JAYAPURA, TEMPUSDEI.ID-Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII), Persekutuan Gereje-gereja di Papua (PGGP), Persekutuan Gereja-gereja di Papua (PGGP) dan Wahana Visi Indonesia (WVI) menyelenggarakan Workshop Membangun Paradigma Inklusif (MPI) dengan tema “Api Injil Terus Menyala dari Tanah Papua” di Hotel Horison Ultima Entrop, Jayapura, Papua (23-25/2).
Pelatihan MPI yang ketiga kalinya ini menghasilkan program turunan berupa 5 program unggulan dan prioritas yang terdiri dari 2 program Pendidikan, yaitu Integrasi Sekolah Minggu dan PAUD melalui program pembekalan guru Sekolah Minggu dan PAUD, dan Program Penggalangan Pendanaan.
Sedangkan bidang ekonomi, membuat 2 program unggulan dan prioritas yaitu pendataan pemberdayaan ekonomi jemaat dan pedagang di pasar Youtefa. Sedangkan program unggulan penanganan isu-isu sosial antara lain penanganan 60.000 pengungsi dan pembangunan shelter (penampungan sementara untuk para pengungsi) masyarakat korban konflik.
Workshop MPI dibuka oleh Ketua II PGGP Pdt. Metusaleh P.A Maury S.Th. Maury berharap peserta workshop bersemangat dan menghasilkan program turunan dari rekomendasi Hari Pekabaran Injil (HPI) dengan perspektif MPI.
HPI yang diperingati ke-167 menjadi titik tolak bagi PGGP membangun semangat iman, ketahanan pengharapan dan jangkauan kasih yang meluas, melintas batas.
Nuansanya nampak dalam hasil keputusan dan rekomendasi konferensi para pemimpin gereja dalam rangkaian HPI. Workshop MPI merupakan bagian dari rangkaian HPI yang menegaskan bahwa kehadiran gereja-gereja Papua sebagai umat Allah yang dipanggil untuk menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah yang dinampakkan dalam kepeduliaan untuk berkontribusi dalam menyelesaikan masalah pendidikan, ekonomi dan isu-isu sosial di Papua.
Salah satu masalah utama yang dalam penyusunan program adalah belum terintegrasinya antara Sekolah Minggu dan PAUD yang tidak integratif disebabkan oleh berbagai akar masalah perbedaan doktrin, kurangnya dukungan stakeholder dan minimnya pendanaan, serta belum adanya system rekrutmen, kurikulum dan sebagainya.
Penyusunan program lainnya di bidang ekonomi dan isu-isu sosial terkait dengan penanganan pengungsi juga menggunakan alat analisa MPI.
Pada akhir workshop, selain diisi dengan komitmen para peserta untuk melanjutkan MPI ke tempat pelayanan masing-masing, juga terucap komitmen bersikap inklusif. “Saya berjanji untuk bersikap inklusif terhadap siapa saja,” ungkap Pdt. Johny Sugianta S.Th yang diungkapkan dalam tulisan komitmennya.
Demikian juga diekspresikan oleh Pdt. Yan Braher Tomasoa “Saya berkomitmen mulai hari ini akan mulai terbuka dan melibatkan banyak pihak dalam pelayanan saya, serta menggunakan analisa sosial untuk melakukannya”.
Peserta diteguhkan oleh Firman Tuhan yang disampaikan oleh Sekretaris Umum PGLII Pdt. Tommy Lengkong M.Th tentang tema “Hidup yang Berguna Bagi Sesama”.
Membuka Simpul Terikat
Pengajar STT Baptis Papua Maryam Deda mengaku bersyukur dengan modul dan materi MPI yang menjawab kebutuhan di Papua. “Pelatihan ini menolong kami sebagai peserta untuk lebih tajam dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang ada, mencari akar persoalan hingga bertindak memberikan kontribusi nyata dalam lingkup pengaruh kami.”
Materi dan refleksi Alkitab dalam Pelatihan MPI berbicara tentang bagaimana peserta harus bersikap, menciptakan situasi dan suasana harmoni di tengah kemajemukan, baik dalam kehidupan bertetangga, maupun dalam tugas dan pelayanan sebagai pengajar di STT. “Materi ini mempertajam saya untuk menjadi pendidik yang high impact bagi para mahasiswa.”
“Saya berharap, Pelatihan MPI yang mengubah pola pikir, sikap dan tutur kata ini dapat berdampak di tengah situasi Papua yang rumit dan penuh persoalan. Dimulai dari kita yang mengalami pembaharuan dalam Kristus dan menerapkan nilai-nilai Kerajaan Allah itu di semua dimensi kehidupan.”
Maryam meyakini HPI ke-167 akan menjadi catatan bagi gereja untuk tidak memikirkan diri sendiri, melainkan berkolaborasi dalam proses menciptakan Papua yang lebih baik ke depan. Api injil tetap menyala dari Tanah Papua, dimulai dari Orang Papua mengalami transformasi, lalu hidup dalam harmoni dan kemajemukan yang ada di dalam Bangsa ini. Semuanya itu bertujuan untuk menjadikan suasana yang lebih baik dan memberkati orang lain di berbagai tempat.
