Fri. Nov 22nd, 2024
Arswendo Atmowiloto

Oleh Arswendo Atmowiloto, Budayawan, Wartawan (Alm)

Andai para bapa Gereja, atau juga penulis buku Perjanjian Baru, adalah kaum perempuan, barang kali peta dan sejarah Kristianitas dunia berbeda, juga cara umat Kristiani berdoa dan menggereja. Barang kali di pusat altar bukan patung Tuhan Yesus yang disalib, atau hanya salib kosong, melainkan wajah anggun Bunda Maria yang digambarkan menggunakan jubah biru dalam wajah pasrah, haru.

Barang kali jenis begini adalah jenis barang kali yang tak mungkin, karena sejarah tak bisa direstart, diulang kembali seperti kalau kita main games di komputer. Dan syukurlah begitu. Tanpa itu pun, Bunda Maria, Ibu Tuhanku—seruan Elizabeth yang mewakili kemanusiaan kita secara utuh, tetap istimewa, terpuji, menginspirasi lahir batin, dalam segala doa. Juga dalam kitab suci agama lain.

Bunda Maria adalah nama yang saat disebutkan tak mengenal akhir, de Maria numquam satis. Lebih dari dibicarakan, melainkan diteladani, diikuti, di-eja wantah-kan, dibumikan secara aktual saat ini atau sampai nanti saat Putranya datang lagi. Bunda Maria adalah segalanya, dan segala kekatolikan terkait dengan Bunda Maria. Misteri terbesar dunia, dan sekaligus teragung, Tuhan Yesus lahir dari Rahim Perawan Maria.

Dan Jost Kokoh Prihatanto, menuliskan secara utuh, penuh dan menyeluruh dalam nuansa teduh tentang itu. Baik melalui khotbah para santo, atau calon santo, melalui Martin Luther, John Calvin, Zwingli atau ungkapan Salam Maria dalam berbagai bahasa, dalam tata rahmat dan liturgi Gereja Semesta.

Saya sangat suka buku ini dan merekomendasikan kepada banyak orang, salah satunya tentu istri saya yang lebih sering melarikan derita—sebagian karena saya, sebagian karena ulahnya sendiri, kepada Bunda Maria, ibu kita juga.

Buku ini ibarat ensiklopedi mengenai Bunda Maria, buku referensi terpercaya karena yang menulis seorang pribadi yang selalu jatuh hati dan tergila-gila dengan bundanya, yang selalu terbuka disapa dan menyapa.

Saya kadang iri dengan istri saya, dengan romo dengan suster, dengan anggota dewan paroki, atau umat Katolik yang baik, yang bisa mesra dengan Bunda Maria sejak awal. Sebagai Katolik “turis—turut istri”, awalnya saya tak bisa in dalam menyenandungkan Salam Maria secara beramai-ramai, berurutan menunggu giliran.

Sampai suatu ketika saya dan istri berdoa di Gereja Purbayan di Solo, tempat saya menerima sakramen pernikahan dengan dispensasi, saya menangis terguguk, di depan patung Bunda Maria. Saya malu, tapi tak mampu menahan itu.

Komentar istri :”Kamu sudah diterima Bunda.” Lhooo, jadi selama ini belum ya?

Arswendo

Yang kedua ketika ke Larantuka, Flores dalam rangka mengisi seminar perayaan Lima Abad Bunda Maria “Tuan Ma”, dalam rombongan ada Romo Jost Kokoh, ada Romo Sindhunata, dan mas Adi Kurdi meskipun tidak janjian. Di salah satu Gereja di luar pulau, entah kenapa saya bersama isteri dan Romo Jost Kokoh boleh masuk. Pengantar pun tak bisa masuk ke dalam Gereja “Tuhan Yesus membawa ayam”, sehari sebelumnya.

Di sini terulang kembali pengalaman aneh, saya menangis – dan kata orang yang mendengarkan tangisannya seru dan keras di kaki Bunda Maria.

