Dony Kleden, Rohaniwan dan Antropolog lulusan UGM, berkarya di Sumba-NTT
Sejatinya, sebuah agama hadir sebagai penjaga gawang moral sosial. Karenanya, mau tidak mau, agama hadir dan berpijak pada realitas. Kekudusasan sebuah agama lalu diukur dari sejauh mana dia berpijak pada realitas.
Agama apa pun di dunia ini, hadir dan atau diadakan oleh manusia untuk memberi ingat pada manusia akan tujuan dari kehidupannya, yang di dalamnya ada pandu pemberi arah untuk sampai pada tujuan itu. Artinya, agama adalah sebuah sarana yang mamberi arah sekaligus kesadaran pada manusia. Tetapi agama juga sekaligus sebentuk keyakinan yang dimaterialisasikan dalam sebuah institusi untuk mengorganisir keyakinan itu sendiri. Sampai di sini kita bisa melihat ada ironinya bahwa keyakinan privat seseorang diinstitusikan, yang seharusnya tidak perlu.
Isi dari setiap keyakinan itu adalah kebenaran yang menghidupkan, cinta yang menggairahkan, dan rasa yang menampakkan solidaritas. Agama harus menjadi peneduh sekaligus menghidupkan dan memberi arah pada jalan benar dan suci.
Moralitas Agama
Saya pernah menulis begini di wall FB: “Kalau Tuhan dan agama saya itu mengajarkan, atau bahkan memerintahkan saya untuk membenci dan membunuh sesama saya, maka saya akan berhenti mencari Tuhan dan mempunyai agama”. Tulisan saya ini mendapat reaksi yang sangat positif dari banyak kalangan, dan rupanya semua mempunyai perasaan yang sama dalam melihat dan menilai wajah agama belakangan ini. Tidak banyak orang tahu mengapa saya tiba-tiba menulis demikian, tetapi sesungguhnya tulisan saya ini berangkat dari kemarahan sekaligus kegelisahan saya melihat wajah agama yang semakin tercoreng oleh segelintir orang yang mungkin tidak paham betul keimanaannya, atau juga mungkin karena fanatisme yang sangat irasional yang mengarah pada imoralitas.
Di Indonesia, di negara kita yang berslogankan Bhineka Tunggal Ika dan yang berazaskan pada ketuhanan ini, agama dalam kesehariannya tidak selalu hadir sebagai peneduh dan santun. Agama seringkali hadir dengan wajah yang kasar dan beringas yang tampak dari para pemuka agama (pendakwah atau pewarta) yang sangat provokatif dan berpotensi menghancurkan keadaban bersama. Orang-orang seperti itu ibarat duri dalam daging. Mereka ada, tetapi kehadiran mereka justru mengganggu kehidupan bersama dan cepat atau lambat akan menghancurkan dan membubarkan kebersamaan kita sebagai Indonesia.
Mereka sedang tidak mengajarkan moralitas, tetapi sebaliknya imoralitas. Mereka tidak sedang membawa teduh dan damai, tetapi menabur benci dan permusuhan. Agama pada akhirnya menjadi suatu unsur destruktif dalam hidup sosial. Sangatlah ironis kalau menghina, mencaci maki dan mengutuk orang lain atau bahkan membunuh orang atas nama Allah. Kalau hal ini terjadi, maka agama menjadi momok dan orang malah menjadi takut mengakui dirinya memeluk agama tertentu.
Dengan kata lain, yang diusung oleh agama dalam setiap kehadirnyannya adalah moralitas atau etika sosialnya. Boleh dikatakan bahwa tiang pokok dari ajaran sebuah agama adalah moralitas dan etikanya. Karena itu, ketika moralitas atau etika itu dirongrong oleh kepentingan pragmatis atau motivasi lainnya, maka sesunggunya agama sedang dibunuh.
Agama dan moralitas adalah satu tarikan napas yang saling mengandaikan. Agama tanpa moralitas adalah kebohongan dan moralitas tanpa agama adalah kekosongan. Kita boleh dan bahkan harus membawa orang beragama untuk lebih berorientasi pada kehidupan yang akan datang, tetapi orientasi ke yang akan datang itu hanya mungkin kalau dia tidak melepaskan pijakannya pada realitas kini dan di sini.
Maka menjadi sangat menyedihkan dan sekaligus menyakitkan ketika mendengar pembelaan diri dari Ustad Yahya Waloni yang mengatakan bahwa kasusnya yang terkait penistaan agama itu “hanyalah masalah kecil, sebab hanya menyangkut etika dan moral”.
Kita menjadi sedih dan prihatin karena seorang ustad seperti ini tidak pernah memahami bahwa pokok dari semua ajaran dan aturan agama itu tidak lain dan tidak bukan adalah moral dan etika. Kita juga menjadi sedih dan prihatin bahwa seorang Ustad—maaf sebenarnya saya sendiri juga agak berat hati menyapa dia ustad—tidak memahami apa yang harusnya ia dakwahkan atau ajarkan pada umat atau jemaatnya kalau bukan ajaran moral dan etika? Kita juga menjadi semakin prihatin karena sudah begitu banyak umat atau jemaat yang terjangkit virus fanatisme irasional yang berpotensi menciptakan imoralitas. Bagaimana mungkin hal ini dianggap sebagai masalah kecil?
Tetapi ketidakpahamannya ini terjawab dalam seluruh dakwahnya selama ini yang cenderung memprovokatif dan menebar kebencian serta penghinaan yang tidak ada ujungnya. Kita juga menjadi semakin paham kapasitasnya sebagai seorang ustad yang ternyata tidak mempunyai misi moral di setiap dakwah dan ajarannya. Padahal moral harusnya menjadi kata kunci di setiap dakwah, mengingat intisari dari semua ajaran agama dan kitab suci adalah moral itu sendiri.
Karena itu, siapa pun yang mengakui dirinya seorang yang beragama, tetapi pada saat yang sama menafikan moral dalam hidupnya, sesungguhnya dia adalah seorang pendusta agama. Kiranya ini selalu menjadi kesadaran setiap umat beragama, bahwa moralitas dan etika harus selalu menjadi pandu bagi arah hidup kita. Tanpa moralitas dalam beragama, agama akan kehilangan jati diri dan arahnya.
Kedalaman moralitas itu terletak pada penghayatan bahwa Tuhan yang serba Maha itu akan semakin kaya dipahami dan dihidupi dalam kehidupan sosial yang sangat humanis, di mana setiap kita selalu mengedepankan cinta dan kedamaian untuk membangun kebaikan bersama. Inilah tanggung jawab sosial dari agama yang tidak boleh kita lupakan. Kesucian sebuah agama terbukti dari penampakan kehidupan moral sosialnya, kini dan di sini.*