Pagi itu, 7 Mei 2020, penjual abu gosok, Simon Butaama (84) bangun sangat pagi. Dia bahkan mendahului ceracau beberapa ekor burung yang beterbangan dari satu pohon ke pohon lain. Maklum di tempat tinggalnya, Desa Babelan Kota, Kabupaten Bekasi masih berdiri sejumlah pohon.
Terjaga dari tidurnya, ia menggapai seliput malamnya dan melipat dengan rapi. Dia duduk bersila dan berdoa sejenak, mengucap syukur atas hari baru yang ia alami. Tiba-tiba ia teringat rona wajah beberapa tetangganya yang tidak memiliki makanan lagi. Dia tahu betul bahwa mereka kekurangan makan, tidak hanya di masa pandemic korona. Sebelumnya mereka juga selalu kekurangan. Keadaan semakin memprihatinkan karena tidak bisa ke mana-mana.
Opa Simon pun menyambung doanya: “Tuhan, jika saya dapat rezeki dalam beberapa hari ini, saya ingin membantu tetangga saya walapun hanya sedikit. Saya kasihan mereka. Saya memang miskin, Tuhan. Tapi saya mau membantu mereka.”
BACA JUGA: https://www.tempusdei.id/2020/04/514/jiwa-petarung-sang-lelaki-tua-penjual-abu-gosok.php
Setelah memanjatkan doa sederhana tersebut, Opa Simon meminta segelas teh manis kepada anak bungsunya Eni. Tidak berapa lama kemudian Eni sudah membawakan segelas teh dan dua potong singkong rebus. Setiap pagi, lelaki berbadan mungil dan berkulit legam ini memang hanya sarapan segelas teh dan sepotong atau dua potong singkong sebelum melakoni aktivitas hariannya sebagai penjual abu gosok dan pengumpul barang bekas.
Raganya yang tidak kuat lagi membuatnya harus mulai bekerja di saat matahari belum benar-benar panas. “Kalau matahari sudah panas, saya tak kuat lagi narik gerobak itu,” ujarnya menunjuk gerobak kecil di teras rumahnya. “Kalau dulu waktu masih muda, enteng saja, tapi sekarang tak kuat lagi. Sudah tua,” ujarnya dengan suara lirih.
Opa Simon mengisi hari itu dengan berkeliling mengantar abu gosok ke warung-warung langganannya. Biasanya, dia langsung kembali ke rumah. Namun karena dia mendapati beberapa barang rongsok di jalan, dia sekalian mengambil dan membawa ke tempat pengepul, walau tidak banyak. Lumayan untuk menambahi uangnya untuk beli beras. “Kaki ini sudah lemas sebenarnya, nggak kuat jalan lagi, tapi saya paksain. Akhirnya sampai juga,” katanya sambil tersenyum kecil.
Biasanya Opa Simon sudah sampai di rumah pada pukul 12-an, tapi sudah hampir pukul 14 belum juga muncul. Ini membuat Eni gelisah, lalu segera menyusul ayahnya. Eni tahu persis jalan-jalan yang ayahnya susuri, maklum Eni sering menyertai sang ayah. Baru sekitar sekilo lebih Enie berjalan, ia sudah melihat ayahnya dari kejauhan. Eni mempercepat langkahnya menjemput sang ayah. Akhirnya Eni yang menggantikan Opa Simon menarik gerobak.
Berbagi dari yang Sedikit
Keesokan harinya, Opa Simon tidak ke mana-mana. Dia di rumah saja untuk mengemas abu gosok ke dalam kantong-kantong kecil. Dia juga memberi makan beberapa ekor bebek peliharaannya.
Sekitar pukul 11, sebuah pesan masuk di hanphone seorang anaknya. Sebenarnya pesan itu sudah dikirimkan dua hari sebelumnya, namun karena handphone sang anak tidak aktif, maka baru hari itu pesan tersebut masuk. Sang pengirim pesan meminta Eni untuk ke rumahnya. “Ada perlu,” kata pengirim pesan itu. Dalam hitungan satu jam, Eni sudah sampai.
Ternyata, pengirim pesan itu sudah menyiapkan sejumlah uang dalam amplop. “Ini ada sedikit uang untuk Opa Simon. Ada yang titip ke saya,” kata pria itu.
Sesudah mengucapkan terima kasih, Enie bergegas pulang. Setelah mengetahui yang dibawa Eni adalah uang (Rp1 juta), Opa Simon berkata, “Puji Tuhan. Tuhan kabulkan doaku.”
Tidak menunggu lama. Dia segera mengajak Enie untuk ke warung. Mereka membeli beberapa kebutuhan pokok, lalu mengemasnya dalam tiga paket. Ada beras 5 kg, gula 0,5 kg, minyak goreng dan beberapa bungkus mie instan. Tiga paket ini kemudian diantarkan ke tiga orang tetangganya yang situasi hidupnya sangat “menggangu” pikiran Opa Simon. “Saya memang miskin, tapi saya harus berbagi walaupun sedikit, lagian uang itu dari Tuhan. Rasa lapar mereka pasti sama dengan rasa lapar kami,” ujarnya terharu. “Nanti kalau ada rezeki lagi, ada beberapa lagi yang saya mau kasih,” ujarnya sambil duduk di bangku kayu di depan pintu rumahnya.
Ternyata, untuk berbagi, tidak perlu menunggu punya banyak dulu.
EMANUEL DAPA LOKA
Wow luar biasa Opa Simon
Kisah yang sangat inspiratif,kami harus belajar meneladani hidup opa simon