Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Upacara Rabu Abu datang dari tradisi orang Yahudi yang mengungkapkan tobat dan penyesalan dengan mengenakan kain dari karung sambil berlumuran abu. Itulah yang disebut dengan Yom Kippur atau Hari Penebusan.
Yom Kippur adalah hari terakhir dalam 10 hari masa pertobatan dan puasa. Pada saat itu orang Israel menerima belas kasih Allah dan penebusan dari dosa-dosa.
Kitab Suci mencatat, Ayub melakukan ritual pertobatan dengan “mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu” (Ayb 2:8).
Dalam kisah nabi Yunus, orang bukan Yahudi pun melakukan ritual yang sama. “Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di atas abu” (Yun 3:6).
Hari itu adalah hari saat mereka yang merasa berdosa, menyadari kedosaan dan kelemahannya. Inilah ungkapan simbolis manusiawi bahwa kita adalah ciptaan “dari abu tanah'” dan suatu ketika akan kembali “menjadi abu tanah”. Manusia adalah tanah-adamah yang dibentuk oleh Allah dan diberi napas kehidupan. Karena itu tak perlu mengagungkan diri.
Sebagai manusia, dalam kedosaan dan kelemahan, kita juga bagaikan orang yang berselimutkan kain karung dan berlumurkan abu dan debu. Kita menyatakan diri kotor, hina dan tak berarti di hadapan Tuhan yang maha suci.
Tradisi Rabu Abu ini diperkenalkan di dunia kekristenan dalam Sinone Benevento tahun 1091. Sejak abad ke-11 inilah kebiasaan Rabu Abu, bersama Jumat Agung, menjadi hari puasa dan pertobatan di kalangan orang Kristen.
Ini berarti kita kembali ke hakikat asal kita, kembali ke fitrah, dan mengharapkan sekali lagi belaskasih Allah. Pada saat ini kita mohon diberi nafas kehidupan baru karena sesungguhnya dalam dosa kita telah mati. Masa ini adalah masa kita diangkat dan ditebus lagi untuk hidup yang baru.
Pada saat yang sama kita juga sadar bahwa hidup ini singkat dan tak terduga. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi pada saat, waktu, jam atau hari yang akan datang. Kita bisa menduga tapi tak bisa memastikan. Bahwa kita sesungguhnya bergantung pada yang memberi kehidupan yakni Allah sendiri.
Pertobatan yang diiringi puasa atau mati raga juga menegaskan semangat untuk tidak menjadikan diri kita pusat segalanya. Apa yang kita miliki merupakan titipan dan selayaknya berbagi dengan yang berkekurangan. Melalui kita Allah sesungguhnya ingin menjadikan kita saluran rahmat dan kasih-Nya.
Prapaskah bukan sekadar cermin untuk melihat apa yang tampak di permukaan melainkan sebuah alat rontgen rohani yang mampu menembus permukaan kulit dan menyoroti sisi lemah atau sakit dalam tubuh kita. Dengannya kita mampu mengobati diri dan menjadi lebih sehat sebagai murid Kristus.
Seorang pria Irlandia punya kebiasaan unik. Setiap kali masuk bar, dia selalu memesan 3 gelas bir. Dia beralasan, tiga gelas ini mengingatkan dua saudaranya, satu pindah ke Australia dan satu pindah ke Amerika. Setiap meminum 3 gelas dia mengenang saat mereka bertiga minum bersama.
Pada suatu hari dia hanya memesan 2 gelas bir. Bartender heran lalu bertanya: “Apakah semua baik-baik saja?”. Dengan senyum dia menjawab: “Oh tidak apa-apa, kami semua baik”. “Lalu mengapa hanya 2 gelas hari ini?”, tanya Bartender lagi. Dia menjawab: “Hari ini saya puasa minum bir karena Rabu Abu.”
Salam dari Biara MBSM, Kalembu Nga’a Bongga (KNB), Weetebula, Sumba “tanpa wa”.