Sun. Nov 24th, 2024

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Joshua, seorang Yahudi muda, jatuh cinta pada Maria, seorang Katolik yang taat. Ketika Joshua melamar Maria, Maria meminta nasihat dari orang tuanya, yang masing-masing menasihatinya secara berbeda. “Ubah dia menjadi Katolik!” perintah ayah Maria, tetapi ibunya berkata, “Kasihilah dia dengan lembut dan Roh Tuhan akan melakukan keajaiban!”

Ayah Maria tidak mau menyerah dan ikut bekerja keras mengubah Joshua menjadi Katolik. Maria patuh dan akhirnya Joshua pun bertobat.

Beberapa minggu kemudian Joshua membatalkan pernikahannya secara sepihak. “Ada apa?” tanya ayah Maria dengan rasa kaget. Maria terisak: “Joshua ingin menjadi imam!”.

“Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu” (Yoh 14:27)

Kutipan di atas adalah bagian dari kata-kata perpisahan Yesus dengan murid-murid-Nya dalam Injil Yohanes. Perpisahan atau lebih tepatnya ditinggal pergi oleh orang yang dicintai itu menyakitkan. Tak seorangpun luput dari pengalaman ini. Tak ada bedanya apakah itu terjadi pada masa kuno atau di zaman modern. Selalu ada kekosongan bahkan luka.

Kontras dengan kebiasaan, yang menampilkan sisi negatif kepergian atau perpisahan, Yesus menampilkan sisi positif pengalaman ini. Kepergian Yesus mendatangkan karunia bagi para murid-Nya, sekurang-kurangnya tiga karunia.

Pertama, Ia memberi mereka kasih-Nya, yang memungkinkan mereka menepati firman-Nya.

Kedua, Dia memberi mereka damai sejahtera-Nya untuk menguatkan mereka melawan ketakutan dalam menghadapi kesulitan. Di sini “perdamain atau syalom” bukan hanya bahwa tidak ada konflik, tetapi juga konsep syalom yang jauh lebih luas, menyangkut kesejahteraan total baik pribadi maupun komunitas.

Ketiga, Dia memberi mereka Sang Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan mengajari mereka segala sesuatu yang perlu mereka ketahui. Roh Kudus adalah kasih setia Allah yang tersedia bagi para murid, memungkinkan mereka menerima persahabatan dengan Yesus, sambil meniru Dia, Sang Guru.

Sang Pembela/Advocatus yakni Roh Kudus, akan membawa kedamaian yang akan memadamkan ketakutan mereka akan kegelapan yang terbentang di depan. Dalam bahasa Yohanes, Roh Kudus dikenal dengan buahnya yakni sebagai “kedamaian, kebenaran, terang, kehidupan, dan sukacita”. Di mana hal-hal ini ada, kita boleh yakin bahwa disitu Roh Kudus hadir.

Janji-janji Yesus ini bukan sekadar hiburan semu melainkan realitas yang memang ada benarnya. Dengan kepergian Yesus para murid akan memiliki hidup yang baru, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah sebuah fase baru pertumbuhan rohani para murid. Pengalaman ini merupakan medan pengolahan diri yang membuat seseorang bertumbuh secara wajar dan berjuang untuk dewasa.

Ada saat dalam hidup kita ketika Tuhan sepertinya meninggalkan kita, ketika doa nampaknya sia-sia, ketika beriman seperti kering tak berbuah. Justru pada saat itulah kita bisa menyadari bahwa doa sungguh bernilai tanpa kita merasakan apa-apa. Dalam kenyataannya, doa yang terbaik seringkali terjadi ketika hati kita seperti berubah menjadi batu dan kita tidak merasakan apa-apa. Karena pada saat itulah kita sungguh berdoa dengan iman.
Doa bukanlah perasaan.

Doa adalah komitmen, entah dirasakan atau tidak. Doa adalah penyerahan diri kepada Tuhan. Doa berarti mengatakan YA kepada Tuhan walaupun kita seolah-olah tidak merasakan kehadiran-Nya.

Dari sini kita menyadari bahwa aktivitas rohani kita tidak lahir pertama-tama karena kita memperoleh kepuasan. Kita terlibat karena Yesus meminta kita. Kita terlibat karena Yesus mengajar kita untuk itu. Kita terlibat karena Yesus sendiri juga melakukan hal yang sama.

Yang terpenting kita percaya bahwa Dia selalu tinggal di dalam diri kita dan bahwa semua yang terjadi dalam hidup kita pasti ada alasannya. Dan Tuhan tahu alasannya. He knows the reason!

Salam dari Biara Novena “Maria Bunda-Nya yang Selalu Menolong’ (MBSM), Kalembu Nga’a Bongga. Weetebula, Sumba “tanpa wa”.

Catatan: bagi yang belum tahu istilah “Sumba tanpa wa”, maksudnya bukan “tanpa washap”, tapi ini SUMBA, bukan SUMBAWA, sebagaimana orang selalu salah mengerti: Dibilang Sumba, ooh SumbaWA ya!!!! Ini dua Pulau yang berbeda.

Related Post