Sementara itu, Ketua Gereja Pentakosta di Papua Pdt. Dr. Robert Marini M.Th., mengatakan bahwa sejak HPI hingga workshop sangat baik dan berguna. “Saya bersyukur bisa berdampingan dengan teman-teman dari denominasi lain dan para tutor dari Jakarta. Hal ini sesuatu yang luar biasa, membuka paradigma serta kapasitas baru dalam pergerakan oikumene demi pembaharuan gereja.”
Rangkaian peringatan HPI ke-167 seperti sebuah revival karena wacana-wacana yang sudah direncanakan sejak 20 tahun lalu, seperti pendirian Papua Christian Center kini bisa ditindaklanjuti dan diaktualisasikan bersama PGGP. Marini optimis bahwa hal tersebut akan menjadi suatu momen kebangkitan baru di tengah gejolak pandemik global, serta kondisi Indonesia yang multi suku, budaya dan agama.
Terlebih lagi, pemerintah bersinergi dengan PGGP dan Gereja. “Ini sesuatu yang belum pernah kita lihat, dan Ketua DPR Papua sendiri yang menjadi Ketua Panitia HPI”. Kesempatan ini dinilai sebagai kesempatan dari Tuhan yang harus dimanfaatkan oleh gereja-gereja di Papua demi keberlangsungan generasi mendatang.
“Kebangkitan gereja ini bukan sesuatu yang kecil, namun dengan adanya rekomendasi HPI melalui konferensi yang juga diperdalam melalui Workshop MPI ada suatu kekuatan baru yang luar biasa. Kami sangat berterima kasih pada para fasilitator yang sangat akrab seperti keluarga dan setia mendampingi dalam Lokakarya MPI sehingga para peserta dapat mengeksplor sejauh mana masalah-masalah di Papua dapat diselesaikan. Harapan saya, PGGP dapat terus membuat kegiatan-kegiatan seperti ini setiap tahun sehingga dapat lebih mempertajam para hamba Tuhan dalam proses pengambilan keputusan yang adil dan cermat.”
Hal senada disampaikan Wakil Ketua II STAKPN Sentani Pdt. Dr. Alfius Aninam. “Saya bersyukur untuk kegiatan Workshop MPI yang luar biasa dan telah berkontribusi besar kepada kami sebagai pimpinan-pimpinan perguruan tinggi dan gereja di Tanah Papua. Ini menjadi masukan berharga bagi kami. Kadang kita cenderung memikirkan program besar, namun hasilnya tidak maksimal.
Melalui pelatihan ini, diperkenalkan cara dan metode dalam mencari solusi dan aplikasi untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Terima kasih untuk penyelenggara dan para fasilitator MPI yang luar biasa maksimal memberikan bekal pemikiran inklusif sehingga para peserta mampu menjembatani dan menghadirkan kerajaan Allah bagi semua masyarakat di Papua dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, dan sebagainya.”
“Harapan kami, kegiatan ini terus dilaksanakan agar semakin banyak orang yang ditolong untuk berpikir secara komprehensif dan lebih metodis sehingga mampu menangani persoalan-persoalan di Papua”.
Pdt. Reinhard Jefri Berhitu, ketua klasis Gereja Kemah Injil Indonesia Kota Jayapura mengatakan bahwa workshop MPI menolong para pimpinan gereja untuk membuka simpul-simpul yang terikat selama ini dan mulai membangun kolaborasi-kolaborasi penting dalam hal membangun komunitas bersama, secara khusus pada HPI di Papua,” kata Reinhard.
Sedangkan Pst. Kostantinus Bahang dari STT Fajar Timur mengatakan bahwa Workshop MPI bermanfaat membuat seluruh program dalam perayaan dan konferensi menjadi siap untuk diimplimentasikan. “Selama ini hasil HPI selalu bermasalah di tahap implementasi rekomendasi karena tidak ada fasilitator dan metodologi kerja yang siap untuk mem-break-down seluruh rekomendasi. Sekarang dengan adanya PCC sebagai dapur kebijakan, Workshop MPI sangat membantu untuk memberikan bekal pola dan cara kerja yang baik dalam penyusunan program,” kata Konstantinus.
Ketua III PGLII Deddy Madong, SH., MA., mengatakan bahwa Workshop MPI di Papua merupakan bagian dari dukungan PGLII kepada gereja-gereja di Papua untuk menyelesaikan masalah di Papua. Persoalan tersebut, menurut Dedy harus diselesaikan dengan kekhasan Papua, terutama pendekatan Injil dimana kekristenan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat di Papua.
Dalam tiga kali penyelenggaraan MPI, Deddy melihat kemajuan dari proggram MPI. “Saya berharap program ini terus dilanjutkan dan diterapkan ke tingkat kota dan kabupaten dengan masalah yang lebih spesifik,” tandasnya. (Lapier 07)