Fri. Nov 22nd, 2024
In Memoriam Buya Syafii Maarif

Oleh Eka Budianta, Sastrawan dan kolomnis

 “Dalam merayakan Program Fulbright, kita merayakan kembali tujuannya, yaitu untuk membantu menciptakan dunia yang lebih aman, sejahtera, dan bebas untuk anak-anak kita.”  Begitu kata Presiden Barack Obama dalam  buku Across The Archipelago, from Sea to Shining Sea, yang membuat saya berurusan dengan Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif. Presiden Obama menulis ucapannya dalam Bahasa Inggris dan Indonesia di atas stationery – kertas dengan kop surat The White House, Washington, tertanggal 4 Mei 2012.

Untuk menyusun buku itu, AMINEF menugaskan saya mewawancarai para tokoh pendidikan.  Di antaranya adalah Ahmad Syafi’i Ma’arif, Juwono Sudarsono, Etty Indriati, Tian Belawati, Wagiono Soenarto dan Anies Baswedan.

AMINEF adalah singkatan dari The American Indonesian Exchange Foundation. Program utamanya mengurus Beasiswa Fulbright, yang memungkinkan cendekiawan dari berbagai negara belajar di Amerika dan pulang kembali untuk membangun Tanah Airnya.

Buya Syafii Maarif

Sejak 1952 anak-anak Indonesia sudah mendapat Beasiswa Fulbright itu.  Jadi, penerbitan buku itu termasuk perayaan genap 60 tahun kegiatan beasiswa ini. Dalam bahasa kita diberi judul Dari Sabang Sampai Merauke.

Semua pertemuan sudah diatur dan dijadwalkan. Dr. Tian Belawati rektor Universitas Terbuka minta saya berkunjung ke kampusnya. Mantan menteri Pendidikan (dan Pertahanan) Juwono Sudarsono lebih senang ditemui di hotel, tatkala kami menghadiri seminar.  Buya Syafi’i Ma’arif minta saya datang ke sebuah apartemen di Kawasan Kuningan, Jakarta Pusat. Kebetulan, Guru Besar IKIP Yogyakarta sedang berkunjung ke Jakarta, dan menginap di rumah susun milik anak atau lebih tepat: muridnya.

“Timur dan Barat itu milik Allah,” katanya menyambut saya di pintu.  Hah?  Saya belum bertanya apa pun, Buya sudah memberi tahu, seolah-olah itu yang harus kami bahas.  Benar sekali!

Tidak perlu basa-basi lagi dengan Buya.  Kami berdua sama-sama penerima beasiswa Fulbright dan terhimpun dalam Masyarakat Fulbright Indonesia. Buya mendapatkan beasiswa sampai lulus master (S2) dari Universitas Ohio 1980, dan doktor (S3) dari Universitas Chicago, 1983.  Sedangkan saya hanya untuk mengajar satu semester di Universitas Cornell, 1990. Meski begitu, cukup dengan “satu payung” Fulbright itu, kami merasa sudah saling kenal, seperti bersaudara.

Kebetulan, pada pertemuan di Cisarua setelah Reformasi 1998, saya didapuk menjadi salah seorang pengurus.  Para rektor, menteri, dekan dan tokoh nasional lainnya otomatis dimohon menjadi anggota Dewan Penasihat.

Sang intelektual

Uniknya, ada saja penganut “garis keras” yang tidak mau disangkut-pautkan dengan Amerika.  Demi pertimbangan politis, ada pemimpin yang tidak mau disertakan dalam buku itu, meskipun pernah mendapat beasiswa Fulbright dua kali!   Dalam pembicaraan kami, terkesan Buya sudah tahu dan mengenal baik tokoh itu, meskipun sama sekali tidak mau membahasnya.

Jadi jelas, Anies Baswedan – Rektor Universitas Paramadina dan almarhum Wagiono Soenarto – Rektor Institut Kesenian Jakarta sudah pasti termasuk anggota Masyarakat Fulbright Indonesia yang sangat terhormat.  Demikian pula Buya Syafi’I Ma’arif yang dibanggakan dalam buku kenangan itu. “Fulbright memberi kesempatan untuk pergi ke Amerika. Di sana mata kita dibuka, jantung dibuka, dan kita diajar berpikir merdeka,” kata Buya menceritakan hari-hari pertamanya datang ke kampus Universitas Ohio di Athens.

Ia berterima kasih dan bersyukur memperoleh kesempatan berkunjung ke negara lain. Negeri asing pertama yang didatanginya adalah Amerika. Ya, Ohio University jurusan Asian History itu almamaternya.

