Fri. Nov 22nd, 2024
Usai banjir bandang menerjang

Banjir bandang menerjang wilayah Kampung Wae Sugi-Malapedho, Desa Inerie, Kecamatan Inerie, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat (3/9/2021) malam. Sebanyak lima rumah warga dilaporkan hanyut, dua orang dinyatakan hilang, serta seorang balita berusia empat tahun meninggal dunia.

Atas bencana tersebut, penyair Agust G. Thuru , menyepi sejenak dalam dirinya untuk berefleksi, lalu lahirlah syair ini. Selamat membaca dan ikut berefleksi.

KETIKA MALAPEDHO BERDUKA
Karya Agust G Thuru

Di tepi pantai sejuta ikan
bercengkrama memesona
batu-batu hitam menyiarahi zaman
siput dan lumut batu
menjadi curahan manna
bagi leluhur dan keturunannya

Bibir pantai Waesugi
tanpa siraman butir pasir
bebatuan permadani alam
biarpun disapu gelombang
tiada pernah lenyap
tak dapat hilang
tetap abadi

Seribu lontar tegak tegap
menopang langit biru
roh leluhur yang menjelma
pada berjuta tetes nira
tangan lelaki penyadap
yang meninggalkan kisah
tentang hidupnya yang tegar
tanpa keluh kesah

Di hamparan tanah warisan
tonggak kehidupan ditancapkan
perjanjian cinta disakralkan
membangun istana-istana sederhana
lalu memberi nama Malapedho
dengan upacara dan doa

Malapedho dari hamparan ilalang
menjelmakan detik-detik menjadi menit
mengubah menit-menit menjadi jam
menyatukan jam menjadi hari-hari
memadukan hari-hari menjadi bulan
mengalir kepada tahun-tahun panjang
dalam irama damai tanpa bencana

Malapedho memesona dalam sunyinya
bersama debur ombak laut Sawu
berkerudung awan putih di Poso Inerie*)
ibu alam menopang langit
dalam jelita senyum ramah
tak pernah tersirat amarah
pada para anak cucunya

Malapedho buah cinta
dari leluhur Maghilewa Jere*)
membiarkan hidup terus tumbuh
memijak telapak pada edaran waktu
tanpa lupa kampung utama
tempat ngadhu bhaga*) masih tertahta
bersama jiwa berdiam atasnya
dalam setia dan doa-doanya

Tapak-tapak telah ditatah
di atas tanah pemberi kehidupan
ada selingan gelak tawa dan air mata
ada kelahiran dan peristiwa kematian
tercatat dalam rasa mendalam
penyerahan pada Sang Pencipta
tanpa meninggalkan luka menganga

Malapedho menulis sejarah
pada setiap jiwa raga
sekalipun burung-burung terbang
bersarang di pulau berbatas samudera
tetap merindu terbang pulang
meski hanya tersimpan di hati
Malapedho lembaran hati
yang tersimpan dalam nurani

Malapedho menulis kisahnya
tentang musim kemarau
ranting-ranting mente meranggas
debu coklat mentubuh angin
hingga tiba di musim basah
langit luruhkan hujan
dalam dentang nada ramah

Malapedho menyiarahi waktu
hingga menyusur awal September
deru angin dan gemuruh hujan
merentang hari menuju malam
dalam gulita buana raya
runtuh amarah alam
pecah keramahan langit
melukai semua hati

Malam kelam 3 September itu
menulis sejarah penuh darah
ketika banjir bandang kesasar
menyusur jalannya ke laut lepas
menabrak napas kehidupan
yang kalah bertarung nyawa
dan terpaksa menyerah

Gadis kecilku Milka Tuba
pergi dalam pelukan lumpur dasyat
membiarkan napas terampas
dalam ketakberdayaan
malekat kecil menjadi tumbal
yang harus kami relahkan
pada ganasnya bencana

Jelita Maria Goreti Dhiu
pada ladang rahimnya
mekar benih cinta suci
ia bawa pergi bersama
pada jalan lumpur bebatuan
benam di perut bumi
pada perpisahan kekal
yang tak pernah dirindukan

Perkasa Mikael Jeko
petangguh anak-anaknya
mengasoh di gundukan lumpur
entah di titik mana ia tidur pulas
tanpa kata dan air mata
hilang dalam dekapan alam
yang sedang murka

Malapedho menulis sejarah
tentang bencana mencekam
merampas kehidupan
mengubah gelak tawa
menjadi simfoni air mata
menggores luka mendalam
yang tak mudah disembuhkan

Malapedho berduka
tapi tidak untuk terhempas
Malapedho menangis perih
tapi tidak untuk menyerah
hidup harus berjalan terus
sebab setiap peristiwa
mengajarkan menata hidup
Tuhan dan leluhur menopang

Denpasar, 4 September 2021
Poso Inerie = Gunung Inerie
Maghilewa Jere = Kampung tradisional di lereng gunung Inerie
Ngadhu bhaga = Ornamen budaya warisan leluhur

Related Post

Leave a Reply