Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris
Hesiod, seorang penyair Yunani yang hidup 800 tahun sebelum Kristus menulis sebuah puisi tentang seekor burung phoenix. Ketika burung itu merasa bahwa saat kematiannya sudah dekat, yang terjadi setiap 500-1461 tahun, burung itu pergi ke pulau Phoenecia lalu membuat sarang di situ dari kayu yang sangat harum baunya. Setelah selesai dia masuk ke sarangnya dan membakar diri dan sarangnya sendiri.
Tak lama kemudian, dari dalam abu yang tersisa keluarlah seekor burung phoenix yang hidup. Itulah sebabnya burung Phoenix sering dipakai sebagai simbol keabadian, kebangkitan, atau hidup sesudah kematian.
Apa yang terjadi pada burung ‘phoenix’ bisa membantu kita memahami secara simbolis peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus.
Kematian adalah hal yang biasa bagi setiap makhluk hidup. Tetapi kebangkitan dari mati adalah pengalaman pertama manusia yang diawali oleh Yesus. “Kristus telah dibangkitkab dari antara orang mati sebagai yang sulung dari antara orang-orang yang telah meninggal”. (1 Kor 15:20)
Kebangkitan Yesus adalah dasar iman kita. Tanpa itu kita sama saja dengan semua orang lain, bahkan semua makhluk hidup lain. Paulus berkata: “Jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman kita” (1 Kor 15:14).
Iman bukan sekedar percaya bahwa Yesus dibangkitkan. Iman pun mengandung harapan bahwa kita yang percaya dan mengikuti jalan hidupnya akan mengalami kebangkitan yang sama setelah kematian kita.
“Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25).
Tetapi hidup dalam kepercayaan dan harapan macam ini mengandung konsekwensi. Kebangkitan Yesus adalah hasil dari sebuah proses yang panjang, melelahkan, menyakitkan, memalukan dan dengan penderitaan yang tak terkira. Kebangkitan adalah buah dari ketaatan kepada kehendak Bapa surgawi. Kebangkitan Yesus bukan peristiwa spontan atau mendadak.
Karena itu juga bagi kita, mengharapkan kebangkitan tidak cukup dengan ikut merayakan paskah secara meriah dan khusyuk.
Kebangkitan bagi kita hendaknya menjadi sebuah proses keluar dari diri sendiri, dari segala kelemahan dan dosa, kepada hidup baru yang berorientasi pada keselamatan orang lain juga.
Saat ini mungkin kita sedang dan masih hidup dalam pengalaman Jumat Agung, tapi ingatlah bahwa Minggu Paskah pasti akan selalu ada selalu ada sebagai harapan kita.
A man who was completely innocent, offered himself as a sacrifice for the good of others, including his enemies, and became the ransom of the world. It was a perfect act.”
Seorang pria yang sama sekali tidak bersalah, mempersembahkan dirinya sebagai korban untuk kebaikan orang lain, termasuk musuh-musuhnya, dan menjadi tebusan dunia. Itu adalah tindakan yang sempurna.” ( Mahatma Gandhi)
Salam Paskah dari Biara Novena Maria “Madre del Perpetuo Soccorso” (MPS), Kale.m,kķnñinmbu Nga’a Bongga, Weetebula, Sumba “tanpa wa”.