“Selama di Athens, anggota Muhammadiyah sejak 1955 ini merasa masih fundamentalis. Setelah banyak berdialog, ternyata beberapa hal yang saya kagumi harus dikoreksi. Buya Syafi’i berpendapat, Islam lebih dipraktikan di Amerika Serikat daripada di negeri Islam seperti Indonesia, Tanah Airnya. Prinsip egalitarian berjalan dengan benar. Setiap orang dihormati sebagai pribadi yang bermartabat.” Begitu saya menambahkan catatan, tentu berdasarkan rekaman wawancara.

“Orang Amerika itu suka pada mereka yang menjunjung harga diri, kata penggemar berkayuh naik sepeda ini. Hampir setiap hari ia naik sepeda berkeliling ke kampung-kampung. Sebagai anak Minang, ia juga suka memasak. Makanan kegemarannya adalah sate dan soto kambing. Di Amerika ia suka masak yang enak-enak, sekaligus menjadi pencuci piring.”

Buya (paling kiri) dalam peluncuran buku “Orang-orang Hebat dari Mata Kaki ke Mata Hati” di Gedung Dewan Pers lima tahun lalu.

Menjaga pikiran Kritis

“Ketika bertemu Presiden Bush pada 2003, saya banyak protes. Tapi beliau senang. Acara bincang-bincang yang semula hanya dijadwalkan 25 menit, molor menjadi 55 menit. Presiden Bush suka kalau kita berani mendebatnya. Saya katakan: Amerika punya segala-galanya. Punya banyak uang, bom nuklir, pesawat tempur, kapal induk, macam-macam. Tetapi sayang, Amerika belum punya global wisdom.” Begitu kata guru bangsa dan pemuka agama Islam yang diundang khusus untuk memberikan konsultasi pada George Bush, selepas peristiwa pengeboman World Trade Center dan Paddy Cafe di Bali.

Apa yang dimaksudnya dengan global wisdom? Kearifan global adalah pemahaman dan penerapan prinsip hati-hati bahwa setiap bangsa memiliki kebudayaan yang harus dipertimbangkan. Juga, bahwa Islam tidak bisa dipandang monolitik, tidak boleh disamaratakan bahwa semua sama seperti para teroris, ulasnya.

Fulbright bisa berperan dengan memperbanyak cendekiawan Amerika yang dikirim ke Indonesia untuk ikut belajar tentang kearifan global. Pada saat yang sama, Fulbright juga membantu orang Indonesia saling menyapa dan memahami keanekaragamannya sendiri.

Buya Syafi’i berpendapat, sebetulnya orang Indonesia selama di Amerika dibuka jantungnya untuk memahami kekayaan dan keindahan kampung halamannya.

“Alam Indonesia sangat elok. Kalau orang Indonesia juga cantik budi-pekertinya, akan lebih banyak yang dapat disumbangkan pada dunia. Program pertukaran cendekiawan membantu orang Indonesia menjadi manusia yang lebih beradab, lebih cantik. Begitu juga bagi para cendekiawan Amerika yang datang untuk belajar di sini. Timur dan Barat milik Tuhan. Islam mengajarkan kita harus belajar dari mana saja, kata pemenang Hadiah Magsaysay dan Habibie Award itu. Buya Syafi’i dihormati karena ketulusan hatinya dalam mengembangkan kerukunan antar bangsa dan antar agama.”

Itulah yang bisa dikutip seutuhnya dari tulisan saya sendiri lebih dari sepuluh tahun sebelum wafatnya. Rasanya saya seperti mendengar kembali pesan terindah agar dalam hidup yang singkat ini.  Buya Syafi’i berpesan agar kita selalu menjaga pikiran kritis, dan selalu bersyukur, tahu terima kasih.

Dilepas Presiden Jokowi

Buya Syafi’i lahir di Sumpur Kudus, Minangkabau pada 31 Mei 1935 dan wafat hanya empat hari sebelum ulangtahunnya ke-87, di Sleman, Yogyakarta 27 Mei 2022.  Keesokan harinya, surat kabar Kompas terbit dengan halaman depan serba hitam, bertulis kuning emas Nyala Abadi Suluh Bangsa dan foto besar Ahmad Syafii Maarif (1935-2022).  Sungguh saya tersentak, karena jarang sekali kita menyaksikan penghormatan demikian besar untuk seorang anak bangsa.   Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo yang melepas jenasah Buya Syafi’i untuk dimakamkan di Taman Makam Husnul Khotimah Muhammadiyah, Kulon Progo.

Suasana haru terasa meliputi akhir Mei dan awal Juni 2022.  Langit keruh dan hujan turun berturut-turut seolah mengisyaratkan Ibu Pertiwi sedang berduka.  Kehidupan Buya Syafi’i sejak kecil memang mengharukan.  Pada umur satu setengah tahun ibunya (bernama Fatiyah) meninggal dunia.  Ia anak bungsu dari 4 bersaudara seibu. Sedangkan  dari ayahnya, Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu, seorang saudagar gambir, Buya Syafi’i punya 15 bersaudara satu ayah.

