Oleh Anthony Dio Martin
Di tepi suatu pelabuhan, ada seekor camar aneh yang selalu mencari ikan jauh dari kerumunan camar-camar yang lainnya. Umumnya, camar yang lain, hanya menunggu perahu nelayan tiba dan merekapun memakan ikan-ikan yang dibuang oleh para nelayan. Makanya, si camar yang aneh itupun ditertawakan kawanannya. “Kerja yang cerdik. Kalau bisa makan dari ikannya nelayan, mengapa harus mencari jauh-jauh”. Namun, si camar yang aneh nan bijaksana itu masih tetap berusaha terbang jauh ke laut dan mengambil ikan di sana. Ia pun mencoba menikmati terbang dan ikan yang segar yang bisa ditangkapnya. Ternyata, setelah bertahun-tahun, lokasi nelayan tempat para camar mencari ikan ditutup. Maka, para camarpun kebingungan. Banyak yang mati karena tidak tahu caranya mencari ikan di lautan. Kini, mereka tidak lagi menertawakan si camar aneh, yang selalu terbang ke lautan mencari ikan-ikan yang segar!
Kisah di atas mirip dengan sebuah pengalaman nyata di sebuah perusahaan. Ada seorang karyawan yang selalu berusaha mengerjakan proposal dan laporannya dengan rajin. Padahal, teman-temannya hanya cut dan paste. Ia pun ditertawakan. Menurut temen-temannya, ia kerajinan dan tidak bekerja “smart”.
Suatu ketika, pada saat dilakukan assessment untuk promosi, salah satu ujiannya adalah membuat dan analisis report. Ternyata, banyak temannya yang kelabakan. Si karyawan yang telah terbiasa membuat laporan dan analisisnya, mendapatkan hadiah dalam bentuk promosi.
Begitulah, kisah-kisah di atas seakan menantang lagi keyakinan sekarang di mana banyak orang berprinsip, “Nggak usah kerja keras, yang penting adalah kerja cerdas”. Namun, terkadang pepatah ini menjadi semacam pembenaran atas kemalasan dalam bekerja. Akibatnya, kemalasanpun seolah-olah mendapatkan nama baru dalam bentuk “kerja cerdas”. Dan dengan demikian, banyak orang pun menilai kerja keras tidaklah lagi relevan dengan pekerjaan sekarang.
Memang sih, diperlukan kerja yang cerdas agar kita tidak terus-terusan bekerja seperti robot tanpa melakukan perbaikan. Namun, kerja keras atau yang biasa kita katakan “rajin” tetaplah masih relevan. Mengapa? Inilah beberapa alasan mengapa kerja yang rajin masih perlu dilakukan.
Mengapa Perlu Rajin?
Pertama. Kerajinan adalah induk dari prestasi. Setiap prestasi yang luar biasa selalu dimulai dari kerajinan berlatih ataupun ketekunan untuk terus-menerus melakukannya. Kalau kita bertanya pada semua atlet, artis atau penampilan yang luar biasa, pastilah di baliknya adalah kerajinan untuk berusaha berlatih dan sabar dalam belajar. Mereka adalah orang yang terbukti kerajinannya.
Kedua. Kerajinan membuat otot-otot kita terlatih. Di balik kerajinan, sebenarnya adalah seperti latihan fisik di lapangan ataupun di tempat gym. Pada saat dengan rajin kita melakukan pekerjaan ataupun menuntaskan tanggung jawab kita, sebenarnya ada otot mental yang kita latih pula. Tak heran Bruce Lee pernah mengatakan, “Saya lebih takut dengan orang yang berlatih 1 tendangan 1000 kali daripada yang berlatih 1000 tendangan 1 kali saja”. Kerajinan akan melahirkan kekuatan mental yang luar biasa, khususnya pada saat menghadapi tantangan ataupun masalah.
Ketiga. Kerajinan juga membuat kita lebih percaya diri. Pada saat kita mencoba rajin mengerjakan sesuatu, mungkin kita akan membuat berbagai kesalahan dan kegagalan. Tetapi, justru pada saat itulah kita sebenarnya sedang berlatih dan membuat diri kita semakin percaya diri dengan apa yang dilakukan. Sebagai contoh, kini banyak bentuk kursus dan latihan di sekolah tempat murid dilatih dengan cara meningkatkan kerajinannya dalam berlatih soal-soal tes. Semakin rajin berlatih, semakin mereka akan lebih percaya diri dalam melewati tes yang akan dihadapinya.
Agar Tetap Rajin Tatkala Merasa Malas
Pertanyaan yang seringkali muncul adalah bagaimana caranya agar kita bisa tetap rajin tatkala kita merasa malas sekali untuk melakukan apa pun? Untuk ini, bangun perasaan senang ataupun rasa sakit. Pikirkan dan rasakanlah: bagaimana rasanya kalau suatu pekerjaan bisa diselesaikan. Sebaliknya pula apa jadinya kalau tidak selesai dan pekerjaan itu terus-menerus mengejar kita. Bayangkan betapa tersiksanya?
Terkadang, kita pun menjadi malas dan tidak melakukan pekerjaan karena kita membayangkan kerjaan yang terlalu rumit dan susah. Nah, caranya terbaik adalah dengan memecah-mecahnya menjadi beberapa bagian kecil yang lebih masuk akal untuk dikerjakan.
Selain itu, supaya tetap rajin melakukan sesuatu sebaiknya kerjaan dilakukan saat masih ‘hangat’. Ini seperti prinsipnya pandai besi, “bengkokkan besinya selagi masih panas”. Artinya, sebaiknya pekerjaan dilakukan tatkala pikiran kita masih hangat dan semangat terkait kerjaan itu masih besar. Semakin lama menunda, justru akan membuat energi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan jadi semakin besar.
Anthony Dio Martin adalah “Best EQ trainer Indonesia”, direktur HR Excellency, pembicara, ahli psikologi, penulis buku-buku best seller, host radiotalk di SmartFM. Website: www.anthonydiomartin.com dan IG: @anthonydiomartin