana karena anak-anak mereka sudah mandiri.
Lantas, apa yang Pak Agus Nunu lakukan? Dengan semangat yang tinggi, dia tetap membuka sebidang kebun yang dia tanami kencur. Pagi-pagi pukul 6, dia sudah berangkat ke kebun dengan berjalan kaki menempuh jarak hampir dua kilo meter. Cangkul dan parang menjadi teman setianya. Tentu saja, pagi-pagi buta sang istri sudah bangun menyiapkan sarapan bagi suaminya itu.
Bekerja adalah Bersyukur
Bagi Agus Nunu, tetap bekerja adalah caranya mensyukuri rahmat dan berkat Tuhan padanya. “Bahwa saya masih sehat pada usia begini, ini berkat yang luar biasa untuk saya. Dan berkebun ini adalah bentuk ucapan syukur saya,” ucap kakek dari 8 orang cucu ini. Kadang, saat tiba di kebun dan melihat tanamannya yang hijau dan subur, rasa tidak enak badan yang dia rasakan saat berangkat ke kebun hilang dengan sendirinya.
Pak Agus tentu saja punya irama berkebun yang tidak menyiksa dirinya sebagai orang lanjut usia. Ia sengaja berangkat pagi-pagi agar dia sudah bisa membersihkan kebunnya sebelum matahari terasa panas. Jam 10 dia sudah istirahat dan pulang ke rumah, sore hari sekitar pukul 15 baru berangkat ke kebun. Di saat itu matahari tidak panas lagi dan angin segar pegunungan bertiup perlahan membawa hawa sejuk yang menyegarkan. “Kalau saya baru berangkat jam 10 pagi, ya sudah panas sekali dan saya pasti tidak kuat kerja di terik matahari,” ucap ayah dari 7 anak ini sambil menyeka keringatnya.
Sejak pensiun pada tahun pada tahun 2005, dia tak ubahnya petani tulen. Saban hari ke kebun. Seringkali diminta oleh anak-anaknya agar tinggal menikmati hari tua di rumah. Dia malah mengatakan, berkebun adalah caranya menikmati hari tuanya. “Memang capek, tapi begitulah manusia, harus ada capeknya,” ucapnya ketika ditemui di kebunnya di Ledo, Waijewa Selatan, Sumba Barat Daya, NTT beberapa waktu lalu. Saat itu, tanaman kencurnya, tidak lama lagi akan dipanen.
Ingin Memberi Contoh
Sebenarnya, selain karena alasan tersebut, hal lain yang membuat Pak Agus tetap mau bekerja adalah untuk memberi contoh kepada masyarakat sekitar untuk tekun dalam bekerja. Hampir 99 persen masyarakat sekitarnya adalah petani. Ia melihat, kadang masyarakat kurang tekun dalam berkebun.
Di sekitar kebunnya, banyak juga yang menanam kencur, namun setelah ditanami, kebun jarang diurus atau dibersihkan sehingga tanaman merana. Dari semua kebun kencur yang ada, kebun Pak Agus yang paling luas dan bersih. Ini menyebabkan kencurnya subur dan umbinya besar-besar.
Kepuasan batin Pak Agus terasa paripurna ketika sudah panen. Dari hasil kebunnya tersebut beberapa kali ia justru bisa membantu anak-anaknya untuk mencukupi beberapa kebutuhan. Bahkan bisa menikahkan anak dari hasil kebunnya itu.
Ke depan, masihkah Pak Agus berkebun? “Saya akan tetap mengurusi kebun saya, walau saya juga sadar tenaga saya tidak banyak lagi. Tapi tenaga yang sedikit ini akan tetap saya gunakan, karena itu tadi kerja seperti ini bagi saya adalah ucapan syukur,” ucapnya sambil menggendong cucunya Ade Lard (2 tahun) yang besertanya ke kebun pagi itu.
“Itulah prinsip Bapak dalam bekerja. Kami juga tidak bisa melarang karena Bapak bahagia dengan tetap berkebun,” ucap Korlina, salah satu putrinya. (tD/EDL)