TEMPUSDEI.ID-Pagi itu 22 Februari 2022, cuaca sangat cerah di Desa Piero atau Pero, Waijewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT. Semua sudah bangun dari tidur dengan gembira diiringi nyanyi merdu aneka burung yang beterbangan dari dahan ke dahan.
Hawa seperti biasanya terasa sejuk. Tidak terdengar bunyi raung mesin kendaraan karena memang, nyaris tidak ada kendaraan bermotor, apalagi jenis mobil, yang lalu lalang di jalan umum depan rumah.
Biasanya, pagi-pagi sekali, Oma Theresia Bela yang pada 31 Desember 2022 nanti genap berumur 87 tahun sudah bangun. Biasanya, setelah ke kamar mandi, hal berikut yang dia lakukan adalah menyalakan lilin di depan Salib dan patung Bunda Maria pada meja doanya, lalu “tenggelam” dalam doa-doanya.
Selain bersyukur atas kehidupan pada pagi yang baru, dia berdoa bagi anak-anak dan cucu-cucu, cicit dan keluarga besarnya, tidak lupa ia berdoa bagi perdamaian dunia. Dia selalu mengingat dan melaksanakan imbauan Santo Yohanes Paulus II untuk berdoa bagi perdamaian dunia.
Setelah berdoa, biasanya dia keluar kamar untuk menyapa anak-anak dan cucu-cucunya, juga untuk menghirup udara segar.
Duduk Tak Berdaya
Pagi 22 Februari itu, ada sesuatu yang janggal. Oma tidak nampak keluar dari kamarnya. Juga tidak terdengar bunyi apa pun dari kamarnya. Sementara itu, anak-anak dan cucu-cucunya sibuk menyiapkan diri untuk ke sekolah atau ke kantor.
Karena belum lihat sang Oma keluar dari kamarnya, seorang cucu yang biasa dipanggil “Bunda” berkata kepada Leo, bapaknya, “Bapak, dari tadi pagi saya belum lihat Oma keluar kamar. Saya cek dulu…”. Bunda segera masuk ke kamar Omanya….
Astaga….. Sang Oma sedang terduduk di samping tempat tidurnya. Tak berdaya. Bunda berteriak histeris memanggil Leo yang sedang bersiap-siap mengantar istrinya ke sekolah.
Dalam sekejap, tetangga berdatangan dan segera mengangkat Oma dari lantai lalu membaringkan di atas tempat tidur. Semua sontak panik, apalagi Oma dalam keadaan lemas tak berdaya dan tidak bisa berbicara. Memberi respons pun tidak ada.
Leo dengan cepat mengontak saudara-saudarinya untuk memberi info tentang keadaan Mamanya. Semua segera berkumpul lalu lekas-lekas mengantar sang Oma ke Puskesmas Waimangura, yang jaraknya sekitar 4 km dari rumah di Pero.
Perawat dan dokter sigap memberikan pertolongan pertama. Oma tetap lemas, tanpa respons. Yang dikhawatirkan, Oma jatuh terduduk yang bisa menyebabkan gangguan serius pada tulang ekor dan bisa memicu cedera-cedera lain, malah kelumpuhan.
Proses berjalan perlahan. Tidak berapa lama, cucu terbesarnya bernama Goris Umbu datang dan bertanya dengan suara kencang, maklum pendengaran Oma sudah sangat menurun. “Mama Nene jatuh taduduk tadi?” kata Goris sambil menepuk-nepuk badan neneknya. Setelah beberapa kali Goris mengulangi pertanyaannya, Oma pun merespons dengan menggelengkan kepalanya. Semua agak lega!
Disimpulkan bahwa Oma duduk selonjor akibat kepalanya pusing sebab tensinya sangat tinggi 220/120. Ini ukuran yang sangat tinggi. Hal ini yang menyebabkan Oma “lumpuh” dan tidak bisa bicara. Suasana batin keluarga antara panik dan pasrah sambil berdoa bagi kesehatan dan kesembuhan Oma.
Menolak Tes Covid-19
Karena peralatan medis di Puskesmas Waimangura masih terbatas, dokter menganjurkan agar Oma dirawat di rumah sakit yang peralatannya lebih memadai. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi jika dirujuk ke Rumah Sakit. Oma harus menjalani swab dan tes Covid-19.
Di sini muncul dilemma. Kenapa? Ada kekhawatiran keluarga, jika menjalani tes Covid, kemungkinan besar Oma divonis positif Covid-19 sebab Oma memang menderita batuk selma bertahun-tahun, jauh sebelum korona muncul.
Kalau divonis Covid, maka keluarga tidak bisa leluasa mengurus sebab akan diisolasi. Perhatian Dokter dan perawat pun tidak akan seintensif seperti kepada “pasien biasa”.
Lebih dari itu, seluruh keluarga yang berkontak langsung akan “digulung” untuk menjalani tes, dan sangat mungkin keluarga pun divonis Covid.
Kecurigaan “akan divonis Covid-19” tersebut muncul, karena beredar informasi di masyarakat, banyak sekali anggota masyarakat yang “divonis” Covid-19 oleh Rumah Sakit. Masyarakat menaruh curiga “hanya dicovidkan” karena ada sejumlah kasus keluarga diperbolehkan menjaga “pasien Covid” di Rumah Sakit, mengurus pasien tanpa alat pelindung diri, tetapi biasa-biasa saja atau sehat-sehat saja. Sering pula penjaga mencium (cium hidung) pasien di Rumah Sakit. Tidak tertular!
