Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Pada tanggal 12 Maret 1977, seorang imam muda Yesuit, Pater Rutilio Grande, ditembak mati di jalan di El Salvador. Dia dibunuh karena banyak menolong orang miskin dan berbicara melawan pemerintah yang secara brutal menindas dan membunuh ribuan orang-orang tak bersalah, rakyatnya sendiri.
Kematiannya memberi dampak besar buat sahabatnya, Uskup Agung San Salvador, Mgr. Oscar Romero. Dia berkata, “Ketika aku memandang Rutilio berbaring mati di sana, aku berpikir, ‘Jika mereka telah membunuh dia untuk apa yang telah dia buat, maka aku juga harus melangkah di jalan yang sama’,”.
Dia lalu menjadi orang terdepan yang bersuara keras melawan kekerasan dan kebrutalan pemerintah. Dalam kurun waktu tiga tahun sekitar 50 orang imam diancam, ditekan, bahkan enam di antaranya dibunuh. Para suster yang bekerja untuk orang-orang miskin pun mengalami tekanan yang sama.
Pada tanggal 24 Maret 1980, malam hari, seorang tak dikenal masuk di kapela rumah sakit Divina Provindecia, ketika Uskup Romero sedang merayakan Misa di altar. Dia ditembak dari jarak dekat dan tewas seketika. Kematiannya yang tragis membangkitkan kemarahan dan simpati dari seluruh dunia.
Pembawa Perdamaian
Dalam Misa pemakamannya, Kardinal Ernesto Corripio Ahumada, yang mewakili Paus Yohanes Paulus II, mengatakan bahwa Uskup Oscar Romero adalah “seorang yang dicintai, pembawa perdamaian”. Darahnya akan memberikan buah untuk persaudaraan, cinta dan perdamaian. Tanggal 14 Oktober 2018 dia digelari Santo dan Martir oleh Paus Fransiskus.
Injil hari ini berbicara tentang pewartaan Yesus di Sinagoga di Nazaret, tempat dia dibesarkan. (Luk 4,16-20). Liturgi Sabda di Sinagoga berdasarkan tujuh bacaan. Empat bacaan pertama diambil dari Kitab Hukum yang disebut Taurat atau Pentateukh. Bacaan ini lalu dijelaskan oleh seorang rabbi atau guru hukum taurat. Tiga bacaan berikutnya diambil dari kitab para nabi dan bisa dibacakan serta dijelaskan oleh siapa saja, yang penting dia pria berusia di atas 30 tahun dan sudah disunat. Itulah yang menjadi alasan mengapa Yesus bisa membaca dan menjelaskan tulisan dari Kitab Nabi Yesaya (61: 1-2a).
Titik pijak Yesus bukan pengetahuan akan agama atau Taurat. Yang jadi kekuatan Yesus adalah bahwa Dia berada “dalam kuasa Roh” (Luk 4: 14). Kuasa Roh yang menaungi memampukan Dia untuk menafsirkan dan mewartakan pesan Kitab Suci yang dibaca-Nya. Kuasa roh ini juga yang menyadarkan Yesus akan siapa diri-Nya dan bahwa Dia perlu menyatakannya kepada banyak orang; dia adalah Mesias artinya “Yang diurapi”.
Dalam melaksanakan tugas-Nya, Yesus mengidentifikasikan diri sebagai “Hamba Yang Menderita” (Yes 42:1-14), yakni seorang yang membawa kabar baik bagi orang miskin, memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan kepada orang-orang buta, baik secara simbolis maupun secara nyata. Karya ini bermula di suatu tempat bernama Nazaret dan akan menyebar ke seluruh dunia, di manapun Sabda Allah diperdengarkan dan dipahami.
Kehadiran Yesus dengan pesan-pesan tegas dan menantang membuat dia menjadi orang yang “berbahaya”. Dia berbahaya bagi kemapanan hidup keagamaan dan hidup sosial yang seringkali tidak adil. Dia berbahaya bagi mereka yang merasa nyaman dengan segala privilege dan kemewahan yang dimiliki, karena mereka akan diusik untuk peduli terhadap orang-orang di sekitarnya. Dia berbahaya bagi pemerintah yang lalim dan tidak jujur karena Dia akan menantang kehormatan dan kuasa mereka untuk turun dan melayani mereka yang memilihnya. Karena itulah Yesus lalu dibenci dan hidup-Nya berakhir di Salib.
Sampai saat ini, Injil tetap akan berbahaya bagi mereka yang hidup dalam dunia dan suasana yang sama. Injil yang disampaikan dengan kebenarannya yang hakiki akan selalu menggugat siapa pun yang jauh dari semangat “kabar gembira”. Injil ini akan terus menjadi “Yesus yang hidup” dengan suara dan pesan yang sama.
Siapa pun bisa menjadi Uskup Romero atau Rutilio Grande yang sama karena Injil yang dihidupi dan Yesus yang diteladani adalah sama dan satu.
Karena pembaptisan, setiap orang sudah dinaungi kuasa Roh. Hanya perlu sedikit keberanian untuk melangkah di jalan yang sama dengan mereka. Yang sedikit ini terkadang sulit ditemukan.
Salam Pembebasan dari Wisma Sang Penebus Nandan, Yogyakarta