Refleksi atas “Deus est Omnipoten”
Vinsens Al Hayon, Penyuluh Agama Katolik, Kemenag Kabupaten Kupang
Dalam arti tertentu, roh adalah energi rohani yang dasyat, dan secara kodrati-alamiah ada di dalam diri setiap manusia. Energi ini yang menghidupi, menstimulus dan memotivasi untuk meraih sukses dan menikmati keberhasilan.
Dalam suatu “kesadaran tinggi” para Bijak-Saleh merumuskan: roh keberhasilan adalah roh kehidupan. Ia “terberi,”- gift, supaya manusia hidup sepenuh-penuhnya, tumbuh sesehat-sehatnya, berkembang sebaik-baiknya dan berhasil setinggi-tingginya.
Roh keberhasilan datang dari “Yang Empunya Roh.” Ia menghidupi (memelihara, memampukan, mendorong) manusia. Ia adalah rumah dari jiwa (emosi, kehendak dan ratio yang biasa disebut akal budi) dan tubuh atau raga manusia. Karena itulah, dalam filosofi Yunani digariskan bahwa jika roh keberhasilan atau roh kehidupan itu diambil oleh “Yang Empunya Roh,” maka selesailah sudah jiwa dan raga serta segala sukses yang diraih. Inilah thesis logis untuk kehidupan.
Berkaitan dengan suskses, Yuval Noah Harari, sejarawan dan filsuf dari Universitas Ibrani melukiskan, bahwa sukses manusia itu diraih bukan dalam poin “kepuasan” melainkan terletak pada agere (aksi atau tindakan) “mengejar lebih banyak.” Manusia selalu mencari sesuatu; Yang lebih baik, yang lebih besar (kemasyuran), yang lebih nikmat (bahagia, sejahtera) dan glory-keagungan (immortality).
Mendampingi keempat hal yang dikejar manusia, “Yang Empunya Roh” menganugerahkan juga kepada manusia roh hikmat (bijak) untuk menjaga equilibrium, dan biasanya ia berdiri berdampingan dengan sikap tidak puas manusia. Sadar dan pedulikah manusia akan roh keberhasilan dan roh hikmat sebagai sesuatu gift atau anugerah besar?
Belajar dari Runtuhnya Menara Babel
Dalam Kitab Yahudi ada kisah mengenai menara Babel. Kisah itu tersaji jelas dalam Kitab Genesis, 11:1-9, bahwa menara itu didirikan oleh anak-anak manusia dan merupakan permulaan dari usaha mereka. Tujuan mendirikan menara yang puncaknya sampai ke langit adalah untuk memanifestasikan roh keberhasilan dan memberi bukti bahwa rakyat Babylonia memiliki kota, punya (mencari) nama, tidak terserak, dan untuk keagungan.
Dari sejarah kuno diketahui juga bahwa Menara Babel dibangun pada masa Nimrod. Dialah raja kerajaan Babylonia yang berhasil mempersatukan keturunan Nabi Nuh yang terserak-serak usai air bah. Ia seorang pemburu perkasa, mempunyai obsesi untuk memperkuat diri, memantapkan kesatuan dan persatuan kaumnya dan menjadikan dirinya sang mahakuasa (homo deus = tuan atas manusia).
Manifestasi roh keberhasilannya terukir pada karakter kepemimpinanya. Seluruh rakyat perintahkan untuk membangun Menara Babel yang ujungnya sampai ke langit. Kisah akhir Kitab Genesis secara implisit dan eksplisit melukiskan kegagalan besar dalam membangun Menara Babel. Apa penyebabnya?
Menambahkan analisis yang disajikan sejarawan Iggris, Edward Gibbons dan motivator kondang Jansen H. Sinamo, terungkap beberapa sebab utama gagalnya proyek Menara Babel, yakni karena kesalahan teologis, kesalahan sosisologis, kesalahan kosmologis, kesalahan manajemen, dan kesalahan teknologi.
Kesalahan teologis. Menara Babel dibangun sebagai proyek untuk menyejajarkan seorang manusia dengan Tuhan. Ini sungguh fatal karena kemuliaan hanya dikhususkan untuk Tuhan, Deus omnipoten. Namun Nimrod hendak menjadikan dirinya sang mahakuasa dan lupa akan dirinya sebagai homo sapiens yang punya roh hikmat untuk meredam sikap tidak puas/ nafsu berkuasanya.
Kesalahan sosiologis. Mengutamakan inklusivitas dan melenyapkan fraternitas dan egalitas (kesesamaan dan persamaan). Kemartabatan dan kesejahteraan dipilah berdasarkan kuasa dan jabatan dengan didasari pada obsesi tidak berserakan dan merujuk pada paham unity in uniformity (satau dalam keseragaman). Rex est homo deus (raja dalah tuan atas manusia), pengendali tunggal dan utama sedang warga masyarakat adalah budak dan hambanya.
Kesalahan kosmologis. Menara Babel yang bertujuan membangun “kesatuan yang seragam” (unity in uniformity) melawan kodrat alam yakni “kesatuan dalam keragaman” (Unity in diversity). Kerajaan dan kota harus terbangun dari segala unsur simbolik manusiawi yang bersinergi dengan struktur alami dan dalam konteks “Keagungan tertinggi”.
Kesalahan manajemen. Raja itu manusia dan roh kerbahasilan atau kehidupan ada di tangan “Yang Empunya Roh. Ketika sistem komunikasi organisasi rusak melalui pengacauan bahasa, apa lagi yang bisa diutarakan dan dipahami secara bersama. Obsesi untuk memperkuat diri, memantapkan kesatuan dan persatuan kaumnya agar tidak porak-poranda dengan tidak menyadari hadirnya roh hikmat telah menuai hasilnya. Menara Babel runtuh. Keruntuhan itu berakar dan bermula pula dari bagaimana seharusnya raja bersikap, berjejaring dan berkomunikasi terhadap dan dengan rakyatnya dan jajarannya. Etos kerja yang sebenarnya lupa/tidak diterapkan.
Kesalahan teknologi. Sains dan teknologi mereka belum cukup memahami jagat raya dengan segala kedigdayaanya. Walau pada zamannya ter dan bata menjadi temuan mutakhir yang memungkinkan menara dibangun, tetapi semestinya belum cukup jadi andalan.
Konklusi kisah itu untuk kehidupan “organisasi” (keagamaan, sosial, perusahaan, yayasan, koperasi, partai dan negara serta bentuk lainnya). Organisai dalam bentuknya sebagaimana disebutkan di atas dapat dipastikan gagal atau runtuh bahkan sekarat dan mati jika “getah beracun” Babel di atas merembes masuk ke jantugnya dan menyebar ke seluruh organ penting dalam tubuh organisasi.
Jika “menara organisasi” utamakan kemegahan ego pribadi dan kelompok, berjuang tidak untuk kesejahteraan bersama dan bonum commune, menggunakan sistem manajemen yang salah, melancarkan program yang bertentangan dengan hukum-hukum alam serta memakai sistem teknologi yang salah (tidak tepat guna) dan karena kepentingan serta terakhir dan bukan tidak penting, yakni jika terselubung niat menjadi “homo deus” (tuan atas manusia lain), niscaya keruntuhan sudah di pelupuk mata.
Karena itu ajakan untuk kesadaran bersama adalah agungkan roh keberhasilan tanpa melupakan kehadiran roh hikmat. Tujuannya agar tatanan kehidupan manusiawi berjalan seimbang demi menghidupkan usaha manusiawi kita, terutama dalam berorganisasi pada berbagai bentuknya. Mari berwaspada terhadap “getah beracun “Babel”. *