Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
TEMPUSDEI.ID (24 OKTOBER 2021)-Seorang Pastor misionaris hidup di sebuah daerah pedalaman Tanzania, Afrika, selama bertahun-tahun. Dia hidup di tengah orang-orang berkulit hitam. Dia berbicara dalam bahasa mereka, makan makanan mereka.
Suatu hari seorang pegawai pemerintahan Inggris tiba di daerah itu dalam rangka kunjungan dinas. Anak-anak Tanzania berlari menyambut tamu dengan gembira sambil bernyanyi, bertepuk tangan dan menari.
Setelah pegawai itu pergi, anak-anak bercerita kepada pastor itu: “Kami melihat orang putih! Kami melihat orang putih!” Beberapa dari mereka berkata bahwa itulah saat pertama kali mereka melihat orang asing berkulit putih pertama kali.
Pastor itu sangat kagum sekaligus heran. “Tapi saya juga seorang kulit putih. Saya juga orang asing. Saya sudah hidup dengan kalian di sini bertahun-tahun”, kata pastor. Serempak mereka menjawab: “Tidak. Engkau bukan orang kulit putih. Engkau adalah Yesus. Engkau adalah Bapak kami”.
Minggu Misi Sedunia mengingatkan kita bagaimana seorang menghidupi imannya sedemikian rupa sehingga yang dilihat orang bukan lagi pribadi orang itu, tetapi Tuhan Yesus dan Allah Bapa yang sungguh hidup.
Kisah tentang penyembuhan Bartimeus dalam Injil hari ini (Mark 10, 46-52) bukan sekadar mukjizat yang luar biasa. Ini adalah kisah kesaksian Yesus akan kebaikan Allah dan iman seorang buta yang begitu dalam. Dalam seruan Bartimeus: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku”, terkandung iman dan pengharapan akan kebaikan Allah.
Seruan Bartimeus ini lalu menjadi doa tobat yang digunakan dalam ekaristi dan ibadat lainnya: Tuhan kasihanilah kami.
Kebaikan Allah itu pertama-tama harus dilihat dan dialami orang. Misi Yesus adalah membuat orang melihat siapa Allah melalui karya-Nya yang ajaib.
Bahwa Bartimeus kemudian melihat banyak hal lain, itu wajar karena memang fungsi mata secara fisiologis memang demikian. Tapi Yesus tidak hanya memaksudkan penglihatan fisik. Yesus ingin agar Bartimeus melihat Allah dan melihat siapa Dia yang memulihkan penglihatanya. Yang paling penting bagi Yesus bahwa orang itu kemudian, “mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya” (Mark 10,52).
Gereja dari kodratnya adalah Gereja yang misionaris. Demikian ditegaskan dalam Konsili Vatikan II. Dan Yesus adalah misionaris pertama. Dialah yang membuat orang mampu melihat siapa Allah.
Bagaimana melaksanakan tugas ini? Mahatma Gandhi dari India mengatakan, “hidupku adalah pewartaanku”. Dia bahkan sering menantang orang Kristen agar menghidupi “kerasulan mawar” (apostolate of the rose). Mawar tidak berkhotbah. Mawar hanya menyebarkan keharumannya dan memperlihatkan keindahannya yang menarik perhatian banyak orang.
Maka yang paling penting bukanlah bagaimana berkhotbah tentang Injil, tetapi menghidupi Injil dalam keseharian. Ini adalah cara pertama pewartaan Injil dan akan terus menjadi cara yang paling efektif.
Melihat cara kita hidup, orang akan melihat Tuhan dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Saat itulah tugas misionaris kita berhasil. Itulah keberhasilan misionaris di Tanzania dalam kisah di atas. Bagaimana dengan kita?
Salam dari Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba, NTT