Simply da Flores, Alumnus STF Driyarkara Jakarta
Sejarah Gereja Katolik dan sejarah NKRI saling berhubungan, karena umat Katolik yang ada di tanah air ini adalah juga warga NKRI, bagian integral bangsa Indonesia.
Ketika merefleksikan peran serta Gereja Katolik dalam perjalanan sejarah NKRI, maka bisa dikatakan sebagai refleksi, bagaimana gereja Katolik berperan serta dulu, sekarang dan ke depan dalam perjalanan bangsa ini?
Satu Pribadi dalam Dua Konteks
Setiap pribadi orang Katolik adalah warga Gereja dan sekaligus warga negara Indonesia. Namun, ada perbedaan konteks dan makna. Sebagai warga Gereja, setiap orang Katolik secara total, berdasarkan prinsip iman, adalah umat Allah yang sedang berziarah di tengah dunia. Pribadi orang Katolik dipanggil dan diutus Allah ke tengah dunia untuk menjadi garam, ragi dan terang dalam nama Yesus, Sang Kepala Gereja dan umat sebagai anggota Gereja. Masing-masing pribadi orang Katolik, sesuai dengan bakat dan talentanya, menjalankan tugas panggilan hidupnya di dunia ini, bersama anggota gereja yang lain, dan di tengah sesama manusia dari berbagai latar belakang agama, adat budaya, negara dan profesi.
Gereja adalah persekutuan umat yang hidup karena percaya dan bersatu dengan Kristus Yesus, Sang Juru Selamat, sebagai kepala gereja, berziarah di tengah dunia menuju surga.
Karena itu, sangat berbeda cakupannya bagi pribadi seorang Katolik sebagai warga negara. Sebagai warga negara, ikatannya adalah soal legalitas kewarganegaraan, ada dalam wilayah Negara ini, dan mengakui otoritas sosial ekonomi politik keamanan dari NKRI. Ini karena kesamaan cita-cita politik serta hak dan kewajiban bernegara.
Jadi, ruang lingkupnya sebatas relasi legal formal, bukan totalitas diri atas dasar iman, dengan dimensi spiritual dan eskatologis.
Aspek iman dan dimensi eskatologis melampaui wilayah negara, pulau dan benua, serta adat budaya. Dasar relasinya pun berbeda. Menjadi anggota gereja karena iman dengan totalitas dimensi pribadi, sedangkan menjadi warga negara sebatas legal formal sosial politis dari beberapa aspek pribadi untuk urusan manusiawi dunia.
Aneka Peran dan Bentuk Partisipasi
Sebagai anggota Gereja, setiap orang Katolik memilik profesi dan status sosial berbeda-beda. Dalam organisasi gereja pun, ada pembagian kelompok, yakni sebagai umat dan sebagai pejabat hierarki gerejawi. Ada juga pilihan hidup sebagai umat awam atau religius (biarawan-wati) dengan berbagai tarekat dan ordonya.
Dalam konteks Gereja Katolik yang demikian, maka peran seorang umat Katolik pun berbeda-beda, dalam kehidupan sehari-hari. Peran dan profesi itu termasuk dalam statusnya sebagai warga negara. Ada orang Katolik yang berprofesi sebagai petani, nelayan, buruh, pendidik, jurnalis, pebisnis dan aneka jenis pekerjaan masyarakat sipil lainnya. Ada umat Katolik yang menjadi Aparatur Sipil Negara, aparat keamanan (TNI dan Polri) dan pejabat negara, serta ada yang menjadi penegak hukum dan Legislatif.
Baik para hierarki – pejabat gereja, para religius dan umat Katolik, semuanya hidup di tanah air ini sebagai warga negara. Maka semua profesi dan aktivitas kerjanya setiap hari adalah bentuk partisipasi aktif dan peran nyata sebagai warga negara. Umat Katolik, sadar maupun tidak sadar, kehidupan sebagai warga negara adalah bagian penting dari totalitas pribadinya sebagai anggota Gereja Kristus Yesus.
Umat Katolik memiliki beraneka profesi dan peran, serta rupa-rupa karunia dan tugas panggilan. Tetapi tetap satu kesatuan sebagai anggota gereja, di mana Kristus Yesus adalah kepala gereja.
Banyak nama orang Katolik yang dikenal sebagai pahlawan bangsa dalam sejarah perjuangan mendirikan NKRI, maupun dalam mengisi kemerdekaan hingga saat ini. Kita bisa baca dalam sejarah gereja Katolik di Indonesia.
Kehidupan pribadi sebagai seorang Katolik, anggota Gereja Kristus adalah bukti nyata peran sertanya sebagai warga negara dalam kehidupan setiap hari.
Karena itu, hemat saya, apa pun profesi dan status sosial seorang Katolik, jika dilakukan dengan baik dan tanggungjawab, maka sudah menjamin peran serta aktifnya sebagai warga negara. Dengan mengamalkan iman dan melakukan hukum agama Katolik, pasti sudah menjamin patriotisme dan nasionalisme seorang Katolik sebagai warga negara Indonesia.
Ajaran hukum cinta kasih, mencintai Allah dengan segenap jiwa raga dan mencintai sesama seperti diri sendiri, maka otomatis kewajiban dirinya sebagai warga negara pasti sudah mampu dipenuhi dengan maksimal, sebagaimana yang diatur dengan hukum negara.
Menjadi Garam, Ragi dan Terang
Sebagai orang Katolik, warga Gereja Kristus, setiap pribadi ditugaskan untuk mengamalkan hukum cinta kasih dengan berperan sebagai garam, ragi dan terang.
Sebagai Garam, orang Katolik dalam profesi dan totalitas pribadinya harus memberikan manfaat seperti garam bagi sesama di mana pun. Kehidupan pribadi setiap orang Katolik harus bisa melayani, mewartakan, solidaritas sosial, dan memberikan keselamatan bagi sesama atas dasar hukum cinta kasih.
Hal yang sama, juga dengan peran sebagai ragi dan terang. Sikap hati, cara berpikir, perkataan dan perbuatan sebagai orang Katolik harus bisa memerankan diri sebagai garam, ragi dan terang atas dasar hukum cinta kasih.
Jika peran itu dilakukan, hukum cinta kasih ditaati dan diamalkan, maka sudah pasti kewajiban sebagai warga negara dapat dipenuhi oleh seorang Katolik; apa pun profesi dan jabatannya dalam negara ini.
Partisipasi aktif dan peran Gereja Katolik juga bisa dilihat dalam dunia pendidikan, kesehatan, pengembangan SDM, media informasi dan komunikasi, juga dalam ekonomi dan politik. Sangat banyak contoh, namun seperti garam dan ragi, tidak kelihatan fisiknya. Lebih diutamakan hasil, manfaat dan dampaknya bagi kehidupan manusia, juga bagi kebersamaan sebagai bangsa dalam bingkai NKRI.
Karena itu, hemat saya, untuk ke depan, memang perlu lebih ditingkatkan peran Gereja Katolik sebagai warga negara, dalam membangun kesejahteraan dan keadilan bagi bangsa negara Indonesia. Caranya, adalah semakin menghayati tugas perutusan iman sebagai garam, ragi dan terang sesuai dengan profesi masing-masing dalam hidup sehari-hari.
Kekhasannya adalah, perbuatan dan kehidupan berkualitas dalam tugas perutusan itu, bukan karena takut pada peraturan negara, tetapi karena penghayatan iman melaksanakan Hukum Cinta Kasih. Dalam konteks ini, bisa disebutkan ungkapan bahwa setiap orang Katolik di Indonesia adalah “100% warga Gereja dan 100% warga negara.”*