Semua peristiwa yang sedang dan telah saya jalani, bermunculan. Padahal sebelumnya kita tertawa-tawa, potret memotret dan merasakan air kelapa muda yang fresh from the tree, bukan from the oven lagi. Rasanya saya baru berlutut, belum selesai memulai doa awal, atas nama Bapa… sudah langsung sesengrukan lama. Makin tua saya ini memang makin cengeng, tapi saat itu bisa jadi tangis paling lama sampai membuat orang lain bertanya: kenapa, kenapa?

Padahal saya sendiri juga sering bertanya kenapa. Kenapalah perawan yang bisa jadi baru berusia 13 tahun, seusia anak zaman sekarang yang baru lulus SD, mengandung dari Roh Kudus, dan bagaimana menghadapi ini semua selain ketaatan total dan kerendah-hatian tanpa reserve? Kenapalah malaikat yang datang padanya yang meramalkan segala yang hebat dan besar, termasuk “KerajaanNya tak pernah berakhir?”, lalu klepat meninggalkan Bunda, masih muda, Maria sendirian menghadapi dunia ini? Kenapa pula Sang Putra yang hilang dan dicari-cari malah menjawabi bahwa Dia di rumah Bapa-nya? Kenapa pula Bunda Maria masih bisa bertahan di bawah kayu salib, dan menyaksikan semua penderitaan dan penyiksaan tiada taranya. Kekuatan mahadahsyat apa membuat kuat menatap peristiwa menyayat atas putra tunggalnya ini? Sungguh kemampuan yang kalau kita menyoba menggambarkan masih bisa merinding dan berdebar.

Sampai akhirnya saya mendengar kisah nyata. Seorang ibu, berdoa di depan patung Bunda Maria di Gereja Katedral Jakarta, menangiskan penderitaan. Anaknya menderita kelainan darah yang langka, kalau tak segera mendapat donor darah yang sesuai, kisah hidupnya selesai. Ibu tadi berdoa, mengucap Salam Maria, sudah beberapa kali.

Entah karena iseng, atau sirik, atau ingin meledek, kisah ibu yang berdoa di bawah patung Bunda Maria ini muncul di media sosial dengan caption: “zaman sekarang kok masih ada yang memuja berhala untuk kesembuhan penyakit langka”.

Namun, sungguh ajaib dan heranlah. Justru karena dimuat di media sosial, ada pembaca dari luar negeri yang menderita kelangkaan, dan akhirnya bisa berkomunikasi. Saya meramu dalam novel berjudul “Horeluya”, bukan salah tulis dari Haleluya, diterbitkan dan sudah cetak ulang oleh Gramedia, lalu saya angkat dalam FTV, film untuk televisi, dan ditayang SCTV, meskipun sempat dipersoalkan adegan berdoa di bawah patung.

Dan sesungguhnya, buku ini menghangatkan kembali. Ia menjadi kenangan yang hidup dan masih relevan hingga saat ini.

Ya, sang penulis – yang kerap memopulerkan singkatan kata menjadi bermakna ; dan yang suka aksesori militer, menuliskan dengan encer sehingga mudah dimengerti. Seperti sikap Bunda Maria, bahkan yang tak masuk akal pikiran pun, sebenarnya bisa diterima dan menginspirasi umat untuk meneladani.

Sekarang pun saya ganti memberi nasihat ke anak dan menantu—belum ke cucu, kalau kalian belum bisa menangis ketika berdoa kepada Bunda Maria, maka bisa jadi kalian belum diterima. Hayati dan rasakan kelembutan pertanda rendah hati itu dan berkah kelegaan akan menyertaimu, selalu.

Tuhan memberkati & Bunda merestui.

Tulisan tersebut merupakan apresiasi Arswendo Atmowiloto (Alm) atas buku-buku Josh Kokoh yang bertema Maria

Related Post