Langkah Berani
Setelah Leo berdiskusi dengan saudara-saudarinya, keluarga menolak menjalani swab yang berakibat Oma tidak bisa dirawat di Rumah Sakit. Tidak ada pilihan lain, Oma harus dibawa pulang ke rumah.
Keluarga mengambil langkah berani tersebut dengan terlebih dahulu menandatangani surat pernyataan bahwa akan menanggung risiko jika terjadi sesuatu pada Oma akibat dibawa pulang ke rumah.
Setelah mengambil obat dan berkonsultasi tentang hal-hal yang sebaiknya diberlakukan pada Oma di rumah, Oma dibawa pulang.
Sesampai di rumah, seorang menantu yang agak paham cara memasang infus, memasangkan infus pada Oma, obat-obat segera dikasihkan sesuai resep dokter.
Beberapa jam kemudian, ada perubahan pada kondisi Oma. Keluarga hanya berdoa memohon kemurahan Tuhan.
Oma ditangani atau dirawat dengan bekal pengalaman pernah menjadi pasien dan beberapa “saran dokter”. Mereka lakukan semuanya menggunakan nalar dan feeling saja.
Secara perlahan, Oma mulai memberi respons yang lebih baik. Oma mulai bisa menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Dua hari kemudian, walau tidak jelas, sudah ada suara keluar dari mulutnya. Semua gembira sambil terus berdoa bagi kesembuhan Oma.
Anak-anak dan cucu-cucunya berkumpul dan berganti-gantiannya menjaga, tentu saja tidak tidur. Semuanya melakukan “dinas jaga” dengan gembira walau nantinya harus menanggung kantuk kantor di kantor atau tempat kerja. Ada yang memilih minta izin untuk tidak masuk kantor agar bisa memberikan perhatian lebih.
Proses berjalan perlahan. Raga Oma semakin kuat. Dia pun sudah mulai bisa bicara walau artikulasinya tidak terlalu jelas. “Lidahku seperti terikat,” katanya terbata-bata.
Beberapa hari kemudian, di tengah kegembiraan atas kemajuan kesehatan Oma, terjadi “kekeliruan” dalam mengonsumsi obat. Ada obat yang diketahui atau dicurigai kemudian, dosisnya terlalu tinggi atau malah “keliru” peruntukkannya.
Ini menyebabkan Oma kembali lemas tak berdaya. Oma kembali sulit berkomunikasi. Karena kecurigaan itu, keluarga menghentikan obat yang dimaksud sambil tetap mengupayakan asupan makanan yang baik untuk Oma. Ada yang menganjurkan untuk dikasih minum air gula untuk menetralisir obat yang “keliru” itu. Anjuran ini pun hanya berdasarkan pengalaman atau dengar-dengar.
Keluarga Curahkan Cinta
Keluarga berusaha memberikan “perawatan terbaik” dan tekun mendoakan. Anak-anak dan cucu-cucunya hadir sepanjang hari. Mereka berkumpul berdoa pagi, siang dan malam bagi kesembuhan Oma.
Sesekali Oma sendiri berseru, “Tuhan Yesus, sembuhkanlah saya. Bundaku Maria, sembuhkanlah saya.”
Anak-anak dan cucu-cucunya selalu membesarkan hatinya dengan mengatakan: Oma pasti sembuh. Tuhan Yesus dan Bunda Maria sayang Oma.
Sambil mengonsumsi obat-obat dari Rumah Sakit, keluarga mengusahakan beberapa jenis suplemen untuk Oma. Sementara itu ada yang mengurut kaki dan tangannya. Semua dilakukan sambil mendaraskan doa.
Secara perlahan dan pasti, perubahan demi perubahan, kemajuan demi kemajuan terjadi; mulai dari bisa menggerakkan anggota tubuh, perubahan mengubah sendiri posisi tidur, lalu bisa bangun sambil dibantu, lalu bisa duduk.
Setelah merasa semakin membaik, dengan dibantu anak-anaknya, Oma mulai bisa turun dari tempat tidur, belajar berjalan sambil dipapah lalu berjalan menggunakan tongkat. Kemudian belajar berjalan tanpa tongkat. Oma memiliki semangat yang tinggi untuk sembuh. Terhitung satu bulan sejak sakit pertama kali, Oma sudah bisa berjalan.
Wajah Oma kembali segar. Dia pun berseru, menyampaikan syukur pujiannya kepada Tuhan Yesus dan Bunda Maria.
Oma berterima kasih kepada anak-anak dan cucu-cucunya yang dengan tulus merawat, mengurus dan mendoakannya.
Pada saat sakit semacam ini, seluruh anak Oma yang tersebar di berbgai tempat dan pulau bisa berkumpul semua. Momentum berkumpul ini juga menjadi kesempatan untuk bernostalgia tentang berbagai pengalaman di masa kecil yang bisa membuat mereka tertawa gembira. Oma pun tidak ketinggalan tertawa.
Bagi Oma dan keluarga, Tuhan telah menujukkan Mukjizat-Nya yang luar biasa. Terpujilah Tuhan. (EDL)