Sepeninggal ibunya ia dititipkan pada Bainah adik ayahnya. Pada Zaman Jepang 1942, Buya Syafi’i yang sehari-hari dipanggil Pi’i dimasukkan ke sekolah rakyat di Sumpur Kudus.  Sorenya, sepulang sekolah dia belajar agama di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah dan malamnya mengaji di Surau. Setelah berusia 18 tahun ia pergi merantau ke Jawa, untuk belajar di Madrasah Muallimin di Yogyakarta.  Ayahnya wafat pada 1955, sebelum Pi’i lulus sekolahnya, sehingga mengalami masalah biaya.

Pada umur 21 tahun ia berangkat ke Lombok Timur untuk bekerja sebagai guru di Pohgading.  Ia pernah bekerja sebagai buruh, pelayan toko kain hingga 1958 ketika kembali ke Jawa.  Pi’i melanjutkan kuliah di Universitas Cokroaminoto sampai lulus sarjana muda, 1964.  Ia aktif menulis, menjadi Redaktur Suara Muhammadiyah dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia.

Buya saat menyambut Jokowi yang berkunjung ke rumahnya.

Ugahari Pembawa Damai

Pada 2011 kehidupan Buya Syafi’i telah terbit dalam bentuk novel berjudul Si Anak Kampoeng, karya Damien Dematra. Novel itu telah difilmkan menjadi The Kampung Boy, dan mendapat penghargaan dalam festival Film Internasional Amerika (AIFF) dan pujian dari Yayasan Ramond Magsaysay di Filipina.

Saya belum pernah menonton utuh film sepanjang 108 menit itu.  Namun, dari beberapa trailer dan iklannya, saya sangat terkesan Ketika Si Pi’i ditampilkan bertanya, “Benarkah orang pintar itu banyak musuhnya?”  Untunglah ada seorang guru mengaji yang menasihatinya, bahwa musuh pun dapat dikalahkan tanpa berkelahi.

Film ini dapat ditonton melalui laman Indonesian Film Center.com.  Saya yakin karakter Si Pi’i terlukis dengan baik.

Adegan itu mengingatkan saya pada suatu saat ketika  Buya Syafi’i  membela Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang dituduh telah menista agama.  Itu sebuah pertaruhan besar bagi seorang ulama.

Buya Syafi’i berani “memasang badan” untuk seorang korban perundungan yang diyakininya tidak bersalah.  Itu terjadi pada saat pemilihan Gubernur DKI Jakarta, 2017.  Pembelaan Buya Syafi’i itu menyadarkan bahwa selain berpikir kritis, seorang guru bangsa juga perlu memiliki jiwa merdeka.

Tidak mengherankan bila hampir setiap malam sepeninggalnya selalu diadakan tauziah secara daring yang disimak ratusan orang dari berbagai penjuru Tanah Air.  Pada malam kelima, acara yang ditaja oleh Maarif Institute, menampilkan Clara Joewono yang secara tegas menyatakan ingin menjadi “anak spiritual” Buya Syafii.

Clara merasa sangat yakin telah bertemu dengan Sang Ugahari dalam hidupnya. Sedangkan Andreas Yewangoe mengingatkan bahwa Buya pernah berkata, “Pancasila seperti tergantung di langit biru kalau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tidak dilaksanakan.”

Yewangoe juga menirukan kata-kata Buya “Indonesia tetap jaya sampai sehari sebelum kiamat!”  Benar.  Bila kita melaksanakan pesannya “Tinggalkan kebohongan.”

Sudhamek AWS yang terus berkontak melalui pesan WhatsApp hingga hari-hari terakhir, teringat saat Buya Syafi’i pulang dari Istana Bogor, jalan kaki mau naik bus, tapi dicegahnya dan diantarkan ke Bandara Soekarno-Hatta.  Sungguh sederhana Buya Ahmad Syafi’i  Ma’arif ini.

Saya juga mendengar Rhenald Kasali menggaris-bawahi cerita Buya bahwa mobil yang mulus tanpa cacad adalah yang belum pernah keluar dari garasi.  “Kita tidak mencari malaikat,” kata Rhenald yang menirukan Buya dalam rapat seleksi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).  Sekali lagi betul, kata Buya, “Kita mencari sosok yang sudah selesai.”

Sudah jelas sekarang, bertemu dan mendengarkan kisah hidup Buya Syafi’i merupakan berkah yang tak boleh dilupakan.  Termasuk Ketika mendengar Buya buru-buru memacu sepedanya, untuk menenangkan rombongan massa yang marah, ingin mendemo sebuah rumah ibadah. Berkat tindakannya, kerusakan bisa dicegah. Terima kasih! Akan selalu saya ingat pesan Buya Syafi’i Ma’arif: kiri dan kanan, timur dan barat milik Allah.  Itulah kearifan global yang universal. ***

 

 

Related Post