TEMPUSDEI.ID-Ikan mujair lagi naik daun alias sedang ramai diperbincangan, khususnya di kalangan orang Batak. Hal ini dipicu oleh statemen Ketua Umum Forum Batak Intelektual (FBI) Leo Situmorang.
Leo menyebut ikan mujair itu hama dan karenanya dia tidak pernah makan, apalagi dia lahir di kota, yakni Kota Medan. Yang biasa dia makan adalah daging ayam atau daging sapi.
Banyak orang Batak tersinggung dan marah atas statemen dari orang yang menyebut diri intelektual atau ketua forum intelektual itu.
Orang Batak marah karena sang “intelektual” dianggap menghina sebab sejak kecil orang Batak makan ikan mujair yang hidup di Danau Toba.
Sesungguhnya, statemen si “intelektual” terlontar dalam konteks perseteruan Hotman Paris Hutapea dan Razman Nasution.
Sebelumnya, dalam sebuah unggahan, Hotman menyebut bahwa ibunya sangat sering menyajikan ikan mujair untuknya sambil berkata, “Makanlah kau ini agar pintar di sekolah”.
Lalu, mungkin dengan maksud “merendahkan” Hotman, si “intelektual” dalam konferensi pers bersama Razman mengeluarkan statemennya yang kontroversial dan dinilai bodoh atau sangat tidak intelek oleh banyak orang.
Lantas, dari mana asal muasal ikan mujair ini? Seperti dilansir oleh kompas.com, ikan mujair pertama kali ditemukan di Indonesia. Dan mengutip dari situs Institut Teknologi Bandung, kompas.com juga menulis bahwa ternyata ikan mujair ditemukan pertama kali oleh Mbah Moedjair, sekitar tahun 1930-an.
Mbah Moedjair dilahirkan di Desa Kuningan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, pada tahun 1890. Mbah Moedjair yang bernama asli Iwan Muluk awalnya bekerja sebagai penjual sate.
Namun, sayangnya usaha tersebut bangkrut akibat kebiasaan buruk Mbah Moedjair yang suka berjudi. Tidak ingin patah arang, Mbah Moedjair tirakat atau berpantang, atas usulan dari kepala desanya saat itu, Pak Muraji. Hingga akhirnya Mbah Moedjair melihat, menemukan serta memelihara ikan yang habitatnya saat itu berada di air laut.
Tak ada yang tahu bagaimana Mbah Moedjair bisa menemukan ikan mujair. Pasalnya, ikan ini diketahui berasal dari perairan Mozambik, Afrika.
Nama latinnya Oreochromis mossambicus. Dalam bahasa Inggris disebut mozambique tilapea, atau kadang java tilapea.
Dalam Buku Go… Go… Indonesia (2013) karya Apri Subagio, dituliskan bahwa Mbah Moedjair menemukan ikan tersebut saat ia berkunjung dan mandi di Pantai Serang, Blitar Selatan.
Ia merasa tertarik untuk memeliharanya karena ikan tersebut menyimpan anaknya di dalam mulut saat ada bahaya. Jika dirasa bahaya sudah menghilang atau keadaan sudah aman, ikan tersebut mengeluarkan anaknya lagi ke luar.
Tertarik karena keunikannya tersebut, Mbah Moedjair membawa pulang ikan tersebut dan ingin memeliharanya di rumahnya, di daerah Papungan, Kanigoro, Blitar.
Mbah Moedjair membawa pulang ikan tersebut dengan ikat kepala yang saat itu digunakannya. Bersama temannya, yakni Abdullah Iskak serta Umar, Mbah Moedjair kembali ke rumahnya.
Percobaannya selalu gagal saat akan memelihara ikan tersebut di air tawar, karena habitatnya yang berada di air laut.
Tiap kali gagal, Mbah Moedjair selalu kembali ke Pantai Serang, yang berjarak 35 km dari Papungan yang merupakan daerah tempat tinggalnya. Bahkan ia harus menempuh waktu 2 hari 2 malam, menembus hutan belantara, serta naik turun bukit untuk membawa pulang ikan tersebut.
Saat akan membawa pulang ikan tersebut, Mbah Moedjair memasukkan ikan tersebut ke dalam gentong yang terbuat dari tanah liat. Ia mencampurkan air laut dan air tawar ke dalam gentong tersebut. Hingga akhirnya secara perlahan, Mbah Moedjair mengurangi jumlah air laut dan menambah jumlah air tawar.
Setelah 11 kali percobaan, akhirnya empat ekor ikan tersebut bisa di hidup di air tawar. Percobaan ini berhasil dilakukan pada 25 Maret 1936.
Pada akhirnya Mbah Moedjair berhasil memelihara ikan tersebut di kolam pekarangan rumahnya.
Oleh karena keberhasilannya tersebut, Mbah Moedjair dikenal di seluruh daerah Jawa Timur. Keberhasilannya saat itu juga didengar oleh asisten residen atau penguasa daerah Jawa Timur pada zaman penjajahan Belanda.
Asisten residen memberi nama ikan tersebut “ikan moedjair”, untuk menghormati Mbah Moedjair sebagai penemu ikan tersebut.
Banyak penghargaan diterima oleh Mbah Moedjair karena keberhasilannya dalam menemukan ikan mujair. Penghargaannya juga datang dari tingkat nasional.
Mbah Moedjair wafat pada 7 September 1957 akibat penyakit asma. Pada batu nisannya dituliskan “Moedjair Penemu Ikan Moedjair”. (EDL/kompas.com)