Oleh Benny Sabdo , Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara; Alumnus Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa Megawati Institute & Marhaen Institute Yogyakarta
“Ir Soekarno adalah orang pertama yang mencetuskan konsep Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Soekarno dikenal sebagai Bapak Proklamator Republik Indonesia dan Presiden Pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia periode 1945-1967.”
Bulan Juni adalah bulan Soekarno, yang populer dengan sebutan Bung Karno. Bulan Juni menandai momentum penting yang berkaitan dengan hidup Sang Proklamator. Juni menjadi bulan Bung Karno karena pada 1 Juni 1945 hari kelahiran Pancasila, 6 Juni 1901 Bung Karno lahir, selanjutnya pada 21 Juni 1970 Bung Karno wafat. Ia merupakan anak seorang guru desa. Bung Karno lahir dari pasangan bernama Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Dalam tubuhnya mengalir darah Jawa dan Bali.
Saya mengenal pemikiran Bung Karno, ketika mengenyam pendidikan SMA di Seminari Garum Blitar, Jawa Timur. Kebetulan sekolah saya tidak jauh dengan makam Sang Proklamator tersebut. Di situ pula berdiri kokoh Perpustakaan Proklamator Bung Karno, saya menikmati koleksi buku-buku pemikiran Bung Karno, antara lain Sarinah, Dibawah Bendera Revolusi, Indonesia Menggugat, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Tatkala melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, saya semakin mendalami pemikiran Bung Karno. Secara khusus saya terlibat di Marhaen Institute Yogyakarta, yang diasuh langsung oleh Profesor Wuryadi, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Keluarga Marhaenis. Yogyakarta memiliki sejarah penting bahwa Gerakan Mahasiswa Marhaenis berpusat di Yogyakarta. Pada akhirnya melebur menjadi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia bersama Gerakan Mahasiswa Merdeka di Surabaya dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia di Jakarta.
Bung Karno adalah pribadi yang penuh karisma, orator ulung serta menjunjung tinggi spirit persatuan dan kesatuan bangsa. Ketika Bung Karno melanjutkan pendidikannya di HBS Surabaya, ia bertemu dengan banyak tokoh dari Sarekat Islam, organisasi yang kala itu dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto, yang juga memberi tumpangan selama Soekarno tinggal di Surabaya. Dari sinilah, rasa nasionalisme dari dalam Soekarno terus menggelora.
Pergaulan Bung Karno sangat luas, selama masa pengasingan di Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur 1934. Selama di Ende Bung Karno dekat para tokoh Katolik. Ia bersahabat dengan dengan Pater Gerardus Huijtink SVD, seorang pastor paroki pertama di Gereja Katolik Ende. Pater Huijtink mengatakan bahwa selalu mengikuti perjuangan Bung Karno selama di Jawa. Sebagai pastor, ia menyetujui apa yang dilakukan Bung Karno. Bahkan ia menegaskan Tuhan tidak merestui penjajahan terhadap negara dan manusia. Pater Huijtink bahkan memfasilitasi tempat panggung pementasan teater garapan Bung Karno. Pada saat itu tercatat ada 12 naskah karya Bung Karno di Kelimoetoe Toneel Club, sebuah grup teater beranggotakan masyarakat Ende.
Kisah menarik lainnya, dalam masalah Irian Barat, Bung Karno memang berkampanye besar-besaran melawan Belanda pada tahun 1961. Tetapi, uniknya para pastor keturunan Belanda tetap diberi kebebasan untuk berkarya di Indonesia. Mereka tidak diusir, melainkan justru dapat bekerja dengan bebas dan aman di tengah masyarakat. Bung Karno mengetahui bahwa para pastor tersebut memiliki rasa nasionalisme yang sama dengan dirinya. Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Suatu ketika seorang guru SMA Kolese Loyola Semarang, Pater Henricus Constant van Deinse SJ (1915-1985) mempertontonkan orkes gamelan kromatik yang diciptakannya di hadapan Presiden Soekarno di Jakarta pada pertengahan tahun 1961. Mendengar dan menikmati gamelan yang bisa cocok untuk mengiringi lagu-lagu Barat itu rupanya membuat Bung Karno terkesan dan memberi nama musik gamelan itu “Supra”, yang katanya singkatan dari “Soegijapranata”, uskup pribumi Indonesia pertama dikenal karena pendiriannya yang pro nasionalis, yang secara pribadi dekat dengan Bung Karno. Kemudian Bung Karno mengundang Pater van Deinse, pencipta musik itu ke Istana Merdeka.
Selama dua jam Bung Karno dan Pater van Deinse mengobrol saling menceritakan lelucon dalam bahasa Belanda, maklumlah Pater van Deinse juga seorang dokter yang memiliki segudang lelucon istimewa. Bung Karno juga memberi rekomendasi untuk mengurus kewarganegaraan Republik Indonesia seperti yang diinginkan sang pastor. Sampai akhir hidupnya, Pater van Deinse menjadi seorang “Soekarnois” tulen.
Selain itu, Bung Karno juga mengikuti dengan penuh perhatian rencana pembangunan Gereja Katolik di Kebayoran Baru Blok B yang harus bergaya modern sekaligus sesuai dengan budaya setempat. Bung Karno yang memang seorang arsitek berulang kali memeriksa gambar-gambar dan mengusulkan perbaikan-perbaikan menyangkut ventilasi dan membuat usulan tentang jendela-jendela dan akhirnya meresmikan gereja itu pada tahun 1962.
Spirit kebhinekaan Bung Karno adalah sebuah suri teladan. Memasuki tahapan pemilu 2024 ini, mari para elit politik bangsa mengikis kampanye bersifat politisasi SARA, hoaks serta ujaran kebencian. Jadikan kampanye sebagai sarana pendidikan politik secara bertanggungjawab kepada rakyat. Kampanye sejatinya adalah visi, misi dan program untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bagi bangsa Indonesia Raya.